Cari Blog Ini

Rabu, 23 Juni 2010

Krisis Manusia Moden: Tinjauan Falsafah Terhadap Saintisme dan Relativisme Kultural


Krisis Manusia Moden: Tinjauan Falsafah Terhadap Saintisme dan Relativisme Kultural

Akar Umbi Saintisme Dalam Pemikiran Barat
Krisis yang dihadapi manusia moden telah sering dibicarakan. Namun dalam hubungannya dengan sejarah pemikiran falsafah sangat jarang dibahas secara mendalam. Kertas ilmiah ini akan mencuba membahas masalah tersebut, khususnya hubungan krisis manusia moden, munculnya saintisme, relativisme kultural dan nihilisme, tiga aliran falsafah yang mempengaruhi pemikiran manusia moden selama lebih kurang dua abad. Seorang ahli sejarah pernah mengatakan bahawa kita tidak akan dapat memahami masa kini dan melihat masa depan tanpa merenungi masa lalu. Pemikiran-pemikiran yang berpengaruh pada masa kini adalah bahagian dari mata rantai panjang pemikiran sebelumnya. Salah satu di antara pemikiran falsafah yang mempunyai mata rantai panjang ialah saintisme.
Sistem falsafah, ideologi moden yang diterapkan dalam kehidupan politik, ekonomi dan kebudayaa serta berbagai pandangan hidup masyarakat moden dewasa ini, terkait dengan sejarah panjang saintisme. Akan halnya dengan relativisme kultural dan nihilisme yang dewasa ini juga berkembang subur, dan merupakan landasan pemikiran pasca moden, memiliki akar dalam sejarah saintisme serta utopia-utopia yang tumbuh daripadanya. Saintisme merupakan sistem pemikiran falsafah yang bertolak dari penemuan-penemuan ilmiah abad ke-16 dan 17M, khususnya penemuanpenemuan Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton. Munculnya pemikiran falsafah yang bercorak rasional, yang berakar umbi dalam pemikiran lbnu Rusyd, Descartes dan Bacon pada abad itu juga membantu hasil-hasil penemuan ilmiah di bidang astronomi dan mekanik ditransformasikan menjadi sistem pemikiran yang mampu merubah pandangan hidup, gambaran dunia (weltanschauung) dan cita-cita masyarakat, termasuk gambaran manusia ten tang dirinya dan tempatnya di dunia. Diperkenalkannya teknik baru, seperti angka Arab, jam kota, teknik pembuatan kertas dan mesin cetak temuan Guthenberg, pada abad ke-13 sampai abad ke-17 M, juga tidak kecil peranannya dalam memajukan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada gilirannya ia juga menolong suburnya saintisme (Matson 1966:30). Angan-angan para agamawan dan ahli keruhanian, serta imaginasi para seniman dan sastrawan, tentang masyarakat yang ideal, juga tidak kecil peranannya dalam memperluas cakrawala, dan mempercepat perkembangan saintisme. Salah satunya ialah imaginasi Thomas More dalam bukunya Utopia (1515-6), sebuah karya setengah fiksi setengah falsafah yang diilhami oleh pemikiran Plato, St. Augustinus dan Thomas Aquinas. Kata utopia diambil dari bahasa Yunani, gabungan dari kata uo dan tapas, yang ertinya sebuah tempat yang ideal dan sempurna tatanan kehidupannya tetapi entah di mana (Gulzar Haider 1985). Melalui bukunya itu Thomas More sebenarnya ingin mengkritik Inggeris yang dianggapnya sebagai negeri yang masyarakatnya sedang sakit, karena tidak memiliki toleransi dan semangat kebersamaan dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera. Menurut Thomas More negeri yang ideal dan sempurna ialah yang penduduknya toleran satu dengan yang lain, memiliki semangat gotong royong, memberi kesempatan luas bagi setiap individu untuk meraih kesejahteraan, tidak terlalu mengutamakan kekuasaan dan status sosial, menggunakan akal dan inteligensia sehingga mampu mengendalikan emosi dan perilaku tak rasionalnya.
Pengaruh buku Thomas More bagi tumbuhnya saintisme mula-mula ketara dalam pemikiran Francis Bacon, filosof abad ke-17 M yang hidup sezaman dengan Rene Descartes, bapak rasionalisme moden. Bacon meyakini bahwa ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Pemikirannya yang revolusioner terlihat dalam bukunya New Atlantis (1623). Menurutnya, dalam buku itu, tujuan terakhir dari 're-generasi' umat manusia dan kesempurnaan hidupnya terutama bukannya tergantung pada pembaharuan hukum-hukum harta, melainkan pada kemajuan sains dan pengaturan kehidupan manusia dengan semangat ilmiah. Hanya metod ilmiah yang dapat mengangkat martabat manusia dan memberinya kehidupan yang sempurna (Ibid). Pada abad ke-18M, buku Bacon menjadi bacaan meluas di kalangan cendekiawan Perancis. Sosialisme utopia yang diasaskan oleh Saint Simon pada akhir abad ke-18, dan ikut mengilhami Revolusi Perancis, dibangun berdasarkan pemikiran Bacon. Pendekar-pendekar lain yang dipengaruhi pemikiran Bacon pada abad ke-18 dan ikut membidani Revolusi Perancis ialah Rosseau, Louis Blanc dan ahli ekonomi terkemuka Robert Owen (Stephen II 1960:311).Melalui revolusi inilah Perancis tumbuh menjadi negara paling awal dalam menerapkan sistem demokrasi liberal, yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain di Eropah dan Amerika Syarikat. Tetapi ironisnya negara-negara ini tidak dapat membendung hawa nafsunya untuk menjadi negara kolonialis dan imperialis. Negara-negara kapitalis ini memerintah negeri-negeri jajahannya dengan cara-cara yang sangat bertentangan dengan hakikat demokrasi. Sumber dari ambivalensi ini dapat dicari pada kenyataan dijalankannya bersama-sama sistem demokrasi liberal di bidang politik dan sistem kapitalisme di bidang ekonomi dan perdagangan. Memang kedua-duanya tumbuh dari asas yang sama, iaitu saintisme dan liberalisme, namun yang sebenarnya adalah saling bertentangan. Adalah juga ironis kerana sistem pemikiran yang meyakini adanya hukum alam yang ajeg dan tetap yang mengatur pergerakan dan kehidupan di alam semesta, termasuk kehidupan manusia, kelak melahirkan masyarakat yang begitu menyukai perubahan serta menumbuhkan aliranaliran pemikiran yang saling bersaing dan berbenturan. Relativisme kultural yang tumbuh subur pada akhir abad ke-19 M berasal dari kepentingan masyarakat untuk mempertahankan aliran pemikiran masing-masing kerana masing-masing menganggap bahwa alirannya sajalah yang paling benar (EdeI1955:23). Berbagai konflik sosial dan politik yang menyebabkan terjadinya banyak malapetaka kemanusiaan pada abad ke-20M, khususnya Perang Dunia I dan II, kemudian Perang Dingin antara blok timur dan blok barat, berasal dari sengketa pemikiran dan ideologi, dan didorong pula oleh faktor-faktor yang inheren dalam tabiat manusia seperti keinginan menguasai sumber-sumber alam, sarana produksi dan komunikasi, serta pasar. Penemuan-penemuan besar ilmiah dan teknologi yang canggih memberi peluang lebih besar lagi, kerana dengan metod dan sarana yang canggih upaya manusia untuk memuaskan keinginannya dan memenuhi cita-cita Faustiannya akan dapat dicapai lebih cepat dan mudah.
Kenyataan ini memberi peluang munculnya kritikan dan keraguan terhadap saintisme dan rasionalisme.
Pada zaman Renaisan dan Pencerahan abad ke-16 - 18 M, para ilmuwan, filosof dan cendekiawan Eropah yakin bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mendatangkan kebahagiaan dan perdamaian yang berkekalan bagi umat manusia. Peperangan yang menelan banyak korban, sengketa politik dan ideologi, dapat dikurangi, sebab dengan pengetahuan dan nalarnya manusia akan bertambah arif dan bijak, serta toleran terhadap perbezaan-perbezaan pandangan dan agama. Tetapi kenyataan yang muncul adalah sebaliknya. Metod-metod ilmiah yang canggih dan diterapkan dalam ilmu pengetahuan alam dan sosial, dan digunakan untuk menangani masalah sosial, politik dan kemanusiaan ternyata tidak mampu menangani situasi kemasyarakatan yang kompleks seperti sengketa politik, etnik, ideologi dan keagamaan. Sebaliknya di Eropah sendiri sejak akhir abad ke-18 sampai akhir abad ke-19 peperangan dan konflik sosial sanga t banyak bermunculan. Kondisi inilah yang mendorong sejumlah pemikir dan cendekiawan meragukan dakwaan-dakwaan saintisme dan rasionalisme, bahkan mengkritiknya sebagai biang keladi krisis kemanusiaan yang dialami manusia moden. Pertamanya, kerana dalam projeksi saintisme manusia ditempatkan sebagai objek yang kesedaran dan cakrawala hidupnya dibatasi pada persoalan perut dan penguasaan ketrampilan teknik, dengan sedikit pengetahuan untuk menopang dirinya agar dapat mengaktualisasikan hidupnya. Khususnya sebagai homo jaber, makhluk yang gemar kerja dan teknologi, animal rationale, haiwan yang gemar berfikir dan homo eroticus, makhluk yang gemar kenikmatan erotik. Kedua, dengan cara demikian saintisme dan berbagai cabang pemikiran yang muncul kemudian seperti materialisme, darwinisme dan lain-lain bertanggungjawab menciptakan gambaran yang sempit dan reduksionis mengenai manusia, hakikat keberadaan dan peranannya di muka bumi. Manusia dianggap hanya bahagian dari kerajaan benda-benda dan haiwan, dan seperti benda-benda dan haiwan, gerak dan kegiatan hidupnya diatur oleh sebuah hukum alam yang bersifat mekanikal. Kesedaran manusia tidak mendapat tempat. Ketiga, saintisme dan cabang-cabang falsafah yang berkembang daripadanya tidak memberi peluang bagi aktiviti spiritual, keyakinan pada alam transendental dan metafisika. Semua bentuk kegiatan berkenaan dengan agama dan keruhanian dipandang tak rasional, sedang bentuk-bentuk kepercayaan yang lahir darinya disebut tahayul dan merintangi kemajuan. Penyakit-penyakit seperti alienasi (keterasingan), kehampaan spiritual, kecanduan ubat bius, dorongan bunuh diri dan berbagai bentuk frustrasi sosial yang lain adalah harga yang harus dibayar mahal bagi tercapainya cita-cita manusia moden yang bertitik tolak dari pandangan saintisme, rasionalisme, utilitarianisme, materialisme, hedonisme, pragmatisme, evolusionisme, sosiologisme dan lain-lain. Dilatarbelakangi kehampaan spiritual yang memilukan itulah Nietzsche menghujahkan manusia moden dalam bukunya yang terkenal Also Spracht Zarathustra. "Tuhan telah mati!" kata Nietzsche, iaitu dalam jiwa manusia moden.
Orang dan benda pun berdesak-desakan Mata bisa pedih dan luka Oleh orang maupun benda. Lebih baik tinggal saja dalam kelam. (Sapardi Djoko Damono 2001:161) Tidak ada pintu lain yang dapat dimasuki oleh manusia moden selain kegelapan, kesunyian, keterasingan dan pesimisme. Dunia yang kita huni adalah "Tanah mati, tanah kaktus," tutur T. S. Eliot dalam sajak 'Orang-orang Kosong'; "Di sini patung-patung batu Ditegakkan, di sini mereka menerima Permohonan tangan si mati Di bawah kerdip bintang yang redup Mata tidak ada di sini Tidak ada mata di sini Di lembah bintang sekarat ini Di lembah hampa ini Rahang patah dari kerajaan-kerajaan kami yang hilang Dari kerajaan senjakala maut Satu-satunya harapan orang kosong" (Ibid:43) T. S. Eliot mendahului Fucoult tiga puluh tahun lebih dalam menyatakan bahwa 'manusia telah mati'. Sajak 'Orang-orang Kosong' ditulis pada tahun 1930an dan dimasukkan dalam antologi The Waste Land (Tanah Gersang) yang membolehkan penulis memperoleh Hadiah Nobel pada tahun 1948.
Bukan hanya Joseph Brodsky dan T. S. Eliot yang mengakui bahwa krisis yang dialami manusia moden berakar dalam watak kebudayaan moden sendiri yang mencampakkan keruhanian dan tidak memberi tempat pada metafisika serta etika yang didasarkan atas keruhanian. Kebudayaan moden pula yang membiarkan rela tivisme kultural berkembang menjadi sumber konflik sosial, ideologi dan intelektual yang tidak habis-habisnya. Pemikiran pasca moden, yang memperoleh banyak pengikut di kalangan intelektual Eropah, Amerika dan Asia, adalah contoh terbaik pemikiran yang mengiakan sepenuhnya relativisme kultural, khususnya relativisme nilai-nilai, dan pembenaran terhadap keutamaan kenyataan semu dan degradasi moral, sebagaimana tersirat dari andaiannya yang menganggap bahwa kenyataan adalah khayalan dan khayalan adalah kenyataan.
Menanggapi berbagai sengketa ideologi dan budaya yang membuat krisis manusia moden semakin bertambah, dalam eseinya "The Facing Inferno" (1972) Ionesco menulis: Krisis yang diderita manusia moden itu sebenarnya berakar sangat dalam, tidak sebagaimana diduga kebanyakan orang. Ia tidak berakar semata-mata dalam kemiskinan dan kemunduran ekonomi tetapi juga di tempat lain, nun jauh di lubuk kalbu manusia. Di negara-negara miskin seperti India memang banyak orang mati kelaparan disebabkan tidak mendapatkan makan dan tempat tinggal yang semestinya. Tetapi di negara-negara makmur seperti Skandinavia, jumlah orang yang bunuh diri meningkat berlipat-lipat ganda di atas limpahan makanan dan sarana kehidupan yang canggih. "Kita ini," kata Ionesco lagi, "Baik yang mengaku Marxis maupun sosialis, pengikut fanatik Freud dan Nietzsche, sesungguhnya dihadapkan pada masalah yang sarna, iaitu bagaimana seharusnya kita hidup di dunia ini. Dari apa kita mesti membebaskan diri agar dapat hidup lebih baik dan bermartabat? Adakah kita harus membebaskan diri dari naluri rendah dan hawa nafsu? Ataukah dari segala bentuk larangan - undang-undang, kekuasaan politik atau agama? Adakah kita mesti membebaskan diri dari revolusi atau counter-revolusi?" Sang dermawan menjawab, bukan itu jawabnya. "Yang kita perlukan sebenarnya ialah bagaimana menumbuhkan keseimbangan antara nafsu hidup, rasa tidak pernah puas dan kemampuan mengendalikan diri. Dari hari ke hari kita melihat manusia dengan hawa nafsunya, berusaha saling menginjak, sedangkan negara-negara besar berlumba-lumba mendorong dunia melangkah ke dalam kancah kekerasan, sehingga keputusasaan semakin meluas. Lantas timbul fikiran agar ideologi-ideologi sekular dilenyapkan saja. Menolong si miskin, menyebarkan keadilan, memerangi kelaparan, menumbuhkan kebebasan politik dan agama, serta memuaskan dahaga ruhani kita, ternyata bukan itu tujuan manusia dewasa ini. Tujuan manusia sederhana, menguasai dunia dan meningkatkan pertumpahan darah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Market Of ideas will make it wonderfull mind

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya