Cari Blog Ini

Selasa, 29 Juni 2010

Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII


Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII
Tak satupun di antara kader PMII yang menghendaki PMII menua, memfosil dan kehilangan peran kesejarahannya. Tudingan negatif di atas sebaiknya menjadi cambuk bagi PMII untuk kembali melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprahnya selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan peradaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII kembali kritis dan pejuang perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain, Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5) fakta organisasi ; 1). Ideologi dan paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ; 3). Sistem pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). Logistik organisasi. Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi ; 1). Relasi PMII - negara ; 2). Relasi PMII - rakyat serta kekuatan sipil lainnya ; 3), Relasi PMII - kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII - kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung idologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII diandaikan (mesti) mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMI berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian (merumuskan) jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia didalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal tradisi pemahaman ke-Islaman bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang pradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan kesimpangsiuran konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut. Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional ?. Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997 an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstatasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya. Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Market Of ideas will make it wonderfull mind

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya