Cari Blog Ini

Rabu, 23 Juni 2010

Sejarah dan Perkembangan Saintisme dan Relativisme Kultural


Sejarah dan Perkembangan Saintisme dan Relativisme Kultural
Kini tiba juga waktunya bagi saya untuk memaparkan sejarah dan perkembangan saintisme, dan relativisme kultural yang menyertainya di kemudian hari sebagai akibat banyak penemuan ilmiah yang menyebabkan timbulnya banyak perspektif dalam cara memandang kebenaran dan nilai-nilai. Seandainya penemuan-penemuan itu dianggap sebagai hasil penelitian ilmiah semata-mata, menggunakan metod tertentu yang tidak mung kin mencapai tingkat kebenaran yang menyeluruh, hal itu tidak menjadi persoalan. Namun penemuan-penemuan ilmiah ini kelak dikembangkan menjadi aliran pemikiran falsafah, bahkan pandangannya yang berbentuk serpihan dan reduksionis tentang manusia dijadikan asas ideologi politik dan sistem ekonomi. Sejarah saintisme moden bermula dengan munculnya Revolusi Copernican pada zaman Renaisan abad ke-16Mdan menemukan bentuknya yang muktamad pada abad ke-17 di bawah pengaruh rasionalisme Cartesian dan, terutama sekali, berkat lahirnya kosmologi Newtonian. Penemuan-penemuan Copernicus, Kepler dan Galileo di bidang astronomi, menggunakan jasa geometri dan matematik, berhasil mengubah pandangan kaum intelektual ten tang pusat perputaran alam semesta.
Sebelumnya mereka mengikuti pandangan resmi gereja bahawa bumi merupakan pusat peredaran alam semesta. Planet-planet di angkasa raya, bulan dan matahari, semuanya beredar mengelilingi bumi. Copernicus membuktikan melalui penelitian ilmiahnya bahawa sesungguhnya bukan bumi, tetapi matahari yang menjadi pusat perputaran alam semesta (Prosch 1971:9-47) Dampak penemuan ini ternyata besar dalam mengalihkan kepercayaan orang terhadap agama dan menumbuhkan pandangan dunia (worldview) baru yang serba ilmiah dan rasional. Terlebih-lebih dengan munculnya penemuan ilmiah Newton di bidang fizik, iaitu tentang gerakan dan gravitasi yang merupakan sumber perputaran segala sesuatu di alam semesta ini. Penemuan inilah yang melahirkan teori baru di bidang fizik dan daripadanya Newton menyusun sebuah kosmologi atau falsafah kealaman yang ternyata besar pengaruhnya terhadap perkembangan falsafah dan cabang-cabang ilmu lain di luar fizik seperti biologi, sosiologi, ekonomi, psikologi, etika dan ilmu politik.
Ketika Kepler dan Galileo wafat, projeksi ilmiahnya belum sempurna betul. Dia masih menyisakan persoalan yang belum terjawab. Persoalan itu berkenaan dengan hukum yang menyebabkan planet-planet di angkasa raya ini boleh bergerak dan berputar mengedari orbitnya, matahari. Jawaban terhadap soal itu ternyata tidak perlu menunggu terlalu lama. Pada tahun 1687 Isaac Newton menerbitkan buku hasil penyelidikan ilmiahnya di bidang mekanik berjudul Mathematical Principles of Natural Philosophy. Dalam bukunya itu dia menemukan bahawa asas pergerakan benda-benda di alam semesta ialah graviti. Sejauh mengenai teori fizik Newton tidak begitu perlu dihuraikan panjang lebar di sini. Yang penting ialah bagaimana melalui kosmologinya Newton berhasil mengarahkan perhatian kita kepada alam melebihi sebelumnya. Dengan cara demikian ia juga berhasil membelokkan perhatian manusia ke luar dari dirinya dan lebih banyak memperhatikan apa yang terjadi di luar dirinya (Prosch 1971:66-7). Dalam kosmologinya Newton memandang alam sebagai tatanan yang sempurna, memiliki hukum-hukum dan ukuran tertentu yang tidak mungkin diubah. Alam digambarkan sebagai Mesin Raksasa, sedangkan apa yang terjadi di bumi dan langit, diyakini olehnya memiliki sebab-sebab dalam alam dan dapat diketahui secara pasti. Sebagaimana dinyatakan Oppenheimer (1954:13-14), kerana dalam kosmologi Newton alam dipandang sebagai mesin raksasa yang memiliki ketentuan yang pasti, maka alam bukan hanya merupakan penyebab kejadian dan pergerakan benda-benda, termasuk manusia. Alam juga temyata bersifat objektif, dalam erti tidak mungkin dipengaruhi oleh tindakan manusia. Newton, dan para ilmuwan sesudahnya, berhasil membebaskan manusia dari kepercayaan terhadap kekuatan magis alam gaib, sekaligus memenjara manusia dalam belenggu keyakinan terhadap kekuatan magis sains. Dalam keyakinan baru ini perhitungan yang tepat dan canggih secara matematik, dipercaya dapat memberikan kebahagiaan kepada manusia, sekaligus boleh membuat manusia memiliki pengetahuan tentang hakikat terakhir kehidupan. Bagaimana mungkin hal ini tidak menimbulkan rasa takjub dan kagum, sedangkan selama berabad-abad sebelumnya sejak Plato sampai Ibnu Rusyd, para ahli falsafah tidak dapat menemukannya. Dalam alam fikiran Newton tidak ada ruang bagi aktiviti keruhanian. Tuhan, kesedaran, hati nurani, cinta kasih, emosi dan intuisi – semua dicampakkan ke luar, sebab segala sesuatu hanya tunduk pada hukum gerakan dan graviti. Alam hanya terdiri dari kekuatan material yang buta. Perbuatan manusia yang lahir dari kesedaran dan fikirannya dengan sendirinya dijuruskan menjadi materi yang bergerak disebabkan kekuatan buta (Matson 1966:1-6). Adalah suatu keberuntungan bagi para pengikut dan pengagum Newton, kerena sebelumnya di Perancis lahir seorang ahli falsafah berwawasan yang menekankan pada pentingnya pemikiran rasional berdasarkan pertimbangan matematik. Ahli falsafah tersebut ialah Rene Descartes. Walaupun ia seorang idealis, namun pengiaannya terhadap pentingnya matematik sebagai landasan metod ilmiah, didakwa sebagai pembenaran terhadap lahimya saintisme. Konon pada suatu malam, dalam tahun 1619,dia mendapatkan mimpi yang membuatnya yakin bahwa Ruh Kebenaran telah membuka mata hatinya sehingga dia dapat menyaksikan perbendaharaan tersembunyi di gudang ilmu pengetahuan yang tidak terkira nilai dan jumlahnya. Sang Ruh Kebenaran konon membisikkan ilham dan menyingkapkan kepadanya 'dasar-dasar pengetahuan yang menakjubkan' (mirabilis scientia fundamenta) (Maritain 1944:61)
Mimpinya itu kemudian ditulis dalam bukunya yang masyhur Discourse de la methode, dalam sub bab yang berjudul "Projek sebuah ilmu pengetahuan universal, yang di dalamnya kudrat kita akan naik mencapai martabat kesempumaan tertinggi". Sejak memperoleh mimpinya itu dia memandang ruang dan keluasan sebagai hakikat paling dasar dari keberadaan; dan juga memandang gerakan sebagai titik semua pekembangan maju. Dia pun meyakini bahwa matematik merupakan inti dari bahasa wahyu. Descartes, sebagaimana telah dikemukakan, sebenarnya seorang idealis yang meyakini bahwa segala sesuatu itu datang dari ide, bukan dari materi. Ia bahkan membela metafisik sebagai asas utama pemikiran falsafah dan menolak pandangan kaum materialis. Rasionalismenya dikembangkan semata-mata untuk memperkuat sistem falsafahnya dengan dasar-dasar rasional. Ini terlihat dalam inti ajaran falsafahnya: (1) Dasar pergerakan sesuatu itu bersifat matematik; (2)Manusia memiliki ide bawaan, iaitu bahwa fikiran manusia itu muncul selalu disertai ide dan tidak memerlukan bantuan pengalaman empiris yang berasal dari pencerapan indera atas dunia luar; (3)Yang benar itu ialah sesuatu yang secara rasional sempurna, iaitu ide-ide yang bagi penangkapan akal bersifat gamblang dan jelas (Prosch 1971:37-41). Dogma saintisme moden berakar dalam pandangan Descartes. Walaupun dia seorang idealis, namun melalui abstraksi matematiknya ia dengan terpaksa harus merendahkan fikiran manusia kepada sesuatu yang dapat digerakkan secara mekanikal. Dia pun memandang alam sebagai sejenis mesin. Tujuan dan makna spiritual kehidupan di dalamnya dicampakkan ke luar. Walaupun sejak awal mendapat kritikan keras dari beberapa ahli falsafah, misalnya Thomas Hobbes dan Voltaire, pengaruh rasionalisme Descartes tidak dapat dibendung. Saintisme yang tumbuh darinya, dan diperkuat dengan kosmologi Newtonian, menjelma menjadi arus utama pemikiran falsafah dan ilmu pengetahuan di Eropah. Pada akhir abad ke-17 M di negeri Belanda muncul pula Spinoza, seorang ahli falsafah rasionalis murni yang mendasarkan pemikiran etika dan politiknya pada geometri. Spinoza menggagaskan sebuah faham baru falsafah yang dikenal dengan sebutan 'determinisme ilmiah'. Menurut Spinoza alam semesta ini merupakan sebuah mesin raksasa yang ketentuanketentuannya tidak mungkin dirubah lagi. Bukan hanya jiwa manusia, tetapi Tuhan, yang tunduk terhadap ketentuan-ketentuan tersebut. Alam merupakan sebuah sistem tanpa tujuan, sebuah rangkaian akibat-akibat yang tidak memiliki sebab akhir. Spinoza menempatkan manusia dan kehidupannya dalam genggaman mesin raksasa yang disebut alamo Kemahuan bebas hanya ilusi fikiran manusia, sebuah khayalan (Matson 1966:8-10).
Di Belanda pemikiran Spinoza tidak hanya berpengaruh terhadap kaum terpelajar dan cendikiawan, tetapi juga terhadap para pedagang, ahli politik, pekerja dan mereka yang berfikir serba pragmatis dan matematik. Lewis Mumford (1944:176) mencatat bahawa bersamaan dengan luasnya pengaruh pemikiran Cartesian dan Spinoza, pada akhir abad ke-17, pengaruh perkembangan teknologi juga semakin besar terhadap kehidupan politik, sistem ekonomi dan pandangan hidup manusia. Penggunaan sistem angka Arab yang mulai diperkenalkan pada abad ke-13 M, dengan cepatnya mempengaruhi perkembangan ekonomi. Begitu pula dengan pemakaian jam kota berukuran besar seperti di Greenwich tiga abad kemudian.
Angka dan ukuran, serta perhitungan waktu yang tepat, lantas begitu diutamakan oleh para pedagang. Dengan demikian manusia lantas mementingkan objektivi dan impersonaliti. Kehidupan politik juga terpengaruh. Kapitalisme kemudian muncul memperkenalkan norma-norma baru kehidupan ekonomi berdasarkan pengetahuan moden. Diilhami oleh kemajuan ilmu matematik dan fizik, cara baru digunakan untuk mengendalikan perkembangan ekonomi. Kalkulus lantas diterapkan untuk menggerakkan kekuatan-kekuatan ekonomi yang bersifat impersonal. Saintisme sebagai Landasan Ilmu Moden Demikianlah pada akhir ke-18 para ilmuwan dan ahli falsafah mulai berusaha menjadikan saintisme sebagai landasan ilmu-ilmu lain seperti sejarah, ekonomi, biologi, geologi dan musik; dan pada abad ke-19 ilmuilmu sosial, psikologi,linguistik, etnografi dan lain-lain. Institusi-institusi pendidikan pula mulai menekankan pentingnya pelajaran matematik dan ilmu alam, melebihi ilmu lain, terkecuali bahasa. Calon-calon ahli falsafah, seniman, ahli politik dan lain-lain dipaksa mempelajari fizik, matematik dan ilmu kedoktoran sampai ke perguruan tinggi. Voltaire, seorang ahli falsafah dan sastrawan, terpaksa menulis tesis sarjananya tentang kosmologi Newtonian; Rosseau, seorang ahli politik, dipaksa melakukan kajian ten tang dalil-dalil kimia; Diderot, seorang budayawan dan pengarang, terpaksa menulis karangan ilmiah panjang ten tang elemenelemen dalam fisiologi. Dan Montesque diwajibkan melakukan penyelidikan fizik, padahal ia adalah mahasiwa jurusan ilmu sosial (Matson 1966:12) Melalui program pendidikan seperti itulah kemudian falsafah cenderung tumbuh menjadi falsafah pengetahuan alam; biologi menjadi cabang mekanik; psikologi menjadi ilmu perilaku yang membicarakan manusia sebagai mesin yang kerjanya memproduksi tingkah laku. Dengan nada sarkastik, dalam bukunya Elements de philosoph ie, seorang ahli sejarah falsafah Perancis d' Alembert menulis: "Ilmu pengetahuan alam dari hari ke hari berhasil menimbun kekayaan yang tidak terkira ... dari bumi hingga Saturnus, dari sejarah angkasa raya hingga kerajaan serangga, ilmu ini dijadikan begitu revolusioner ... Demikianlah, dari prinsip-prinsip ilmu pengetahuan sekular hingga asas-asas ajaran agama yang berasal dari wahyu ilahi, dari metafisik hingga perkara selera, dari musik hingga moral, dari wejangan kusut ahli-ahli teologi skolastik hingga masalah komersial, dari hukum alam sampai hukum arbitrasi bangsa-bangsa – semua dibicarakan, dianalisa berdasarkan skema ilmu pengetahuan alam." (Cassirer:1955:46-7).
Gambaran yang disajikan saintisme tentang manusia juga semakin melorot. Manusia ditarik jauh ke pinggiran sumbu eksistensi. Peranannya beralih dari subjek menjadi objek; dari pemain utama di pentas kehidupan dan sejarah, menjadi penon ton yang pasif. Fikiran manusia pun dipecah belah menjadi partikel-partikel yang bergerak secara mekanikal, begitu pula perilakunya. Manusia, menurut Holbach seorang di antara pemikir terkemuka yang berpandangan materialis, adalah hasil dari pekerjaan alamo Ia maujud dalam alam, tunduk pada hukum-hukumnya dan tidak dapat membebaskan diri daripadanya. Di lapangan ilmu sosial, pengaruh saintisme mula-mula tampak dalam pemikiran Saint Simon di Perancis pada awal abad ke-19. Dia menyusun kerangka sistema tis kajian ilmu kemanusiaan (humaniora) berdasar metod fizik Newtonian.
Dua premis penting yang dia ajukan ialah: (1)Ilmu pengetahuan itu neutral sebab didasarkan atas objektiviti; (2)Ilmu sosial yang mantap didasarkan atas reduksionisme analitik. Saint Simon menghuraikan aktiviti manusia di bidang politik dan ekonomi berdasarkan teori geometri. Melalui cara demikian kesedaran manusia dan fakta keruhanian dari hidupnya dilenyapkan (Matson 1966:13). Pengaruh saintisme di lapangan ilmu sosial mulai mencapai bentuknya yang muktamad dalam positivisme August Comte pada abad ke-19. Ahli falsafah yang dipandang sebagai bapak sosiologi moden ini menetapkan bahawa penyelidikan tentang aktiviti jiwa dan keruhanian manusia merupakan pekerjaan sia-sia.Ia memandang psikologi instropektif sebagai tidak lebih dari bentuk baru teologi yang usang. Fikiran individu dan manusia sebagai subjek tidak penting, sebab yang maujud hanyalah masyarakat. Masyarakatlah yang merupakan ruh kehidupan moral, sedangkan perilaku individu hanya fenomenanya. Comte sendiri yakin bahwa di masa depan hanya kemajuan masyarakatlah yang paling utama. Dalam pandangannya, kemajuan yang dicapai masyarakat industrial, bukan disebabkan oleh berperanannya individu-individu, melainkan kerana bergeraknya hukum-hukum mekanikal yang mengendalikan semua kejadian di dunia ini. Kebebasan tidak lain adalah ketundukan masyarakat kepada hukum alamo Dalam kaitannya dengan pandangan Comte itu, Martineau (1993:61) menulis, bahwa, di dalam sosiologi Comtian, individu dianggap memperoleh tingkat nalar yang tinggi dengan cara tunduk kepada proses rasional masyarakat. Konsepsi kaum demokrat liberal tentang kebebasan individu sejalan dengan pemikiran Comte. Comte menekankan pentingnya otoritas dan tertib sosial, atau tepatnya menetapkan pentingnya efisiensidan rasionalisasi dalam membuat rekayasa sosial Pengikut positivisme Comte bercita-cita dapat membantu manusia melakukan emansipasi dan memperoleh pencerahan. Tetapi hasilnya adalah sebaliknya. Gagasan mereka tentang 'Tirani Kemajuan" membuat kemajuan benar-benar menjadi tirani yang tidak terkalahkan (Salomon 1955:101).
Di dalam ilmu ekonomi pengaruh saintisme tampak dalam gagasan Adam Smith. Smith melihat fenomena ekonomi sebagai sebahagian dari politik, yakni pengawasan dan pengendalian tingkah laku dan aktiviti manusia. Penerapan prinsip mekanik Newtonian tampak dalam teorinya tentang mekanisme pasar, yang kemudian dijadikan asas ekonomi moden dan sistem kapitalisme (Matson 1966:19).Namun yang tidakkalahhebatnya ialah penerapan saintisme di lapangan biologi, khususnya dalam pemikiran Darwin, tokoh yang dikenal dengan teori evolusinya serta prinsipnya tentang "survival of the fittest" - yang paling kuat akan menang dalam evolusi kehidupan. Darwin menganggap manusia sebagai bahagian dari dunia haiwan. Segala perbuatan dan pertuturannya, setinggi apa pun tingkat keruhanian yang dicapainya, pada akhirnya dapat dikembalikan pada proses alam yang dicerminkan oleh evolusi. Seni, agama dan falsafah - betapa pun tingkat kearifan yang dicapainya - dapat dicari asal muasalnya dalam jiwa manusia yang tidak jauh berbeza dari jiwa haiwan. Perasaan, kudrat tubuh dan hayatnya, yang dijelmakan dalam kehidupan kolektif manusia juga demikian (Irvine 1956:145). Di lapangan psikologi pengaruh saintisme tampak pada berbagai teori tingkah laku dan memuncak dalam teori Pavlov pada awal abad ke- 20. Freud yang mencuba memupus skema lama kaum behaviouris dengan menggotong teori bawah sedar yang menggerakkan kehidupan manusia, ternyata juga ikut menyebar luaskan ketidakpercayaan manusia moden kepada peranan kesedaran, walaupun tahu bahwa dalam kesedaranlah sebenarnya tersembunyi motif perbuatan manusia. Nietzsche mungkin benar ketika mengatakan bahawa kerja besar psikologi tidak lain adalah mendedahkan rasa tidak berdosa dari ketidakjujuran intelektual yang sifatnya universal (Muller 1964:144). Ahli-ahli psikologi sesudah Freud seperti Karen Horney, Abram Kardiner dan Alexander Martin, membawa pemikiran Freud ke tempat yang sejajar dengan perkembangan ilmu lain. Mereka mentafsirkan tingkah laku manusia ssebagai gerakan psiko-biologis yang daya asasnya bersifat integratif. Mereka pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahawa dari seluruh pola yang terintegrasi itu hanya 'dorongan seksual' dan 'keinginan berkuasa' yang paling penting dan menonjol (Ibid). Cara demikian bukan saja mereduksi kudrat manusia ke titik terendah, namun terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya kompleks. Simplikasi lantas menjadi hal yang lazim dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Mungkin yang mampu menyelamatkan psikologi dan psikoanalisa dari kongkongan saintisme adalah orang-orang seperti Jung. Kesedaran manusia mulai ditempatkan lagi pada kedudukannya yang patut.
Contoh terbaik dari simplifikasi berlebihan terhadap persoalan yang kompleks tampak dalam sosiologi Marxian. TeoriMarx tentang materialisme dialektik atau historis materialismenya memang mengkagumkan dan mempesona, dan kelihatan sebagai upaya pembebasan. Dia berhasil menyajikan gambaran cemerlang tentang pertarungan kekuatan-kekuatan ekonomi dalam masyarakat berdasarkan analisis kelas; pengaruh pertarungan yang bersifat dialektis tersebut terhadap kegiatan sosial, termasuk kebudayaan. Tetapi para pengkritiknya menganggap dia gagal menganalisis reaksi dari kekuatan non-ekonomi dan interaksi dari keseluruhan kekuatan yang kompleks dalam masyarakat. Marx tidak dapat menjelaskan mengapa, dalam kenyataan sejarah, begitu banyak bentuk-bentuk budaya pada masa tertentu mampu memodifikasi kondisi kehidupan material manusia dan betapa kesedaran pada akhirnya mempengaruhi eksistensi masyarakat. Karl Mannheim (1950:57)misalnya berpendapat bahwa Marx dan para pengikutnya hanya berhasil meramalkan sebab-sebab dari perkembangan ekonomi seperti perkembangan teknologi, penguasaan sarana produksi; meningkatnya pemusatan modal, intensifnya persaingan merebut pasar, persekongkolan antara pemerintah dan pemilik industri. Namun dia gagal menganalisis mengapa teknologi moden dapat digunakan secara efektif untuk kepentingan politik, misalnya sebagai mesin propaganda. Kegagalannya yang lain ialah dalam melihat keseluruhan problem dan masalah kekuasaan politik. Negara, kata Mannheim, sering ditakdirkan pergi ke tempat lain dan tidak terelakkan harus diperintah oleh segelintir manusia atau seorang pemimpin. Seharusnya pertanyaan yang diajukan ialah bagaimana dapat dijamin segelintir orang ini mampu menampung aspirasi masyarakat dan tidak menyimpang dari cita-cita masyarakat yang mendukung pemerintahannya? Dalam kaitan ini sungguh relevan penuturan Iqbal dalam puisi panjangnya "Parliamen Setan" (1932): (setan berkata) ... yang tampak di muka bumi ini Hanya rimbunan daun membungkus nafsu negara dunia Bukankah otokrasi telah kuberi baju demokrasi? Apabila manusia mau bercermin dan Mengamati benar-benar, ia akan mengerti Tujuan kekuasan dan penguasaan dunia Berada di tempat lain. Ia tidak semakin kukuh Atau rapuh disebabkan lenyapnya raja-raja dan sultan Pun tidak peduli apa ada parliamen Atau monarki masih bertakhta Jika kita perhatikan ke tempat lain, akan tampak: Pemerintahan kuku besi sedang lahir di mana-mana! Apa kau tidak melihat pemerintahan demokrasi di Barat Yang dari jauh kelihatan cerah itu? Jiwa mereka Sebenarnya lebih kelam dari Jengis Khan (Djohan Effendy & Abdul Hadi W.M. 1987:72).
Sekalipun kritik terhadap saintisme dan aliran pemikiran yang tumbuh darinya telah banyak dikemukakan, dan beberapa kekeliruannya diakui, namun hingga akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini, pengaruhnya masih tetap jelas. Buku-buku yang ditulis beberapa sarjana Amerika seperti The End of Ideology (Daniel Bell), Third Waves (Alivin Toffler), The End of History (Fukuyama) dan lain-lain adalah rangkaian panjang dari perjalanan saintisme dalam sejarah peradaban moden. Pengaruh bukubuku ini masih ketara hingga kini dan sering dibaca tanpa sikap yang kritis. Relativisme Kultural Kini tibalah waktunya menghuraikan secukupnya mengenai relativisme kultural, yang lahir dari buaian peradaban moden yang didasarkan atas dasar saintisme, rasionalisme, materialisme, positivisme, evolusonisme dan hedonisme material. Sebagai aliran pemikiran ia mulai tumbuh pesat pada akhir abad ke-19, dan pada mulanya terutama bertalian dengan masalah etika, agama dan kebudayaan. Pada abad ke-20 dia mendapat dukungan dari ahli-ahli antropologi dan pengajian kemanusiaan seperti Ruth Benedict, Edward Westermarck, Hans Reihenbach dan lain-lain. Pemikiran pasca modenisme yang muncul pada awall970an, yang terutama didukung oleh para budayawan, pengkritik seni dan sastra, seperti Lyotard, Fucoult, Derrida, Paul de Man, Deleuze dan lain-lain, merupakan rangkaian lebih jauh lagi dari sejarah relativisme kultural. Akar tumbuhnya relativisme kultural ialah keadaan masyarakat di Eropah pada abad ke-19 M, dan kemudian juga berjangkit ke Amerika dan Asia, iaitu pertentangan yang sengit antara berbagai faham politik, ekonomi, falsafah, kebudayaan dan kemasyarakatan. Disebabkan begitu banyaknya faham yang berkembang maka timbullah pemikiran dari beberapa ahli falsafah untuk berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada faham yang seluruhnya benar. Keadaan politik di Eropah pada abad ke-19, di mana negara-negara yang ada di situ kebanyakan masih diperintah oleh rajaraja yang menjalankan pemerintahan secara otoritarian dan absolut juga mempengaruhi tumbuhnya faham relativisme kultural. Dalam kenyataan faham ini cukup ampuh untuk digunakan sebagai alat melawan sistem pemerintahan dan ideologi yang didasarkan pada absolutisme. Sikap pragmatis, dorongan hedonisme material yang berlebihan, juga menyuburkan tumbuhnya relativisme kultural. Daripada menganut kepercayaan dan pandangan hidup yang susah dijalankan, walaupun masuk akal dan mengandung kebenaran; akan lebih baik memilih pandangan hidup yang bersahaja asal saja dapat memuaskan cita-cita seperti memperoleh jawatan tinggi dalam pemerintahan dan kedudukan penting dalam masyarakat. Kebenaran di lapangan politik dan falsafah kemudian juga dipandang relatif.
Faktor lain yang tidak kurang menonjolnya dalam menyuburkan relativisme kultural, seperti dikatakan Abraham Edel, ialah toleransi berlebihan terhadap keanekaragaman sistem kepercayaan dan budaya yang didasarkan pada sikap masa bodoh yang berlebihan pula. Semua bentuk kepercayaan dan kebudayaan sudah tidak dapat dilihat batas-batas benar dan tidak benarnya. Meskipun ada sistem kepercayaan dan kebudayaan yang memperbolehkan perbuatan tidak manusiawi, dan menyesatkan secara moral, masih saja kaum relativis masa bodoh memandangnya dengan sikap toleran. Dalam bukunya Ethical Judgment (1955) Edel memperinci beberapa faktor suburnya relativisme kultural pada abad ke-20. Pertamanya, pandangan bahwa peradaban dan kebudayaan, begitu pula agama, sebenarnya hanya buatan manusia. Dan manusia, menurut Darwin, adalah bahagian daripada dunia haiwan. Kebenaran tidak pernah diperoleh manusia dari Tuhan, kerana Tuhan adalah Yang Tidak Dikenali serta nun [auh di sana dan tidak pernah ada hubungannya dengan manusia. Kedua, dalam kehidupan politik, manusia moden mengukur baik dan buruknya tindakan politik hanya berdasarkan ukuran dimilikinya kekuasaan. Cara pandang ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu politik itu sendiri. Sejak Machiavelli sampai Marx dan Lenin, terus hingga masa kini, yang dijadikan perhatian ialah bagaimana merebut dan meraih kekuasaan. Kekuasaan dijadikan tujuan dan dipergunakan sebagai sarana dalam upaya memahami perjuangan manusia di lapangan sosial. Teori ekonomi dan pandangan psikologi moden juga tidak kurang pentingnya dalam ikut menyuburkan relativisme kultural, seperti misalnya teori Pavlov, Karen Horney dan Abram Kardiner sebagaimana yang telah dikemukakan. Relativisme kultural juga muncul kerana manusia tidak lagi mengetahui jalan yang boleh menghubungkan dirinya dengan sumber-sumber kebenaran, sedangkan citra dirinya dan hubungannya dengan sumber-sumber kebenaran telah dikaburkan oleh pandangan yang menempatkan dirinya tidak lebih tinggi dari haiwan bahkan benda. Krisis manusia moden, kata Cassirer, berakar dalam krisis pengetahuan manusia moden mengenai dirinya. Falsafah moden sendiri dimulai dengan prinsip bahawa yang paling penting adalah kewujudan manusia itu sendiri. Namun kemajuan ilmu pengetahuan, termasuk sosiologi dan psikologi, membuat banyak orang sukar menerima perlunya manusia menghargai martabat manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi dan kudratnya yang tidak mungkin disejajarkan dengan kudrat haiwan dan benda-benda.
Untungnya di Barat sendiri dewasa ini kian disedari bahwa ambivalensi peradaban moden dan lingkaran syaitan krisis yang membelit kehidupan umat manusia sebahagian besarnya bersumber dari watak kebudayaan dan peradaban moden itu sendiri. Bukan terutama disebabkan oleh agama, mitologi lama ataupun doktrin metafizik sebagaimana yang diduga semula, walaupun dalam kenyataan kecenderungan legalis formal pelaksanaan ajaran agama dan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalamnya, ikut menyumbang terhadap munculnya kesukaran-kesukaran yang dihadapi masyarakat masa kini. Kami ingin mengutip pengakuan Andre Malraux, seorang sastrawan dan ahli falsafah Perancis terkemuka, yang disampaikan kepada Jawaharlal Nehru pada akhir tahun 1950an dan diulangi oleh Malraux dalam eseinya yang dimuat dalam majalah Encounter (Januari 1969). "Peradaban kami pada abad ke-20 ini," katanya, "adalah peradaban pertama yang tidak memiliki keselarasan dengan dirinya sendiri. Di dalamnya tidak ada ruang bagi munculnya rasa kebersamaan dan keakraban antara manusia dan alam, manusia dengan Tuhan. Mesin-mesin telah menjelma sebagai simbol-simbol besar dan di tengah-tengahnya manusia tidak lagi memiliki erti dan makna. Peradaban saintifik bukan peradaban keagamaan. Dan apabila peradaban tidak bersifat kegamaan, maka harus ia menemukan jalan dan tujuannya tersendiri agar dapat melindungi dirinya daripada dirinya sendiri." Penutup Melalui pembahasan yang telah dikemukakan, nampak be tapa pentingnya bidang-bidang seperti falsafah, agama dan kemanusiaan, termasuk yang berasal dari khazanah intelektual Timur dan Islam, dikaji 'kembali serta diajarkan lebih bersungguh-sungguh di institusi-institusi pendidikan kita, khususnya di institusi pendidikan menengah dan tinggi. Melalui kajian mendalam terhadap bidang-bidang ini bangsa kita dapat belajar dan menentukan arah baru dalam perjalanannya menuju masa depan. Untuk dapat menentukan arah, maka falsafah dan pandangan hidup bangsa ini pola fikir, ethos kerja, semangat, gaya hidup dan orientasi budayanya harus diperbarui pula. Tanpa arah yang jelas, tanpa pandangan dunia dan falsafah hidup yang sesuai dengan watak budayanya sendiri, bangsa ini hanya akan tetap menjadi mangsa permainan kuasa-kuasa besar dunia, yang saling bersaing menentukan arah global peradaban global di bidang ekonomi, politik, ideologi dan kebudayaan. Untuk itu pula sistem pendidikan kita, metod pengajaran, serta susunan dan isi kurikulumnya harus diperbaharui dan ditingkatkan mutunya, serta disesuaikan dengan tuntutan dan paradigma tersebut

1 komentar:

  1. Hubungan agama dengan ilmu


    Sebelum kita berbicara secara panjang lebar seputar hubungan antara agama dengan ilmu dengan segala problematika yang bersifat kompleks yang ada didalamnya maka untuk mempermudah mengurai benang kusut yang terjadi seputar problematika hubungan antara agama dengan ilmu maka kita harus mengenal terlebih dahulu dua definisi pengertian ‘ilmu’ yang jauh berbeda satu sama lain,yaitu definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan dan versi sudut pandang manusia yang lahir melalui kacamata sudut pandang materialist.
    Pertama adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang materialistik yang lahir melalui saintisme yang membuat definisi pengertian ‘ilmu’ sebagai : ‘segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’,(sehingga bila mengikuti definisi saintisme maka otomatis segala suatu yang berada diluar wilayah pengalaman dunia indera menjadi tidak bisa didefinisikan sebagai wilayah ilmu).ini adalah cara pandang terhadap ‘ilmu’ yang kita kenal sebagai konsep ‘saintisme’,faham ini berpandangan atau beranggapan bahwa ilmu adalah ‘ciptaan’ manusia sehingga batas dan wilayah jelajahnya harus dibingkai atau ditentukan oleh manusia.
    Kedua adalah definisi pengertian ‘ilmu’ versi sudut pandang Tuhan yang mendeskripsikan ‘ilmu’ sebagai suatu yang harus bisa mendeskripsikan keseluruhan realitas baik yang abstrak maupun yang konkrit sehingga dua dimensi yang berbeda itu bisa difahami secara menyatu padu sebagai sebuah kesatuan system.pandangan Ilahiah ini menyatakan bahwa ilmu adalah suatu yang berasal dari Tuhan sehingga batas dan wilayah jelajahnya ditentukan oleh Tuhan dan tidak bisa dibatasi oleh manusia artinya dalam persoalan ilmu manusia harus mengikuti pandangan Tuhan.
    Dan bila kita merunut asal muasal perbedaan yang tajam antara konsep ilmu versi saintisme (barat) dengan konsep ilmu versi Tuhan sebenarnya mudah : kekeliruan konsep ‘ilmu’ versi barat sebenarnya berawal dari pemahaman yang salah atau yang ‘bermata satu’ terhadap realitas,menurut sudut pandang materialist ‘realitas’ adalah segala suatu yang bisa ditangkap oleh pengalaman dunia indera,sedang versi Tuhan : ‘realitas’ adalah segala suatu yang diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi ‘ada’,dimana seluruh realitas yang tercipta itu terdiri dari dua dimensi : yang abstrak dan yang konkrit,analoginya sama dengan realitas manusia yang terdiri dari jiwa dan raga atau realitas komputer yang terdiri dari software dan hard ware.
    Berangkat dari pemahaman terhadap realitas yang bersifat materialistik seperti itulah kaum materialist membuat definisi konsep ilmu sebagai berikut : ‘ilmu adalah segala suatu yang sebatas wilayah pengalaman dunia indera’ dan metodologi ilmu dibatasi sebatas sesuatu yang bisa dibuktikan secara empirik.
    Ini bertentangan dengan konsep dan metodologi ilmu versi Tuhan,karena realitas terdiri dari dua dimensi antara yang konkrit dan yang abstrak maka dalam pandangan Tuhan konsep ilmu tidak dibatasi sebatas wilayah pengalaman dunia indera dan metodologinya pun tidak dibatasi oleh keharusan untuk selalu terbukti secara empirik,sebab ada realitas abstrak yang metodologi untuk memahaminya berbeda dengan metodologi untuk memahami ilmu material (sains),dan kedua : manusia bukan saja diberi indera untuk menangkap realitas yang bersifat empirik tapi juga diberi akal dan hati yang memiliki ‘mata’ dan pengertian untuk memahami realitas yang bersifat abstrak.

    BalasHapus

Free Market Of ideas will make it wonderfull mind

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya