Cari Blog Ini

Rabu, 30 Juni 2010

ROMANTISME NAIF GAYA Ahlusunnah Waljama'ah


ROMANTISME NAIF GAYA Ahlusunnah Waljama'ah

Tantangan keberagaman saat ini memasuki babak baru. Kalau pada beberapa dekade yang lalau uat beragama masih berkutat untuk saling membuktikan bahwa agamanya yang paling benar dan agama orang lain salah, maka keberagamaan saat ini sudah melampui klaim benar-salah tersebut. Orang tidak ingin lagi terjebak pada truth claim yang dalam sejarah kemanusiaan ternyata melahirkan kekerasan dan penistaan kemanusiaan yang hampir-hampir tidak bisa di nalar oleh logika agama itu sendiri. dalam arti bahwa agama yang dalam dirinya memuat nilai-nilai luhur penghormatan nilai-nilai kemanusia –agama untuk manusia- ternyata seringkali menampilkan wajah yang sebaliknya.
Kesadaran ini tidak mesti di pahami sebagai humanisme naif yang diawali oleh gerakan rennaisance, tapi bahwa kemanusiaan sebuah agama harus bisa di ukur apakah ia dapat mengankat menuasia pada derajat kesempurnaannya ataukan tidak. Sejalan dengan ini, maka agama tidak seharusnya alasan untuk bertindak yang justru menginjak-injak human digniti. Jadi, adagium “agama untuk manusia” harus dipahami bahwa dengan agama, manusia semestinya menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, baik secara individual manupun koleketif. Jadi, bukan dalam pengertian humanisme naif yang meletakkan manusia sebagai titik pusat kosmos sambil merasa berhak untuk melakuakan apapun tanpa mempedulikan keseimbangan tatanan kosmos.
Kesadaran ini akhirnya melahirkna gugatan-gugatan terhadap tafsir-tafsir keagamaan yang selama ini di rasa sering menjadi tidak masuk bagi tindak-tindak yang manusiawi. Tidak perlu di tutup-tutupi bahwa seringkali tafsir keagamaan memainkan peranan penting dalam konflik-konflik kemanusiaan. Sejarah Perang Agama di Eropa yang hampir melumpuhkan Eropa terjadi karena tafsir agama ini. Begitu juga dengan pembelahan umat umat Islam hingga saat ini antara Sunni dengan dari syii yang seringkali menjadi konflik terbuka dan terang-terangan juga dipicu dari sebab yang sama. Dari sini menyadarkan kita bahwa tafsir keagamaan telah begitu banyak andilnya dalam menentukan peradaban manusia. Karena begitu signifikansi posisinya inilah, maka proses evaluasi menjadi perlu untuk selalu digerakkan jika kita tidak ingin peradapan kita hancur justru karena klaim – klaim normatif agama.
Kesadaran inilah yang saya kira membuat kita juga merasa legitimate untuk menilai ulang doktrin Ahlusunnah Waljama'ah yang sekian lama selalu selalau dijadikan ukuran baka untuk menilai kebenaran dan kesalahan seseorang atau kelompok dalam ber-isla. Berkaitan dengan ini pula, seluruh tantangan – tantangan kemanusiaan yang datang dan menantang di depan mata kita hendak kita benturkan dengan konsep Ahlusunnah Waljama'ah. Seperti yang ditulis oleh Gus Mus, bahwa keresahan yang bernada tuntutan tidak lagi bisa dibendung. Petanyaan itu misalnya bagaimana sikap Ahlusunnah Waljama'ah dalam kehidupan sehari-hari, dalam pergaulan sosial, dalampolitik, ekonomi, budaya, dsb? Pembicaraan kita kali ini juga berada diatas rel yang sama (on the same track) dengan tuntutan – tuntutan di atas. Topik “Ahlusunnah Waljama'ah sebagai Manhajul al-Fikr dalam perspektif sosial, budaya, HAM dan lingkungan” adalah sebuah topik yanghendak menuntut Ahlusunnah Waljama'ah untuk menjawab problem – problem kemanusiaan kontemporer yang kurang – lebih adalah poin – poin tersebut.
Akan tetapi, sebelum kita melanjutkan upaya untukmejawab tuntutan tersebut, yang perlu kita pertanyakan adalah apakah tuntutan tersebut proporsional atau nyinyir? Barang kali justru pertanyaan inilah yang perlu kita selesaikan dulu. Jangan – jangan tuntutan ini semacam sikap romantis yang terlanjur mengidealisasi Ahlusunnah Waljama'ah sebagai pusat kebeanaran dalam ber – islam sehingga seluruh problem kemanusiaan harus bisa dijelaskan dalam kerangka Ahlusunnah Waljama'ah –Aswajamania. Kalu memmang ya. Lau, apa bedanya kita dengan para apolog muslim naif yang terus berkoar – koar bahwa seluruh persoalan telah tuntas di jawab oleh Al-Quran sambil menuntut semua orang untuk mengikutinya. Sebuah sikap yang ujung –ujungnya anti toleran, anti pluralitas dan menista HAM. Kalu kita justru terjebak disini, tentu sebuah ironi karana toleransi, penegakan HAM dan liberasi adalah sebuah idealita yang hendak kita perjuangkan.

Ahlusunnah Waljama'ah : Relasi –Relasi Kuasa “We” dan “Other”
Pertanyaan pertama yang patut kita lontarkan disini adalah apakah benar – benar ada Ahlusunnah Waljama'ah dan non –Ahlusunnah Waljama'ah. apakah kolompok non-Ahlusunnah Waljama'ah yang diidentifikasi selama ini sesuai dengan direpesentasikan oleh kelompok Ahlusunnah Waljama'ah?pertanyaan ini sesungguhnya mengandaikan bahwa pencitraan yang dilakukan oleh kelompok Ahlusunnah Waljama'ah adalah sebuah konsep yang diturunkan dari kajian akademis,tapi juga kumpulan imagi –imagi tentang kelompok yang sesat .Di dalam Ahlusunnah Waljama'ah berkumpul sejumlah kode,vocubulari serta praangapan –praanggapan yang menjadi teks pengikat terhadap siapa saja yang hendak melihat dan menilai apa yang disebut sebagai kelompok non Ahlusunnah Waljama'ah .Ahlusunnah Waljama'ah tidak berurusan dengan kesesuaian klaim –klaimnya dengan kenyataan yang ada ,tapi berurusan dengan konsistensi internal dengan ide-idenya tentang kelompok non Ahlusunnah Waljama'ah yang sesat tanpa harus beruruasan dengan realitas yang sesungguhnya.
Terdapat obyek khas yang hanya diciptakan pikiran sehingga obyek yang sebenarnya fiktif berubah memperoleh status obyektif. Sekelompok orang yang hidup di tempat tertentu akan mnciptakan batas-batas antara tanah tempat tinggal mereka dengan batas tanah luarnya .Dengan kata lain, praktek universal untuk menyuguhkan kepada pikiran sendiri untuk suatu ruang yang akrab yang disebut “daerah kita “(we) dengan ruang lain yang lain yang asing yang disebut “daerah mereka (other)”adalah suatu cara untuk menciptakan pembedaan-pembedaan yang sepenuhnya bersifat arbriter. Bersifat arbriter karena perbedaanntara” kita” dengan “mereka”tidak mensyaratkan pengakuan “mereka” terhadap pembedaan tersebut. Cukup bagi “kita”untuk menentukan pembedaan dalam pikiran dan”mereka” menjadi “mereka” dengan sendirinya dan baik wilayah maupun status mentalitasnya (ajaranya) ditetapkan sebagai berbeda dengan wilayah dan mentalitas (ajaran) “kita” pembedaan ini kemudian disertai dengan berbagai ragam stereotype.Dengan pembedaan ini,segala macam dugaan ,asosiasi dan imajinasi tampak memenuhi “yang lain” tersebut .
Filosof perancis, Baston Bachelard ,pernah menulis suatu analisistentang apa yang disebutnya sebagai puisi ruang. Sebuah ruang obyektif – sudut, gang, kamar, loteng, dsb – jauh tidak penting dari pada apa yang di isikan dan dikenal kepadanya secara imajinatif. Ruang dalam sebuah rumah, misalnya, memperoleh suasana keakraban, kerahasiaan atau keamanan disebabkan kaarena pengalaman – pengalaman yang mengisi ruang tersebut. Dengan demikian, ruang tersebut menjadi teduh, menyeramkan atau bagaikan penjara bukan karena realitas obyektif, tapi karena pelabelan secara imajinatif. Inilah rasio Ahlusunnah Waljama'ah ketika ia memberiinilai dan arti atas no Ahlusunnah Waljama'ah sebagai “The Other” pada ahirnya, proses ini menjadi teks baku dengan apa setiap orang sunni harus melewati jaring – jaring kode ini. Kebenaran ditentukan dari penilaian intelek yang sudah terbentuk sebelumnya, bukandari materinya sendiri. istilah “bukan aswaja “ ahirnya adalah sebuah panggung yang memberi batas – batas kepada seluruh kelompok di luarnya yang jati diri dan peranannya telah ditentukan dalam imajinasi Ahlusunnah Waljama'ah.

Ahlusunnah Waljama'ah sebagai Discursive Practice
Adalah sia –sia bagi kita untuk membuktikan bahwa Ahlusunnah Waljama'ah adalah sebua paham ke-islaman yang benar. Tidak ada standar apapun yang bisa gunakan untuk menakar klaim tersebut. Sejauh runtujtan sejarah , maka kita akan menemukan bahwa yang yang terjadi sesungguhnya adalah benturan berbagai perspektif ke-islaman dimana Ahlusunnah Waljama'ah hanya salah asatu kontestannya. Kebenaran dan kesalahan hanya sebagai strategi wacana yang dikkembangkan untuk mendefninisikan diri (We) dan yang lain (Other). Pada saat sebuah wacana menjadi titik pusat, maka ia akan menjadi ukuran untuk menentukan benar dan salahnya wacana lain. Dia akan mengalami nasib yang sama dengan musuhnya jika rlasi kuasa berganti dan titik pusat di pegang oleh orang atau kelompok lain.
Dalam perspektif Culturstudies, keapaan “yang lain” (other) selalu bergantung bagaimana ia di presentasikan oleh sebuah wacana dominan Cultural studies yang mengusung semangat angti-esensialisme, menolak seluruh klaim-klaim hitam putih untuk mengesensialisasi realitas. Realitas adalah representasi. Ia di tambakan sebagai saputan kuas dankerangka wacana dominan yang menjadi titik sumbu dalam perebutaqn makna. Representasi ini di lakukan dalam rangka untuk mendevinisikan diri, membekukan identitas diri. Kebutuhan untuk menentukan identitas inilah yang kemudian melahirkan upaya untuk mencipta dan mendevinisikan yang lain ( other ).
Jadi, identitas kita (we) selalu di bangun untuk mengeksklusikan yang lain (other). Yang lain ( other) dipresentasikan sebagai negativ untuk di perlawankan dengan kita ( we ) yang positif. Yang lain salah dan kita adalah benar. Yang lain menyimpang dan kita adalah normal. Inilah yang di sebut dengan the idea of constitutive othernes, yaitu bahwa kelainan itu di cipta, didefinisikan, dipresentasikan untuk melayani identifikasi dan pengukuhan kita sebagai yang baik, benar, standar, normal, waras, dan segala atribut yang baik-baik. Keseluruhan prakter-praktek ini adalah apa yang di sebut dengan discursive practice (praktek wacana ). Sebuah wacana yang mengrung wacana lain untuk tetapmenjadi pinggiran sehingga ia bisa selalu dipersalahkan dalam rangka melayani kepentingan wacana dominan yang menjadi titik sumbuseluruh relasi kuasa ( power relation ) yang di bangun di atasnya. Tidak perlu heran bahwa Michel Foucailt mengatakan bahwa wacana berjalin berkelindan dengan kekuasaan?
Pembacaan terhadap posisi Ahlusunnah Waljama'ah juga harus kita mulai dari kesdadaran bahwa ia tidak lebih dari sekedar strategi wacana. Cara dia mendevinisikan juga di bangun dengan cara mempresentasikan yang lain sebagai salah. Oposisi bener dipakai sebagai strategi untuk menentukan keapaanya. Ini bisa dilihat dari kelompok yang di anggap menyimpang. Ahlusunnah Waljama'ah seringkali di perlawankan dengan Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij, dsb. Dengan melihat “definisi” yang umum di berikan terhadapnya bahwa Ahlusunnah Waljama'ah adalah kelompok yang dalam teologi mengikuti ajaran Asy’ari dan Maturidi,dalam fiqih mengikuti empat imam madzhab ( Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hambali ) dan dalam tasawuf mengikuti Alghozali dan Junaid Albaghdadi, maka akan segera muncul satu pertanyaan yang mendasar, atas dasar apa ajaran orang-orang ini bisa di anggap sebagai Ahlusunnah Waljama'ah. Kalau aswaja merupakan satu-satunya kelompok yang mendapat jaminan keselamatan berdasarkan satu hadits tertentu, maka stansar apa yang di gunakan untuk menyebut bahwa ajaran merekalah yang benar dan akan menuai keselamatan tersebut?
Tidak ada jawaban apapun untuk mendukung klaim esensialitas kebenaran ini kecuali kalau memahaminya bahwa ini tidak lain adalah strategis wacana. Dalam strategi pewacanaan ini, maka wacana dominan ini akan menyatakan dirinya sebagai titik pusat yang menyandang klaim-klaim kebenaran, dengan apa yang lain kemudian dipresentasikan sebagai kelompok pinggiran yang menyimpang. Mu’tazilah menjadi kelompok yang sesat ketika Asy’ari mendognkelnya dari tahta dominannya. Pada saat Mu’tazilah menjadi titik pusat, Asy’ariyah aadlah sebuah wacana yang menyimpang dan sesat sebagaimana yang tergambarkan dalam peristiwa mihnah tentang status kemakhlukan Al-Qur'an.
Kalau pada awalnya, Asy’ariyah menjadi narasi kecil, maka ketika ia bergeser kepusat, ketika ia diadopsi oleh kekuasaan saat itu, ia berubah menjadi grand narative. Gerakan ‘Asy’arisme yang pada awalnya bisa dipahami sebagai proses decentering dari Grand narative Mu’tazilah, ia merubah dirinya secara sama persis dengan wacana yang dikalahkanya. Asy’ariyyah menjelma menjadi pusat penetu dari wacana-wacana yang ada . dalam hal ini , Asy’ariyyah merupakan wacana dominan yang meminggirkan wacana-wacana lain yang tidak dominan . ibarat lingkaran, Asy’ariyyah merupakan titik tengah lingkaran tersebut. Menjadi hakim untuk menentukan benar tidaknya wacana diluar dirinya. Sebagai istilah generik, yaitu Ahlusunnah Waljama'ah dalam pengertian ma ana alaihi wa ashabi, , maka setiap golongan umat Islam akan meyatakan bahwa keisalaman mereka mengikuti petunjuk rasul sebagaimana yang juga dipraktekkan oleh para sahabatnya.. syi’ah yang dituduh oleh orang Sunni tidak mengahrgai sahabat Abu Bakar , Umar dan Ustman pun mendasarkan klaim –klaim ajaranya pada Nabi dan sahabatnya. Apalagi kalau a Ahlusunnah Waljama'ah dipahami secara Universal sebagai suatu jalan Tuhan menuju kebaikan dan keselamatan, maka tidak hanya orang Islam, tapi juga orang-orang non-Muslim pun akan memiliki klaim yang sama.
“Gugatan” ini jugs kits arahkan pada upaya pendefinisian ulang yang dilakukan oleh said Agil Siraj tentang Ahlusunnah Waljama'ah sebagai manhaj Al-Qur'an-Fikr. Menurutnya, Ahlusunnah Waljama'ah adalah “cara berfikir dalam memahami agama yang meletakkan aspek tawassuth, tasamukh, (tawazun, red) sebagai pijakan dalam mencari jalan tengah.” Dari manakah manhaj ini diturunkan?. Teologi, fiqih,dan tasawuf yang selama ini diklaim sebagai suuni yang manakah yang kemudian bisa di-breakdown menjadi manhaj seperti itu? Kalau Said Agil Siraj menurunkan konsep manhaj-nya dari pemikiran Abu Hanifah, lalu bagaimana dengan pikiran tokoh-tokoh lain? Asy’ary, misalnya, dari sisi mana kita bisa menurunkannya menjadi manhaj dalam melayani kebutuhan kita saat ini. Yang justru bisa kita ambil darinya upaya decemering terhadap grand narative Mu’tazilah. Akan tetapi, ini berarti juga akan membawa kita untuk mengambil semangat yang sama dari Syiah dan khowaarij,misalnya, bahkan dari seluruh kelompok yang melakukan decentering terhadap narasi besar, tidak peduli sekte dan agama apapun. Kalau seperti ini, maka di manakah manhaj tawassuth, tasamuhk, dan tawazun yang digagas oleh said Agil Syiraj karena manhaj ini dirumuskan salah satunya dengan salah satu sentra persaingan antara Asy’ariyah dengan Mu’tazilah adalah masalah posisi rasionalitas dalam proses pemahaman atas wahyu. Dari sini, wacana Ahlusunnah Waljama'ah kemudian meminggirkan sisi rasionalitas secara sistematis dengan membunuh filsafat. Tidak lagi menjadi persoalan apakah sistem teologi Mu,tazilah dibangun diatas landasan rasionalitas sedang Asy’ariyah tidak. Masalah utama adalah kalim. Penyingkiran rasionalitas inilah yang kemudian menggiring diadopsinya sistem tasawuf Al-ghozali dan junaid Al-Qur'an Bagdadi, dan tidak akan pernah menoleh kewilayah tasawuf falsafi. Dari sini kemudian Ahlusunnah Waljama'ah sering kali disinonimkan dengan tradisi keislaman ulama salaf (ahl Al-Qur'an-Hadits yang “tidak menggunakan”akal dalam memahami Al-Qur'an ) dengan ulama kholaf (ahl Al-Qur'an-Ra’y yang menjadikan rasio sebagai instrumen untuk memahami Al-Qur'an ). Dengan cara yang sama, pemilihan empat imam mazhab sebagai sunni juga menggambarkan strstegi pewacanaan yang dilakukan oleh graand narative dalam meminggirkan wacana-wacana kecil.
Dari sinilah Aswaj kemudian penentu yang menghakimi wacana lain diluarnya. Melalui kekuatan narativenya sunni meresaf dalam sistem kekuasaan, imajinasi dan kesadaran orang sebagai centre of truth, Ahlusunnah Waljama'ah kemudian memproduksi aturan-aturan menurut caranya sendiri. Ahlusunnah Waljama'ah mendudukkan diri sebagai hakim atas setiap wacana yang ada diluarnya. Ia memvonis yang lain sebagai keluar dari main stream kebenaran.
Dari renik-renik pertarungan wacana diatas, terlihat bahwa Ahlusunnah Waljama'ah sebagai istilah tehnik yang menunjuk pada corak pemahaman tertentu atas Islam samasekali tidak memiliki pendasaran apapun atas klaimkebenarannya. Ketika ia menjadi wacana pinggiran, maka ia direpresentasikan secara negatif oleh wacana diminan. Ketika ia menjadi wacana dominan ia berganti melakukan hal yang sama. Iia membuat aturanlaindan sekaligus cara mengeksklusifkan khowarij. Sementara, manhaj tersebut dalam praktek politik sunni menjelma menjadi sikap kompromis – nepotis yang kemudian melahirkan satu adagium politik sunni yang sangat terkenal bahwa “enampuluh tahun dipilih oleh penguasa yang zalim lebih baik daripada satu malam tanpa seorang pemimpin” .
Sampai disini semakin terliahat bahwa seluruh perbincangan teentang Ahlusunnah Waljama'ah hanya sebuah romantisme naif karena memganggap bahawa Ahlusunnah Waljama'ah adalah sebuah wacanayang mutlak ideal, maka kita berusaha terus-menerusuntuk mengangkatnya sekalipun yang kita temui adalah ironi-ironi ibarat sisiffus yang terus-menerus mendorong batu kepuncak gunung sekalipun setiap kali sampai puncak setiap kali itu juga dia akan meluncur kedasar jurang. Salah-salah kita terjebak pada retorika gaya Islam modernisyang selalu berusaha selalu mencari orisinilitas sambil berteriak-teriak tahayyul, bid’ah, dan khurafat. Bisa saja ini terjadi karena didalam istilah Ahlusunnah Waljama'ah secara samar-samar terlihat imajinasi ke arah pencarian orisinalitas ini sambil menuduh selluruh orang yang berada di luarnya sebagai kelompok yang tidak selamat . konsekwensi ini bisa terjadi baik rumusan Ahlusunnah Waljama'ah sebagai isi/dogma maupun sebagai manhaj.

Tak Perlu Stempel Ahlusunnah Waljama'ah
Akan lebih sehat bagi kita untuk menjawab tantangan-tantngan masa ini tanpa harus dibebani dengan referensi sejarah masa lalu, apa lagi kalau refrensi itu berupa penjara. Dalam arti bahwa apakah kita memiliki kesadaran sebagai sunni ataukah tidak, semangat toleransi, penghormatan terhadap HAM dan upaya-upaya liberassi adalah sesuatu yang harus kita perjuangkan kesetaraan gender, demokrasi dengan tanpa membedakan kewarganegaraan seseorang berdasarkan agamanya, dialog antaragama tidak harus selalu dicarikan referensi kepada Ahlusunnah Waljama'ah.
Kepada fiqh sunni manakah, baik isimaupun manhaj kita akan mencari rujukan terhadap perjuangan kita akan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban warga negara dalam sebuah negara demokrasi? Kepada fiqih sunni yang manakah , baik isi maupun manhaj, yang akan kita jadikan rujukan bagi perjuangan kesetaraan gender. Terhadap sistem teologi yang manakah, baik isi maupun manhaj, yang akan kita jadikan rujukan dalam melaani semangat-semangat kemanusiaan yang diilhami oleh teologi pembebasan? Bukankah isu -isu kemanusiaan ini yang justru menjadi concern kita saat ini ?
Yang perlu bagi kita saat ini tidak lagi mempermak wajah Ahlusunnah Waljama'ah sedemikian rupa agar ia mampu menjawab seluruh tantangan kemanusiaan saat ini. Upaya rekontruksi Ahlusunnah Waljama'ah menjadi manhajal Fikr juga tidak cukup memadai untuk menjawab tantangan . yang perlu bagi kita adalah bagaimana keberagaman kita melahirkan sengaat untuk semakin menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa mempedulikan kelompok , etnis san agamanya. Semangat ini adalh toleransi, pluralitas, HAM, demmokrasi, lingkungan hidup, dsb. Inilah yang lebih mendesak untuk kita carikan rumusannya dalam sinaran keberagaman kita dalam menegakkan HAM, demokrasi, toleransi, pluralitas, dsb, tiba-tiba kita menmemukannya sama sekali berbeda dengan Ahlusunnah Waljama'ah, baik isi maupun manhaj , ya tidak masalah. Kalau rumusan kita tidak diakui sebagai Ahlusunnah Waljama'ah, tidak usah berkecil hati karena memang tidak ada kewajiban untuk mendapatkan stempel benar dari Ahlusunnah Waljama'ah untuk memperjuangkan ini semua. Inul saja tidak berkepentingan untuk mendapat stempel halal di pantatnya dari MUI.

Selasa, 29 Juni 2010

Game dan Propaganda Barat


Game dan Propaganda Barat
Kita hidup di sebuah zaman yang dipenuhi oleh segala jenis propaganda, yang bahkan telah memasuki alat permainan sehari-hari. Tetapi propaganda pada dunia saat ini lebih banyak didasari oleh unsur politik dan dirancang untuk mendukung program yang dijalankan oleh negara-negara seperti Amerika Serikat. Game atau permainan komputer, play station dsb yang merupakan topik pembahasan dalam pertemuan kita kali ini, merupakan alat permainan yang telah berubah menjadi sarana propaganda. Karena itu bisa kita katakan bahwa fungsi permainan ini telah jauh dari sekadar sebagai alat penghibur dan pengasah otak.
Semua orang tahu apa yang dimaksudkan dengan permainan komputer, tetapi hanya sebagian kecil yang dapat memahami apa sebenarnya yang tersembunyi di permainan ini. Karena itu, betapa mudah alat ini mempengaruhi para penggunanya. Dalam pembahasan kali ini, kami akan membawa anda untuk meninjau beberapa permainan komputer dan menyinggung sifat ambisius perang Amerika dan pengembangan kekerasan yang terdapat dalam permainan ini.
Presiden Amerika, George W Bush pada tanggal 6 Februari 2003 sebelum menyerang Irak berkata kepada Saddam, “The game is over“ atau permainan telah usai. Jacques Chirac dengan lebih jeli mengatakan, “It is not a game, It is not over” artinya ini bukan lah permainan, dan belum berakhir. Sementara itu, seorang Jenderal Tentera Amerika saat menjelaskan teknik perang dipergunakan di Irak banyak mengambil istilah yang ada pada game Pac Man. Pengguanaan istilah-istilah seperti ini dinikmati oleh para pengguna game, sebab istilah-istilah tersebut sudah tidak lagi dipakai pada permainan semata tetapi juga telah menjadi bagian dari kehidupan nyata.
Tetapi di balik itu sebenarnya ada masalah besar yang layak diperhatikan. Dengan menggunakan istilah-istilah seperti itu, para politisi dan kalangan militer AS berusaha mengesankan kepada dunia bahwa perang bukan sebuah fenomena yang buruk. Sebab dalam game, perang tidak mengakibatkan seorangpun terbunuh bahkan tidak ada setetes darahpun yang tercecer. Sementara mereka yang terlibat di medan perang tidak memiliki hubungan keluarga dengan siapapun. Tetapi apakah itu semua sama dengan perang yang terjadi di alam nyata?
Pada dekade terakhir, game dengan tema perang telah berkembang secara luas dengan adanya unsur politik yang mengarahkan. Game dengan judul Badai Padang Pasir adalah salah satu contohnya. Lakon yang ditayangkan dalam permainan ini adalah tentera Amerika atau Inggeris yang bertugas membebaskan Irak dari cengkaman diktator. Musuh utama mereka dalam permainan ini jelas seorang Irak.
Ketika permainan ini dipasarkan pada 13 September 2002 di Eropa, tidak ada sedikitpun suara penentangan. Game diperjualbelikan secara bebas. Hanya mereka yang berusia bawah 16 tahun tidak dianjurkan menggunakannya. Padahal serangan militer Amerika dan Inggeris ke Irak baru terjadi enam bulan setelah itu. Tidak diragukan lagi permainan ini dirancang untuk membuat penggunanya berada pada posisi pembela pola baru dunia.
Game dengan judul Kembali ke Istana Welfan Ashtain dirancang lebih rumit dan teliti. Dalam game ini, pemain menempati posisi tentera Amerika dalam perang dunia kedua. Dia menyelundup masuk ke istana-istana atau gedung tentara Nazi. Lambang Nazi dapat ditemukan dengan mudah pada game ini. Pada mulanya orang berfikir bahwa permainan ini mengandungi unsur propaganda untuk ideologi nasionalisme sosialis atau nazisme. Protes pertama atas game ini muncul tahun 1992 saat stiker Nazi mewarnai cover game ini. Padahal tujuan sebenarnya dari game lebih dari itu. Sama seperti permainan Taufan Sahara, permainan ini juga berusaha mengesankan pasukan Amerika sebagai malaikat penyelamat.
Kelanjutan dari propaganda ini adalah game-game yang dirancang oleh pihak militer Amerika Serikat yang dapat didownload secara percuma dari internet. Permainan ini bernama “Tentara Amerika” dan pertama kali dipasarkan tanggal 4 Februari 2002 bersamaan dengan peringatan hari kemerdekaan Amerika Serikat. Dalam permainan ditampilkan seorang tentara Amerika yang dengan berani maju ke medan perang dan menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya. Permainan ini ditujukan untuk menarik minat generasi muda agar menyukai pekerjaan yang berbau militer. Uniknya, untuk bermain, kita mesti mendaftar di situs internet angkatan bersenjata Amerika Serikat. Mereka yang telah melalui periode latihan militer, akan memiliki peluang besar untuk melewati berbagai tahap permainan ini.
Pada tanggal 13 hingga 16 May 2003 festival pameran permainan komputer yang kedua berlangsung di Los Angeles. Dalam pameran ini sebagian besar perancang game yang ikut memberikan pandangan mengenai perkembangan mendatang permainan komputer adalah perwira militer. Transformasi mendatang ini mencakup masalah kendaraan jenis baru, misi baru, dan kehadiran orang sipil dalam permainan baru. Singkatnya, pameran ini berusaha mengesankan ketertautan dunia nyata dengan alam permainan. Pameran yang berlangsung selama tiga hari ini diakhiri dengan pameran dua kenderaan baru militer.
Sejak dimulainya invasi Amerika dan Inggris di Irak pada 20 November 2003, perusahaan Sony menempelkan tanda Shock and Awe atau kejutan dan kekaguman, pada barang-barang produksinya. Mungkin saja tujuan di balik itu adalah untuk merancang sebuah permainan dengan nama yang sama. Tetapi gelombang protes telah memaksa Sony untuk menyingkirkan niatnya. Meski demikian, perusahaan yang menguasai pasar permainan komputer ini tetap merancang permainan dengan tema perang Irak. Permainan ini merupakan lanjutan kepada permainan Taufan Sahara dan diberi nama Kembali ke Baghdad.
Rata-rata usia mereka yang menggunakan permainan komputer adalah 20 tahun. Media ini mempunyai peminat di seluruh dunia terutama anak-anak muda, dan bukan terbatas pada anak-anak. Seperti apa yang telah kami jelaskan, banyak sekali kebijakan expansionis negara-negara adidaya semisal Amerika Serikat dipropagandakan lewat permainan seperti ini. Maka sudah menjadi tanggungjawab para ahli hari ini untuk tidak memandang permainan komputer ini sebagai permainan yang aman dan hanya memiliki nilai hiburan semata. Adalah jelas bahwa ketidakpedulian dalam hal ini menyebabkan senjata propaganda ini semakin berbahaya dan meninggalkan dampak negatif yang lebih besar.

Propaganda vs Terorisme

Propaganda vs Terorisme

DALAM bukunya "Weltgeschichte der Spionage" (Sejarah Dunia Spionase, Suedwest Verlag GmbH & Co. KG, Muenchen, 1988), yang berisi agen, sistem, dan aksi spionase, seorang ahli sejarah spionase Jerman, Janusz Piekalkiewicz, menutup uraiannya dengan sebuah prediksi, "Tujuan kegiatan dinas rahasia dalam bidang spionase militer di masa mendatang adalah pengintaian potensi-potensi angkatan bersenjata lawan yang diprediksi dalam sepuluh tahun ke depan akan terjadi penemuan peralatan baru...."
Empat ratus tahun Sebelum Masehi, ahli strategi perang Cina, Sun Tzu, mengatakan, "Seratus kemenangan dalam seratus pertempuran bukanlah puncak bersejarah. Adapun seni paling tinggi adalah menekuk lawan tanpa kontak senjata." Misi "menaklukkan lawan tanpa kontak senjata" sering identik dengan misi spionase. Spionaselah yang memegang kunci agar perang dimenangkan dengan mudah, juga murah. "Wissen ist niemals zu teuer bezahlt" (tahu tidak pernah bayar mahal), itulah keyakinan Sir Francis Walsingham yang membentuk badan intelijen Inggris "Secret Service" adab XVI.
Karena kemiripan dalam sifat kerahasiaannya ("seorang dinas rahasia harus tetap rahasia." -George C. Marshall), propaganda dan terorisme sama-sama menggunakan cara-cara atau biasa memanfaatkan jasa, spionase. Bahkan dapat dikatakan, bahwa propaganda dan terorisme adalah kegiatan spionase itu sendiri.
Rupanya buku tersebut amat terilhami oleh bayangan "keberlanjutan" perlombaan senjata selama Perang Dingin; ada gambaran musuh yang nyata, teknologi dan persenjataan yang nyata, serta rencana penyerangan yang nyata pula. Bayangan perang "konvensional" seperti itu ternyata meleset, namun tidak berarti kegiatan pengintaian (mata-mata, spionase), sebagai sebuah alat bantu untuk menaklukan lawan terserah apa "lawan" didefinisikan berhenti.
Zaman berubah, seting konfrontasi global berubah. Menutup abad 20 ini Perang Dingin AS vs Uni Soviet telah berakhir, maka definisi tentang "musuh" pun perlu dipikirkan ulang, terutama bagi pemenang. Penggelindingan bola politik tata dunia dari demokrasi ke globalisasi yang dimotori AS, selain dianggap membawa optimisme bagi kemanusiaan, juga mengandung janin dan melahirkan sepasang oposisi biner baru; yang teramat serius mengancam jalannya pertumbuhan peradaban: propaganda vs terorisme. Kesannya, bukan lagi Perang Dingin penuh intrik dan selubung ketegangan, tetapi semuanya menjadi begitu kontras, vulgar, dan terbuka. Memang, ada alasan yang cukup mengapa satu negara adidaya mengambil propaganda perang "panas" ini.
Adalah The New York Times kian produktif mengusung aktualisasi makna dua kosakata (propaganda dan terorisme) ini ke hadapan publik. Sudah mafhum, kalau surat kabar ini menuding Indonesia sebagai salah satu negara sarang teroris. Dalam edisi 9 Oktober 2001 koran ini mengutip sumber Pentagon bahwa Al-Qaida mengembangkan organisasinya di tiga negara (Indonesia, Filipina, dan Malaysia) setelah Afganistan. Lagi, koran ini, edisi 16 Desember 2002, mengutip pejabat senior Pentagon ihwal perdebatan menyangkut misi propaganda rahasia militer AS di negara sahabat di Timur Tengah, Asia, dan Eropa. Di antara misi rahasia itu adalah mendiskreditkan dan meruntuhkan pengaruh masjid dan sekolah Islam, mendirikan sekolah yang didanai AS, dan mengajarkan Islam ala Amerika. Ini semua berarti, suatu awal babak baru pertempuran yang lebih vulgar, telah ditandai.
Tulisan ini tidak akan membahas sepak terjang Amrozi, Faruq, Ladin, juga Bush, ataupun Blair. Juga tidak akan terpancing dengan isi ungkapan karena itu hanyalah simbol-simbol yang fenomenal, namun membaca ada semacam skenario global sedang memperhadapkan dua isu politik global agar saling bertubrukan: propaganda vs terorisme.
Pertanyaannya, wajarkah alam kita saat ini harus diselimuti oleh dua "hantu zaman" yang mengerikan ini, sedangkan isu-isu "penyelamatan zaman" seperti dialog, toleransi, HAM, demokratisasi, dan keberadaban, baru saja gencar dikhotbahkan? Terkesan ada setting sejarah yang "dipercepat," terburu-buru. Dari mana terlihat? Jawabannya rasa-rasanya kasat mata, bahwa dampak yang ditimbulkan oleh gejala perang baru (terorisme vs propaganda) tak lagi membutuhkan dialog, pertimbangan HAM, apa itu demokrasi, berapa nyawa manusia melayang, dll, semuanya itu semacam "sudah terlampaui"; usang; tak penting lagi.
Sederhananya mungkin begini: Orang besar-kuat, tetapi penakut akan mengambil jalan propaganda, orang kecil-miskin, tetapi nekat akan menempuh jalan teror. Dua-duanya seimbang dalam memproduk ketakutan manusia dan kegelisahan peradaban.
Itulah barangkali strategi khas untuk sebuah setting peperangan yang tidak seimbang. Yang khas lagi dari keduanya adalah absen dalam dua hal: fairness dan sportivitas. Duel konvensional amat dihindari dua pihak bertikai ini. Kekuatan kecil menghadang yang besar, tentu hanya langkah fatal; kekuatan besar mengeroyok yang kecil, memalukan. Tampaknya kedua belah pihak lebih sepakat untuk "lempar batu sembunyi tangan".
Namun, semena-mena mengatakan AS sebagai penakut, rasanya kurang wajar. Lalu, mengapa AS yang adidaya itu menggelar propaganda? Jawabannya dapat dirujuk dari filsafat globalisasi itu sendiri. Tata ekonomi baru yang disebut "globalisasi" yang datang bersamaan dengan filsafat ekonomi-politik neoliberalisme memandang manusia beserta seluruh aspeknya semata-mata sebagai homo economicus (manusia ekonomi) dan menetapkannya sebagai satu-satunya model yang mendasari tindakan dan relasi manusia.
Selain menghendaki pemerintahan yang ekonomis, dialog yang ekonomis, konsep yang ekonomis, politik yang ekomonis, ekonomi yang ekonomis, perusahaan yang ekonomis, manusia-manusia ekonomis, pendek kata segala-galanya ekonomis, AS merancang perang pun harus yang ekonomis. Oleh karena itu, propagandalah satu-satunya strategi dengan biaya murah, namun hasilnya mucekil.
Di masa Perang Dingin, musuh itu riil, hanya aksinya yang abstrak. Uni Soviet itu nyata, tetapi pertempurannya lebih banyak terjadi di dunia "maya", ketegangan lebih banyak hanya dalam ilustrasi film. Intrik intelijen, perlombaan senjata, dan perebutan pengaruh (ideologi) terhadap publik dunia menjadi ciri dominan. Tidak ada perang konvensional terbuka kapitalis vs komunis, AS vs Uni Soviet, di masa itu. Itu terjadi karena masing-masing senantiasa berhitung. Kekuatan militer kedua belah pihak hampir seimbang. "Peperangan" lebih banyak berkecamuk di urat syaraf.
Kapitalisme akhirnya memenangkan game ini, tetapi sebenarnya kekalahan Uni Soviet bukan oleh AS, tetapi oleh negara lain karena tenaga Uni Soviet habis terkuras setelah Negeri Beruang itu nekat melakukan invasi militer ke Afganistan. Tinggallah AS juara sendirian, tidak ada lawan. Lalu, ada gravitasi subjektif, mungkin berlaku ujub atas kebolehannya sendiri, "Persis reaksi koboi setelah menembak jatuh lawannya: memutar-mutar pistol dan lalu menyarungkannya. Seekor ayam jantan akan berkokok setelah musuhnya lari" (Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997). Francis Fukuyama segera "menarikan" pena dengan the end of history-nya, bahwa ujung Perang Dingin telah sekaligus mengantarkan kepada akhir sejarah dan "bahwa dunia ditakdirkan semakin mirip dengan Barat" (visi global Hans Kohn dan Robert Emerson). Benarkah demikian?
Gambarannya sama sekali jauh berbeda. Dalam wacana strategi: tidak ada lawan, berarti kemunduran. Untuk maju, suatu bangsa membutuhkan musuh. Bisa berupa bangsa, kelompok agama, atau sekadar persepsi artifisial, yang karenanya seluruh gerbong bangsa terpacu menghadapinya. Yang penting di sini adalah, ada satu simbol yang dianggap sebagai common enemy (musuh bersama). Ketika lawan riil tidak ada, diciptakanlah lawan dalam bayangan, sebut saja "Perang Panas" (mengambil analogi terbalik dari Perang Dingin). Suatu sindiran yang barangkali tak jauh beda dari buku Enemy in The Mirror, karya Roxanne L. Euben (Princeton University Pres, 1999); berperang melawan persepsi yang adalah ciptaannya sendiri.
Berbeda dari Perang Dingin, di masa Perang Panas ini, aksinya riil, tetapi musuhnya yang abstrak. Produk terorisme sebagaimana juga produk propaganda adalah nyata, terasa; sekian orang mati, sekian miliar kerugian material, sekian bangunan luluhlantak, bahkan bisa melenyapkan sebuah negeri dari peta. Akan tetapi, pelakunya atau sekurangnya "alasannya," masih abstrak. Meski ada di sana disebutkan nama si Anu atau Si Fulan sebagai pelaku, dalam tataran publik, tetap saja ragu. Khasnya kerja dunia serbarahasia, seperti propaganda dan terorisme, adalah memproduk bias persepsi dan mengidap ketidakjelasan inheren; ada sesuatu yang disembunyikan; sesuatu yang lebih penting dan berharga ketimbang yang diedit ke permukaan.
Artinya, jangankan sekadar mengutip "seorang pejabat Pentagon" pernyataan resmi negara pun belum tentu apa yang sebenarnya. Ini karena, baik propaganda maupun terorisme, bekerja dengan agendanya sendiri. Sebuah agenda di luar kebiasaan nalar wajar. Kerahasiaan inilah yang membuat kabur persepsi, publik kehilangan konteks antara tujuan sebenarnya dan aksi masif destruktif yang tampak.
Itulah model perang akhir zaman, teramat sungkelit untuk dipahami. Meminjam istilah Jakob Sumardjo dalam artikel "Puisi Kalekatu" ("PR", 10/12/2002), perang model ini seperti kalekatu, binatang kecil sejenis laron yang suka terbang atau meloncat sehingga sulit ditangkap. Juga lamat-lamat ada sedikit "irisan" dengan pendapat Roxanne L. Euben untuk bidang politik, bahwa "masalah khusus dari teori politik adalah bagaimana caranya membentuk suatu masyarakat yang tanpa perlu fondasi transenden yang menunjang." Suatu bangunan masyarakat politik "pascafondasional" (istilah Euben sendiri) yang menolak segala fondasi sakral, merasa lebih nyaman dengan hasil imajinasi.
Ada semacam tren: orang-orang pascamodern meninggalkan yang fakta dan lebih menyukai yang imaji. Apakah manusia kini sudah bosan dengan realitas kasat mata? Bahkan orang sudah membayangkan, perang zaman ini sejatinya adalah perang wacana; adapun korban jatuh, gedung runtuh, itu hanya fakta semacam "bumbu penyedap" saja, ornamen pemanis dari sebuah skenario.
Kini, di alam kita, konsep the clash of civilization-nya Samuel Huntington juga harus direvisi. Karena hanya benar selama menyangkut hal-hal nonfisik, tidak ada lagi perang kolosal seperti halnya Perang Salib, yang menghadapkan dua pasukan dalam kontak bersenjata, Kristen vs Islam, dimulai 1099 M.
Akan tetapi, apakah makna praktis "terorisme" dan "propaganda" bagi kita orang awam? Kita pada umumnya meyakini, baik terorisme maupun propaganda, keduanya adalah jalan yang tidak wajar/normal. Terorisme menerjang lawan dari belakang secara culas; propaganda mengintimidasi lawan, termasuk membohongi publiknya sendiri. Kedua cara ini dikutuk baik oleh agama ataupun nurani kemanusiaan. Hanya orang-orang yang kerdil dan tak berperikemanusiaan sajalah yang sanggup menjalankan dua strategi ini. Sebuah rivalitas artifisial, keduanya saling berhadapan dalam aksi-aksi masif menghebohkan tanpa kita tahu -- dengan yakin -- siapa sebenarnya yang menjadi pelaku.
Pada dasarnya terorisme adalah sebentuk propaganda juga, sedangkan propaganda bisa merupakan sebentuk teror. Kini bukan lagi perang ideologi, tetapi perang persepsi. Suatu aksi biasa bisa diversi teror oleh propaganda, yang bukan propaganda bisa dibikin propaganda oleh teror. Peran media massa dalam hal ini amat dominan. Itulah barangkali jawaban mengapa The New York Times berperan sedemikian rupa.
Sampai kapan perang ini akan berakhir? Mari kita sama-sama bertanya kepada Ki Dalang.***
Pikiran rakyat, senin 6 Januari 2003
Penulis adalah alumni Univ. Braunschweig, Jerman, 1993, kini bekerja di bagian Personel & Org. Dev. SBU Helikopter, PT Dirgantara Indonesia Bandung.
Rekan-rekan Yth.
Berikut adalah ide2 propaganda yang menekankan agar Pemilu
bebas dari okum, cara2, dan pengaruh Orba.
Propaganda ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran
politik masyarakat akan pentingnya mewujudkan pemerintahan
baru yang hanya bisa terwujud melalui Pemilu yang bebas Orba.
Jadi, meskipun masih terdapat pro kontra akan kesahihan
Pemilu yg dilaksanakan oleh rejim Habibie yg tidak legitimate
dan spekulasi keberhasilan pemilu nanti, yang terpenting
adalah meningkatkan kesadaran politik masyarakat sehingga
bisa mengambil keputusan sendiri harus apa dan bagaimana
dalam menyikapi Pemilu nanti.

Bagi rekan2 seperjuangan yang sevisi, dimohon partisipasinya
untuk masing-masing mengimplementasikan propaganda tersebut
dalam berbagai bentuk yang bisa menyampaikan pesan tersebut
ke publik secara luas, khususnya dari lingkungan sehari-hari
di kantor, klien, kampus, ataupun rumah tangga.

Mengingat biayanya akan sangat besar jika ditanggung satu pihak,
sangat diharapkan masing2 pihak berkontribusi sesuai kemampuannya
untuk mencetak/memproduksi sendiri alat propagandanya.
Materinya bisa diambil atau dikembangkan dari alternatif2 di bawah
ini. Yg penting, ide dasarnya adalah: SAPU BERSIH ORDE BARU,
baik itu cara-cara berpikirnya, cara bertindaknya, kemunafikannya,
kejahatan politiknya, birokrasinya, ketegaannya menyengsarakan
rakyat, sampai oknum dan antek2nya, baik individu maupun organisasi.

Bentuk2 media propaganda tsb al.:
1. Barang cetakan: stiker, spanduk, poster, kaos, badge
2. Banner Ad di internet, signature email anda
3. Iklan di media cetak
dll
Duncan Hallas 1984
Agitasi dan propaganda
(September 1984)
________________________________________
Sumber: What do we mean by ...?, Socialist Worker Review, No.68, Sep 1968, hlm.10;
Disalin & diberi tanda baca oleh Einde OCallaghan untuk Marxists Internet Archive;
________________________________________
Menurut kamus Oxford, mengagitasi adalah “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.
Definisi ini bukan merupakan titik pijak yang buruk. Agitasi memfokuskan diri pada sebuah isu aktual, berupaya ‘mendorong’ suatu tindakan terhadap isu tersebut. Propaganda berurusan dengan penjelasan gagasan-gagasan secara terinci dan lebih sistematis.
Seorang marxis perintis di Rusia, Plekhanov, menunjukkan sebuah konsekuensi yang penting dari pembedaan ini. “Seorang propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of people)”. Seperti semua generalisasi yang seperti itu, pernyataan di atas jangan dipahami secara sangat harfiah. Propaganda, dalam keadaan yang menguntungkan, bisa meraih ribuan atau puluhan ribu orang. Dan ‘sejumlah besar orang’ yang dicapai oleh agitasi jumlahnya sangat tidak tetap. Sekalipun demikian, inti dari pernyataan Plekhanov itu memiliki landasan yang kuat (sound).
Banyak gagasan ke sedikit orang
Lenin, dalam What is to be done, mengembangkan gagasan ini:
Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan memakai bahasa lisan.
Mengenai pokok pikiran yang terakhir, Lenin keliru, karena ia terlalu berat-sebelah. Seperti yang ia sendiri nyatakan, sebelum dan sesudah ia menulis pernyataan di atas, sebuah surat kabar revolusioner bisa dan mesti menjadi agitator yang paling efektif. Tetapi ini merupakan masalah sekunder. Hal yang penting adalah bahwa agitasi, apakah secara lisan atau tertulis, tidak berupaya menjelaskan segala sesuatu. Jadi kita menyatakan, dan mesti menyatakan, bahwa para individu buruh tambang yang menggunakan pengadilan kapitalis untuk melawan NUM adalah buruh pengkhianat, bajingan (villains), dipandang dari segi perjuangan sekarang ini; betul-betul terpisah dari argumen umum tentang watak negara kapitalis. Tentu kita akan mengajukan argumen, tetapi kita berupaya ‘membangkitkan perhatian’, ‘mendorong’, ‘membangkitkan rasa tidak senang dan kemarahan’ terhadap pengadilan di sebanyak mungkin buruh. Ini mencakup mereka (mayoritas besar) yang belum menerima gagasan bahwa negara, negara apapun dan pengadilannya, pasti merupakan sebuah instrumen dari kekuasaan kelas.
Atau ambil sebuah contoh lain. Lenin berbicara tentang “ketidakadilan yang amat parah” (crying injustice). Namun, sebagai seorang pengikut Marx yang mendalam, ia betul-betul mengetahui bahwa tidak ada ‘keadilan’ atau ‘ketidakadilan’ yang terlepas dari kepentingan kelas. Di sini, ia menunjuk dan berseru pada kontradiksi antara konsep ‘keadilan’ (‘justice’ or ‘fairness’) yang dipromosikan oleh para ideolog masyarakat kapitalis dengan realitas yang terekspos dalam perjalanan perjuangan kelas. Dan hal itu mutlak benar dari sudut pandang agitasi.
Seorang propagandis, tentu saja, mesti menyelidiki secara lebih mendalam, mesti meneliti konsep keadilan, perkembangan dan transformasinya melalui berbagai masyarakat berkelas yang berbeda, isi kelasnya yang tak terhindarkan. Tetapi hal itu bukan merupakan tujuan utama dari agitasi. Para ‘marxis’ yang tidak memahami pembedaan ini menjadi korban dari ideologi borjuis, menjadi korban dari generalisasi yang lepas dari konteks waktu (timeless generalisations), yang mencerminkan masyarakat berkelas yang diidealisasikan. Yang paling penting, mereka tidak memahami secara konkrit bagaimana sebenarnya sikap kelas buruh berubah. Mereka tidak memahami peran pengalaman, sebagai contoh, pengalaman tentang peran polisi dalam pemogokan para buruh tambang. Mereka tidak memahami perbedaan antara agitasi dan propaganda.
Kedua hal itu penting, sangat diperlukan, tetapi keduanya tidak selalu bisa dikerjakan. Agitasi memerlukan kekuatan yang lebih besar. Tentu saja seorang individu terkadang bisa mengagitasi sebuah keluhan tertentu secara efektif, katakanlah, keluhan mengenai kurangnya sabun atau tissue toilet yang layak di sebuah tempat kerja tertentu, tetapi sebuah agitasi yang luas dengan sebuah fokus yang umum tidaklah mungkin tanpa sejumlah besar orang yang ditugaskan dengan pantas untuk melaksanakannya, tanpa sebuah partai.
Jadi apa pentingnya pembedaan tersebut sekarang ini? Untuk sebagian besar, para sosialis di Inggris tidak berbicara ke ribuan atau puluhan ribu orang. Kita sedang berbicara ke sejumlah kecil orang, biasanya berupaya meyakinkan mereka (to win them) melalui politik sosialis yang umum, dan bukan melalui agitasi massa. Jadi apa yang kita usulkan (arguing) pada dasarnya adalah propaganda. Tetapi di sinilah kebingungan muncul. Karena terdapat lebih dari satu jenis propaganda. Ada sebuah pembedaan antara propaganda abstrak dan jenis propaganda yang diharapkan dapat mengarah ke suatu aktivitas, yaitu propaganda yang konkrit atau realistik.
Propaganda abstrak memunculkan gagasan yang secara formal benar, tetapi tidak terkait dengan perjuangan atau dengan tingkat kesadaran yang a
da di antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Sebagai contoh, menyatakan bahwa di bawah sosialisme sistem upah akan dihapuskan adalah mutlak benar, menempatkan usulan yang seperti itu kepada para buruh sekarang ini bukanlah agitasi, melainkan propaganda dalam bentuk yang paling abstrak. Begitu pula, usulan terus-menerus (constant demand) untuk sebuah pemogokan umum, terlepas dari apakah prospek untuk melakukannya bersifat riil dalam situasi yang sekarang, mengarah tidak ke agitasi, melainkan ke penarikan diri (abstaining) dari perjuangan yang riil di sini dan sekarang.
Di sisi lain, propaganda realistis berpijak dari asumsi bahwa kelompok-kelompok sosialis yang kecil tidak dapat secara meyakinkan mempengaruhi kelompok-kelompok buruh yang besar sekarang ini di hampir setiap keadaan. Tetapi hal itu juga mengasumsikan bahwa terdapat argumen tentang isu-isu spesifik, yang dapat dicoba untuk dibangun oleh para sosialis. Jadi seorang propagandis realistis di sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki atau perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat mengarahkan perjuangan ke kemenangan, dan sudah tentu melebihi kemenangan kecil (tokens) yang diberikan oleh bikorasi serikat buruh. Jadi mereka akan mengusulkan, misalnya, peningkatan ongkos rata-rata setiap produk (a flat rate increase), pemogokan mati-matian dengan tuntutan penuh (the full claim, all out...strike) dan bukan pemogokan yang selektif, dsb.
Menyeimbangkan agitasi dengan propaganda secara benar (Getting the balance right)
Semua ini bukanlah agitasi dalam arti yang dibicarakan oleh Lenin, hal itu adalah satu atau dua orang sosialis yang memunculkan serangkaian gagasan tentang bagaimana untuk menang. Tetapi hal itu juga bukan propaganda abstrak karena hal itu terkait dengan sebuah perjuangan yang riil dan karenanya bisa terkait dengan minoritas buruh yang cukup besar di suatu wilayah. Ini berarti bahwa propaganda realistis dapat membangun hubungan (strike a chord) dengan sekelompok orang yang jauh lebih besar daripada mereka yang sepenuhnya terbuka untuk gagasan-gagasan sosialis. Bahwa sekarang ini hanya sekelompok orang yang sangat kecil yang akan terbuka untuk semua gagasan-gagasan sosialisme. Kelompok yang lebih besar tidak akan seperti itu, tetapi masih bisa menerima banyak propaganda dari kaum sosialis untuk tidak mempercayai para pejabat, untuk mengorganisir di lapisan bawah (the rank and file) dan sebagainya.
Pentingnya pembedaan ini ada dua (twofold). Para sosialis yang mempercayai bahwa mereka harus melakukan propaganda di kelompok-kelompok diskusi mereka yang kecil, dan mengagitasi di tempat kerja mereka, sangat mungkin menaksir terlalu tinggi (overestimate) pengaruh mereka di sejumlah besar buruh dan dengan demikian kehilangan kesempatan untuk membangun basis di sekitar sejumlah kecil pendukung. Mereka yang percaya bahwa mereka hanya harus melakukan propaganda abstrak dalam diskusi-diskusi mereka dengan para sosialis yang lain dan di tempat kerja mereka bisa mengambil sikap menarik diri ketika perjuangan yang riil benar-benar meletus.
Dengan melakukan propaganda realistis pada sebuah periode di mana agitasi massa secara umum tidak mungkin, kaum sosialis akan jauh lebih mungkin untuk dapat menghindari kedua jebakan tersebut.

Propaganda
Propaganda adalah cara cuci otak pemerintah persis seperti Hitler dgn ganyang Yahudinya pemerintah kita mempergunakan Propaganda sebagai cuci otak Komunal. dulu kita mengenal" ganyang Malaysia" kemudian " ganyang PKI" sekarang "ganyang PRD" Propaganda ini sangat berbahaya. Bukan saja menyesatkan tapi bisa membakar emosi orang terhadap dan menimbulkan sikap brutal terhadap orang yg sudah diberi cap " ganyang".
Banyak orang yang melupakan sejarah, Bahwa PKI itu dulu adalah partai yang sah. Tetapi berkat program brain wash pemerintah yg bernama pelajaran PMP dan penataran P4, maka PKI tak ubahnya seperti hantu yang menakutkan. Maka coba lihat betapa image terhadap PKI sudah sedemikian jeleknya sampai anak dan cucu PKI sendiri masih diaanggap berbahaya oleh masyarakat. Kini giliran PRD pun tiba.Pemerintah dgn susah payah mencoba menghipnotis masyarakat bahwa PRD itu adalah PKI.Padahal perjuangan PRD itu sebenarnya perjuangan yang mewakili tuntutan perubahan kita semua.Dan kebanyakan dari mereka bukan generasi yang lahir pada saat PKI berkuasa. Suatu saat nanti mungkin semua orang yang ingin bekerja harus melampirkan surat bebas PRD agar bisa bekerja.
Propaganda Jerman dgn " Heil Hitler" nya di terjemahkan oleh pemerintah dgn gaya yg lain." Suharto Bapak Pembangunan". atau " "Suharto penyambung Lidah rakyat". Propaganda sangat membodohkan kita semua. Satu Satunya cara untuk melumpuhkan Propaganda adalah dengan Counter Attack. Cipatakan Counter Propaganda baru seperti" Down with Golkar" atau"Lengserkan Orde Baru" atau yang lebih radikal" Ganyang Suharto"
Apakah label komunisme yang dipakai pemerintah untuk menyapu
bersih gerakan pro-demokrasi masih cukup efektif?
* Sederhana saja, kalau kita belajar dari sejarah dan pelajari
teori-teori komunikasi dan propaganda, ada satu diktum yang
menyatakan bahwa informasi atau indoktrinasi yang terus-menerus
dijejalkan tanpa didukung oleh bukti empirik; lama kelamaan akan
membuat orang yang menerima menjadi mual dan muntah. Nah, demiki-
an halnya dengan 'hantu komunisme' yang dipakai pemerintah saat
ini. Masyarakat awam sudah kebal dan tidak percaya lagi, apalagi
kalangan aktivis pro-demokrasi. Lagipula 'teror' itu -- saya
gunakan istilah ini karena lebih tepat -- terbukti lebih banyak
digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan mengalihkan
perhatian dari masalah sosial yang ada. Kalaupun kemudian masya-
rakat takut akan pelabelan atau stigmatisasi komunis itu lebih
karena kekhawatiran mereka akan implikasi tindakan represi dari
pemerintah.
Anda percaya kekuatan pro-demokrasi akan kembali bangkit di masa
rezim Soeharto ini?
* Tentu saja kekuatan pro-demokrasi kembali akan bangkit. Selama
ada ketidakadilan, penyimpangan sosial, dan penyalahgunaan kekua-
saan; resultante-nya selalu muncul aktor-aktor yang menuntut dan
menginginkan reformasi dan demokratisasi. Semangat semacam itu
tidak bisa ditindas dengan kekerasan fisik. Apalagi pergerakan
selama ini, meskipun belum menunjukkan kinerja dan kualitas yang
optimal, tapi secara embriotik cukup prospektif.
Kapan mereka bangkit?
* Kalau ditanya kapan waktunya, sebetulnya sekarang inipun kelom-
pok-kelompok pro-demokrasi tetap melakukan aktivitas seperti
biasa, tapi mengapa tak terlihat dipermukaan? Jawabannya tergan-
tung pada isyu dan momentumnya apa yang menstimulusnya.
Apakah masyarakat juga optimis terhadap gerakan pro-demokrasi?
* Ini bukan persoalan optimis atau pesimis. Gerak sejarah memper-
lihatkan bahwa sebuah rejim otoriter pada saatnya akan mengalami
krisis. Krisis itu inheren pada rejim itu sendiri. Secara struk-
tural rejim otoriter akan mengalami kemandekan karena tidak mampu
untuk memperbaiki atau mereproduksi sistimnya sendiri. Akan
tetapi krisis itu tidak akan memuncak dan mengarah kepada trans-
isi menuju perubahan, kalau tidak aktor-aktor yang memfasilitasi-
nya. Nah, di sinilah fungsi gerakan pro-demokrasi. Perubahan akan
terjadi sebagai hasil dialektika dari ketegangan struktural dan
subyektivitas aktor pro-demokrasi.
Perselisihan di tingkat elit dan tekanan internasional, apakah
itu juga bisa jadi alasan optimis?
* Fragmentasi di kalangan elit politik/militer memang sedikit
memberi peluang atau keleluasaan ruang gerak kelompok pro-demok-
rasi melakukan manuver politik, demikian juga tekanan interna-
sional sedikit memberi perlindungan atau proteksi pada aktor pro-
demokrasi dari tekanan negara. Namun menurut hemat saya, faktor
yang paling signifikan bagi transisi menuju demokratisasi di
Indonesia adalah pergeseran struktur ekonomi dan gerak, mobilitas
modal. Perubahan di Indonesia kelak merupakan hasil dari konflik
kelas antara pemodal transnasional, pemodal domestik, dengan
pemodal yang selama ini menjalankan praktek rente-kapitalisme.
Mengenai Megawati, masihkah ia potensial setelah 27 Juli terjadi?
* Megawati tetap menjadi salah satu figur penting dalam transisi
dan demokratisasi di Indonesia. Sekarang saja ia sudah menjadi
simbol harapan rakyat Indonesia akan perbaikan sosial. Perform-
ance-nya yang sejuk dan cenderung non-konfrotatif tampaknya
menjadi obat bagi masyarakat Indonesia yang sakit, karena trauma
politik peristiwa 1965. Walaupun ia belum menunjukkan kapasitas
politik intelektual seperti yang diharapkan oleh kalangan terpe-
lajar kota dan sedikit banyak kepopulerannya juga didukung oleh
kharisma ayahnya, Bung Karno. Namun itu saja, sudah menunjukkan
bahwa gerakan pro-demokrasi tidak bisa mengabaikan Megawati,
perlu ada dialog lebih lanjut dan kerangka kerja yang lebih
konkrit dengannya.
Bila sedikit berefleksi, melihat peristiwa 27 Juli serta dampak-
nya, pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu? Apakah
gerakan pro-demokrasi saat itu overestimate?
* Persoalannya bukanlah gerakan pro-demokrasi yang terlalu overe-
stimasi atau terlalu percaya diri, tapi itu adalah konsekuensi
dari sebuah pilihan dan keberpihakan. Politik adalah seni mencari
kemungkinan. Lagipula gerakan pro-demokrasi memang mau tak mau
harus mendukung Megawati karena 'kekotoran' yang dilakukan pemer-
intah untuk menggeser Megawati. Adalah tindakan amoral dan tak
bertanggungjawab apabila kelompok dan individu yang mengklaim
ingin mewujudkan demokrasi di Indonesia, hanya berdiam diri atau
pasif melihat praktek abuses of power. Kalaupun kemudian yang
terjadi adalah reaksi keras dan represi dari pemerintah, yang
harus dilihat bukanlah akibatnya tapi apa sebabnya. Sejauh ini
yang dilakukan oleh PDI di bawah Megawati dan gerakan pro-demok-
rasi tetap berada dijalur yang konstitusional dan demokratik.
Demonstrasi turun ke jalan dan mimbar bebas adalah prosedur
demokratik yang sah.
Apa yang bisa dipergunakan untuk kembali mempersatukan, mengkon-
solidasikan kekuatan pro-demokrasi saat ini?
* Untuk soal ini, saya kira tak ada satupun yang bisa dengan jitu
menebak isyu apa yang bisa mempersatukan atau mengkonsolidasi
kekuatan pro-demokrasi. Begitu banyak isyu sosial, ekonomi, dan
politik yang problematik dalam masyarakat Indonesia. Yang manapun
bisa menjadi trigger. Persoalannya sekarang kembali kepada aktor-
aktor pro-demokrasi itu sendiri, apakah mereka mampu meningkatkan
pengorganisasian diri dengan baik dan disiplin. Tak hanya berali-
ansi sekedar karena reaksi terhadap satu kasus saja. Tapi memban-
gun aliansi yang permanen. Aliansi strategis. Dan yang paling
penting lagi bagaimana kekuatan pro-demokrasi mampu membangkitkan
resistensi, perlawanan rakyat.
Meski sekarang masih banyak yang 'tiarap'...
* Seharusnya kita lihat, peristiwa 27 Juli merupakan pendidikan
politik yang paling berharga bagi rakyat Indonesia. Kesadaran
politik rakyat jauh lebih baik dari apa yang selama ini kita
kira. Karena secara transparan rakyat melihat dengan jelas bagai-
mana praktek politik yang dijalankan pemerintah. Dan, kalau kita
mau melihat dengan jernih, boleh dikata kelompok-kelompok dalam
masyarakat tidak banyak terpengaruh peristiwa 27 Juli. Lihat saja
aksi protes buruh atau protes rakyat yang tanahnya mengalami
sengketa tetap muncul. Yang justru aktivitasnya menurun adalah
kelompok-kelompok yang selama ini mengklaim pro-demokrasi. Apa
artinya ini? Bagi rakyat yang menjadi korban 'pembangunan',
perubahan adalah suatu hal yang mendesak yang menyangkut keber-
langsungan hidup mereka sehari-hari, sedangkan bagi kelompok-
kelompok pro-demokrasi yang kebanyakan dari mereka masuk kategori
kelas menengah, pada dasarnya ada atau tidak perubahan, keber-
langsungan hidup mereka sehari-hari masih lebih terjamin
Propaganda Monyong

Peserta pemilu dengan berbagai ulah habis-habisan unjuk gigi. Mulai dari kampanye di ruang tertutup sampai di jalan-jalan dan lapangan terbuka mereka buka-bukaan menyampaikan ‘iklan’ dagang partai agar rakyat simpati dan mencoblosnya.
Meski sebutan era reformasi tapi propaganda di masa sekarang nyaris tidak ada bedanya dengan model kampanye di zaman Orde Baru. Gayanya, jahitannya, bahannya, apalagi potongan dan cara-cara bicara untuk meminang massa samimawon. Mereka masih menjual ‘konflik’ dan bukan program-program nyata memperbaiki nasib bangsa.
Hampir semua partai peserta pemilu masih mengobral ‘janji’ bukan ‘bukti’. Kalaupun ada partai yang melakukan kampanye dengan pendekatan dialogis, gregetnya nyaris kurang terasa. Boleh dibilang ibarat masakan kurang bumbu penyedap dan ”gizi”. Perang propaganda untuk masa sekarang, bukan hanya dengan menjual angin suara saja tetapi juga sudah sampai bicara berapa jumlah angpao yang harus dibagi-bagikan. Semua ini dilakukan untuk menjaring dan meraih simpati sebanyak-banyaknya. ltu sebabnya, kampanye melalui media massa dan media elektronik dianggap sangat menguntungkan dan dapat mempengaruhi massa begitu cepat.
Menariknya secara terbuka partai peserta pemilu bonek (bondo nekat) menyatakan dirinya sebagai partai yang siap membela dan mensejahterahkan rakyat. Padahal dagangan kecap nomor satu ini bukan hal yang baru, melainkan sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Rakyat sudah muak dan bosan dengan janji-janji palsu, sebab pada prakteknya sejak pemilu pertama di gelar di Tanah Air hingga sekarang, hasilnya sama saja rakyat nasibnya tetap melarat. Kini tawaran berbagai merk itu secara kontinyu menyerbu di rumah rakyat melalui media televisi. Tujuannya tidak lain, partai peserta pemilu ingin mengajak rujuk nasional.
Propaganda ini ternyata cukup efektif bahkan dapat merayap sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Mulai dari kakek-kakek, nenek-nenek serta anak-anak kecil sudah pandai mengeja pesan, ”Cong Tih” sambit menunjuk ke arah moncong - mulutnya.

Propaganda Semu
Bagi masyarakat majemuk seperti di Indonesia sekecil apapun informasi yang sampai ke telinga rakyat sudah dapat dipastikan penyebarannya begitu cepat dan mudah terprovokasi. Semua ini karena peran media cetak maupun elektronik yang telah menjadi kebutuhan masyarakat. Baru-baru ini - misalnya penyakit demam berdarah telah menjadi musibah nasional.Melalui media massa dan elektronik informasi itu dapat
dengan cepat diketahui oleh masyarakat luas. Begitupun dengan iklan layanan masyarakat agar menjaga lingkungan merupakan bukti pesan yang sangat jitu dan mujarab. Oleh karenanya dengan begitu banyaknya partai peserta pemilu mengadu ‘monyong’ di televisi, bukannya masyarakat bertambah cerdas untuk memilih partai mana yang akan dijadikan idolanya, tetapi justru kebingungan tujuh keliling mana yang musti dicoblos.

Adu Monyong
Menjual kebohongan merupakan pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Seperti yang kita saksikan dipinggiran jalan trotoar, begitu banyak para pedagang yang ‘menyihir’ para konsumennya agar tertarik membeli sebuah produk. Pemasaran dengan kiat mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara berbohong, pasti tidak akan langgeng dan menjadi berkah. Begitu juga, kalau partai peserta pemilu dalam kampanye cuma adu monyong menjual ‘kebohongan’ , rakyat pasti akan ngacir kabur.
Pengalaman sudah membuktikan.Semestinya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu, tatanan kehidupan masyarakat bertambah baik bukannya bertambah sengsara.
Tetapi apayang terjadi? Inilah nasib yang menimpa di tanah air kita, pemilu justru mengundang persoalan baru. Bukannya menuju pada perbaikan nasib bangsa tetapi justru sebaliknya.

Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII


Kritik atas Ideologi dan Paradigma Gerakan PMII
Tak satupun di antara kader PMII yang menghendaki PMII menua, memfosil dan kehilangan peran kesejarahannya. Tudingan negatif di atas sebaiknya menjadi cambuk bagi PMII untuk kembali melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprahnya selama ini. Dalam tradisi keilmuan dan gerakan, kritisisme adalah conditio sine qua none yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya. Kritisime dalam berpikir, bersikap dan berprilaku inilah yang akan mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan peradaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII kembali kritis dan pejuang perubahan. Lebih dari itu, kritisisme itu akan menjadi salah satu takaran penting mengejawantahkan berbagai nilai-nilai ideologis-paradigmatis PMII dalam menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
Kritik-Otokritik gerakan PMII meliputi dua hal utama, antara lain, Pertama, berkaitan dengan tatanan internal keorganisasian, yang bertumpu pada lima (5) fakta organisasi ; 1). Ideologi dan paradigma gerakan ; 2).Sistem organisasi ; 3). Sistem pengkaderan ; 4). Strategi organisasi dan ; 5). Logistik organisasi. Kedua, platform dan pola relasi PMII dengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya, yang meliputi ; 1). Relasi PMII - negara ; 2). Relasi PMII - rakyat serta kekuatan sipil lainnya ; 3), Relasi PMII - kampus, gerakan mahasiswa dan pro demokrasi ; 4). Relasi PMII - kekuatan kapitalisme global.
Tak satupun organisasi bergerak tanpa payung idologi yang jelas. Ideologi berfungsi ibarat obor penerang jalan kiprah sebuah organisasi. Ideologi yang kerap dimaknai sebagai “a set of closely related belief, or ideas, or even attitudes, characteristics of a group or community” (Plamenatz; 1970), akan menjadi titik pembeda antara PMII dengan organisasi kemahasiswaan lainnya.
Dalam wilayah ideal, PMII diandaikan (mesti) mampu memerankan dirinya pada kerja-kerja besar ideologi, mulai dari; pertama, PMII mampu menjadi penggagas ideologi bagi diri dan masyarakatnya, dengan ini characteristic building PMII mewujud kukuh dalam setiap gerakannya. Ini berarti PMII harus mampu menyusun dan mengembangkan ideologinya, mulai dari postulasi pemikiran yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, hingga tafsir dan detail pengembangan dan penggunaannya. Kalau hal ini tak tercapai, maka kedua, PMI berfungsi menjadi pendukung dan mufassir ideologi tertentu sebagai pembenar dalam setiap sikap dan tindakannya. Dan ketiga, menggiring PMII sebagai pengemban ideologi, dimana PMII menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk mencapai arah akhir dari ideologi anutannya. (bandingkan dengan Hanief & Zaini; 2000).
Dalam intensitas dan spektrum yang berbeda, PMII pernah mengoperasikan ketiga bentuk peran tersebut, selama 4 (empat) dasa warsa lebih. Tatkala negara terkotak-kotak dalam politik aliran era Orde Lama Soekarno, yang menempatkan politik sebagai panglima, PMII memainkan peran pendukung sekaligus ideologi politik Islam tradisionalis. Peran ini menjebak PMII tercebur dalam kerja-kerja politik praktis yang menghilangkan watak radikal dan independensinya sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan.
Begitu pula pada awal Orde Baru ditegakkan, PMII masih berkutat dengan pergulatan Islam sebagai ideologi politik dan tawaran developmentalisme yang memaksakan depolitisasi aliran dan dealiranisasi politik. Titik balik terjadi, ketika PMII kemudian mentahbiskan dirinya independen tidak terkait dengan organisasi politik manapun melalu Deklarasi Murnajati 1972 di Malang. Independensi PMII ini bermakna hilangnya keterikatan organisasi dari sikap dan tindakan siapapun dan hanya setia dengan perjuangan PMII sendiri serta cita-cita perjuangan nasional berlandaskan Pancasila.
Puncaknya, independensi PMII itu menjadi entry point upaya pencarian (merumuskan) jati diri organisasi yang sesungguhnya. Artinya, PMII mulai harus mengurus dirinya sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang (kekuatan) lain, sambil terus berpegang pada landasan yang berasal dari dalam tradisinya sendiri serta kekuatan yang dibangunnya sendiri. Sikap ini telah mampu mencairkan berbagai trauma-trauma politik dan gerakan PMII di masa sebelumnya, hingga PMII memiliki keleluasaan gerak lebih lugas memilih peran-peran intelekual, kemasyarakatan dan kritisisme terhadap agama maupun negara tanpa terbebani oleh kejumudan tradisi (ortodoksi pemahaman keagamaan) ataupun terbatasi oleh keterikatan politik dengan kekuatan manapun.
Perumusan ideologi PMII sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) momentum penting ; 1). Kembalinya NU kepada khittah 1926 ; 2). Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya azaz tunggal dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara ; 3). Serta dirumuskannya NDP PMII dalam Konggres ke-8 tahun 1985. Bersamaan dengan itu kader PMII telah mulai menyebar di berbagai kampus umum dan aktif bergerak di berbagai LSM untuk melakukan gerakan pemberdayaan masyarakat serta terlibat intens dalam aksi-aksi jalanan melawan hegemoni negara.
Akhirnya pada paruh pertama dasa warsa ‘90-an, berbagai rumusan ideologi dan paradigma gerakan PMII terbentuk. Ideologi gerakan PMII bukanlah bangunan ideologi sekuler, melainkan ideologi berbasis agama. Sebab, ideologi yang dibangun oleh PMII menggambarkan susunan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dicita-citakan, dalam keterkaitan di antara hubungan kekuasaan sesama manusia didalam masyarakatnya dengan pengabdian manusia kepada Tuhan sebagai penguasa tertinggi berasal tradisi pemahaman ke-Islaman bersumber dari nilai-nilai Aswaja (yang dipandang sebagai manhaj al-fikr).
Sedangkan paradigma gerakan PMII di bangun atas postulasi-postulasi dan nilai-nilai universal Islam serta hasil dialog kreatif tradisi pemahaman Islam tradisional dengan background sosial dan historis (tradisonal dan rural-agraris) aktifis PMII dan realitas sosial-politik khas Indonesia. Paradigma gerakan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Thomas S. Kuhn yang memandang pradigma sebagai serangkaian konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah, dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial (Kuhn, 1962).
Dengan ideologi yang bersumber dari agama, watak paradigma PMII pun tak lepas dari landasan teologis yang dianutnya. Corak pemahaman teologis yang mempengaruhi cara pandang dan etos gerakan PMII inilah yang nantinya menjadi pembeda dengan berbagai paradigma gerakan mahasiswa atau kekuatan sipil lainnya. Akhirnya, PMII memilih paradigma kritis transformatif sebagai paradigma gerakannya, bahkan rumusan ini termaktub dengan jelas dalam Bab V pasal 6 Anggaran Dasar PMII hasil Kongres PMII Medan tahun 2000 lalu.
Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan kesimpangsiuran konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan ideologi dan paradigma gerakan PMII. Kritik atas ideologi dan paradigma PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab ada beberapa hal yang mesti dituntaskan berkaitan dengan persoalan tersebut. Pertama, rumusan teologis paradigma PMII selama ini didasarkan pada rumusan Aswaja dan NDP yang masih normatif. Padahal proyek dekonstruksi Aswaja sampai hari ini masih terus berlangsung dan belum menemukan konsepsi otoritatifnya. Bagaimana PMII kemudian berani mendasarkan landasan teologisnya pada sebuah diskursus dekonstruksi dan rekonstruksi Aswaja yang belum usai, menyimpan kontradiksi di sana-sini, belum ada bangunan epistimologisnya, dan dipenuhi perdebatan teologis dari pemikir Islam tradisional ?. Jangan-jangan ini hanya menjadi semacam “kegenitan” intelektual” para aktifis PMII yang kemudian menjadikan rumusan teologis PMII sebagai media “uji coba” dalam mencari konsepsi teologis Islam tradisional yang paling sesui dengan gerak dinamika sosial dan sejarah?.
Sekitar tahun 1996-1997 an, PMII mengangkat tema teologi antroposentrisme-transendental sebagai landasan paradigma gerakannya. Konstatasi ini menempatkan manusia sebagai subyek utama yang melakukan tugas dan fungsi Tuhan di muka bumi (khalifatullah fil ardl), dimana manusia tidak diletakkan pada dua kutub yang diametral dan kontradiktif, yakni di satu sisi sebagai khalifatullah yang memiliki tugas memakmurkan bumi dan menyelesaikan persoalan kemanusiaan dengan keadilan, dan di sisi lain sebagai abdullah yang mempunyai tugas mengabdi dan menyembah Allah dengan penuh kepasrahan. Namun, sebagai totalitas kesatuan kekhalifahan dan abdullah sekaligus, yakni menempatkan manusia sebagai makhluk yang paling tinggi, sebagai khalifah Allah di muka bumi dan sebagai makhluk yang mempunyai kemampuan fitri dan akali (PB PMII, 1997).
Postulasi pandangan teologis seperti ini memang lebih maju sebagai upaya penafsiran atas normatifitas NDP PMII, namun sebenarnya belum memberikan jawaban apapun atas berbagai persoalan dekonstruksi teologi Aswaja yang sudah hampir satu dasa warsa ini diperdebatkan. Apalagi kalau kemudian konsepsi ini digugat dengan realitas di lapangan, bahwa tidak ada korelasi positif antara pandangan teologis PMII ini dengan seluruh etos dan pola gerakan PMII hari ini. Sementara itu PMII telah memilih transformasi sebagai pilihan paradigmanya, padahal pandangan teologis antroposentrisme-transendental PMII masih belum mampu menjawab apa bangunan epistimologisnya, realitas wujudnya dan corak serta watak teologi apa yang sebenarnya dihasilkan, apakah revolusioner? Transformatif ? Normatif ? Atau bahkan malah fundamentalis-formalistik ? Sungguh masih sangat banyak pertanyaan dan problema yang muncul dari berbagai rumusan teologis yang telah PMII klaim sebagai basis ideologi dan paradigmanya.
Kedua, rumusan sebuah paradima gerakan itu sangat terikat dengan ruang dan waktu (space and time) serta harus bersifat terbuka atas perubahan (open ended). Artinya, paradigma PMII ini akan mengalami deviasi atau shifting paradigm yang akan melahirkan sebuah community consensus baru, hal ini akan berlangung terus menerus. Karena itu, watak paradigma PMII adalah temporal/ tidak permanen, dan akan terus mengalami perubahan sebagai bentuk tuntutan penyesuaian atas watak dinamis gerak sejarah kemanusiaan yang terus berkembang dan berubah-ubah.
Persoalan menjadi muncul, tatkala PMII membakukan konsepsi paradigma kritis transformatif tersebut dalam Anggaran Dasarnya. Sebab, dengan memasukkan paradigma tersebut dalam AD PMII, seakan-akan menyiratkan bahwa rumuan paradigma itu digiring untuk dipermanenkan di PMII. Ini adalah kontradiktif dengan watak sebuah paradigma itu sendiri yang sangat terikat oleh relatifitas space and time, dan itu artinya tidak permanen dan sangat mungkin dirubah, sesuai dengan konteks dimana serta kapan paradigma itu diterapkan.
Sangat wajar, jika kemudian 2 tahun terakhir ini mulai dipertanyakan kembali rumusan teologis dan paradigma gerakan PMII itu oleh beberapa aktifis PMII sendiri? Sebab kenyataannya, tidak ada relasi timbal-balik antara rumusan teologis dan paradigma itu dengan seluruh aktifitas yang dilakukan oleh PMII di seluruh tingkatan? Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII itu melakukan aksi jalanan ataupun pemikiran itu dijiwai / disemangati oleh landasan teologis dan paradigma PMII sendiri.

Teori Revolusi Mao Ze Dong : "Desa Mengepung Kota"

Bukalah kembali buku sejarah, pada fase jelang 1965, kosa kata atawa jargon yang sangat familiar dipakai dalam pentas politik kala itu adalah (salah satunya) “Desa Mengepung Kota (DMK)”. Diantara banyak jargon kala itu (Soekarno adalah “master” jargon), jargon revolusi DMK adalah jargon yang selalu dihembuskan oleh PKI. DMK ibarat teori Perang-nya Sun Tzun. DMK identik dengan komunisme, tapi DMK bukanlah jargon produk “mbahnya” Komunis – Karl Marx” atau "Putra Mahkota Marx" Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin. Teori "desa mengepung kota" sebenarnya tidak ada hubungannya dengan penyebaran komunisme sebagai suatu ideologi atau sistem politik. Kalau kita tempatkan pada kompleksitas wacana Mao, teori itu merupakan "prinsip militer" (military principle) untuk memenangkan medan laga. Itu dilakukan oleh suatu satuan kekuatan yang lebih lemah melawan satuan-satuan kekuatan yang lebih kuat. Prinsip yang sama dapat dilakukan oleh satuan gerilya di mana pun, tanpa harus mengaitkannya dengan ideologi komunis atau non-komunis. Keberhasilan partisan Perancis dan Itali melawan Hitler pada masa Perang Dunia II, dan sebaliknya kegagalan partisan Polandia, adalah contoh lain penerapan teori desa mengepung kota. Istilah lain yang sering digunakan adalah focoisme, Castroisme dan fidelismo. DMK murni produk dari Mao Ze Dong. Who is He ?

Harus diakui, Mao Zedong memang merupakan fenomena penting dalam perkembangan teori revolusi. Pemikiran-pemikirannya merupakan alternatif bagi revolusi model Soviet yang bertumpu pada kekuatan dan kepemimpinan kaum buruh. Seperti halnya Vladimir Lenin, Mao memang merupakan bagian kecil dari sedikit teoritisi dan sekaligus praktisi revolusi sosialis. Ia mampu mengangkat latar belakang sosial ekonomi dan kultural untuk mendukung obsesi revolusioner. Mao belajar banyak dari Lenin. Mao percaya bahwa partai yang disiplin, kohesif dan didukung struktur kepemimpinan yang hierarkis merupakan syarat berhasilnya revolusi sosialis. Peranan kader partai sebagai penggerak mobilisasi massa menjadi faktor penting.
Dalam pandangan Mao, kegagalan revolusi petani Taiping dan Nien adalah karena tidak adanya ideologi yang sistematik yang memberi pengarahan pada apa yang seharusnya dilakukan oleh para petani.

Namun berbeda dengan Lenin, Mao telah menjadi revolusioner jauh sebelum menjadi seseorang yang meneguk Marxisme. Sebab itu, ia bukanlah teoritisi yang konservatif dalam menafsirkan ajaran Marxisme, bahkan ia memberi kesan sangat anti-dogmatis. Ia sengaja menafsirkan proletariat dari padananya dalam bahasa Cina, wu-chan chieh-chi (lapiasan sosial yang hanya memiliki sedikit harta), dan sampai pada kesimpulan bahwa petani dapat menjadi kekuatan revolusioner. Sebelum berhasilnya revolusi Cina, kaum Marxis memandang rendah pada potensi kaum tani sebagai penyanggah utama revolusi. Gagasan-gagasan dan politik Mao bukan saja mengawali pertikaian Sino-Soviet selama lebih dari tigapuluh tahun, tetapi juga memberikan harapan baru di beberapa negara berkembang.

Satu hal yang mungkin menyebabkan Mao "lebih besar" dari Lenin adalah gagasannya mengenai "perang gerilya". Teori desa mengepung kota yang dikemukakan tahun 1927 mempunyai banyak penganut. Che Guevara dan Fidel Castro, dalam Revolusi Kuba pada penghujung 1950-an, serta Regis Debray di Aljazair menggunakan teori yang sama. Di Indonesia, Dipa Nusantara Aidit mencoba menerapkan dan memperkaya teorinya di awal dasawarsa 1960-an. Dengan beberapa modifikasi, apa pun namanya, prinsipnya serupa, yaitu menciptakan kekacauan di desa-desa kecil untuk pada akhirnya menumbangkan kekuasaan pusat. Castro dan Che Guevera baru saja melumpuhkan pemerintahan Batista di Havana setelah menguasai Sierra Maestra dan Santiago. Seperti terlihat dalam Resolusi 5 Oktober 1928, Mao mengakui bahwa Cina adalah kasus tersendiri. Ia mengatakan bahwa desa mengepung kota hanya dapat dilakukan di suatu negara yang secara ekonomi terbelakang dan berada di bawah pemerintahan tidak langsung (indirect rule) penguasa kolonial atau rezim yang sedang mengalami fragmentasi elit. Tulisan-tulisan Mao tahun 1926-1927 disunting kembali dengan menambahkan semangat ideologi.
Mulai muncul istilah-istilah "di bawah kepemimpinan partai komunis". Untuk pertama kalinya Mao mengakui peranan pemberontakan Taiping sebagai inspirasi teori Mao. Namun pada saat yang sama, ia juga menghapus fakta sejarah, misalnya mengganti istilah "berjuang karena upah" dengan "berjuang karena kesadaran". Semua itu barangkali merupakan keinginan Mao untuk menggunakan revolusi Cina sebagai model revolusi sosialis di negara-negara berkembang, selain untuk mendapat tempat tersendiri dalam sejarah Cina.

Tentu saja ada beberapa kontribusi Mao, dan kemudian Lin Bao, pada teori perang gerilya. Menurut Mao, ada tiga syarat yang diperlukan agar "kepungan" itu berhasil. Pertama, pelaksanaan teori itu memerlukan basis geografis yang aman. Jika tidak, pasukan inti dan kader bersenjata tidak akan dapat mengangkat kekacauan itu menjadi sesuatu yang lebih besar. Usaha Mao untuk mengorganisir revolusi dalam dasawarsa 1930-an gagal karena basis gerakannya, Kiangshi (di lembah Yangtze), tidak aman dari pukulan-pukulan pasukan Chiang Kaishek. Mao terpaksa memindahkan markas Partai Komunis Cina dari Kiangshi. Secara militer, perjuangan Mao baru berhasil setelah melakukan long march ke Shensi yang dilindungi oleh perbukitan sulit Mongolia Utara yang berada di bawah kekuasaan Uni Soviet. Hijrah yang menempuh jarak ratusan kilometer itu bukan hanya mampu mengundang simpati rakyat. Tetapi juga memancangkan Mao sebagai praktisi revolusi terbesar abad 20.

Kedua, teori desa mengepung kota hanya dapat terjadi di negara yang besar dan dengan jaringan komunikasi yang buruk. Mao berulangkali menekankan faktor ini dalam tulisan-tulisannya. Ia mengakui bahwa dalam sebuah negara yang kecil, atau di suatu negara yang memiliki jaringan komunikasi yang baik sehingga pemerintah dengan mudah dapat melakukan mobilisasi kekuatan, strateginya menjadi tidak efektif. Karena menguasai dengan baik medan lokal, termasuk memperoleh dukungan luas dari masyarakat setempat, komunikasi yang buruk akan membendung penetrasi pihak penguasa. Ketiga, yang tampaknya merupakan sumbangan terbesar Mao, keberhasilangerilya mengepung kota memerlukan ideologi yang sistematik. Di sini Mao memperoleh inspirasi yang kuat dari Lenin dan sekaligus mengawinkannya dengan sejarah Cina. Penting adalah kepemimpinan Partai yang mampu membangkitkan kesadaran dan memimpin ke mana rakyat harus menuju perjuangannya. Tanpa ideologi, kekecewaan masyarakat hanya akanmuncul dalam bentuk goyangan-goyangan spontan, sporadis dan tidak berjangka lama. Mao sendiri merujuk pada pemberontakan petani Taiping dan Nien (1850-1866) sebagai contoh revolusi petani yang gagal.

Kombinasi antara ketiga persyaratan itu membuahkan teori besar yang ternyata sangat ampuh, seperti kemudian terlihat dari keberhasilan Mao mengalahkan Chiang Kai-shek dan penjajah Jepang. Maois percaya bahwa kader partai dapat mengawali terjadinya perang gerilya. Sekalipun demikian, keberhasilan mereka sangat tergantung pada kemampuan mereka memperoleh dukungan masyarakat. Komunis Spanyol mampu bertahan untuk beberapa tahun di Aragon (1945) tetapi mereka tidak mampu bertahan lebih lama karena tidak memperoleh dukungan yang meluas. Di Aljazair, Regis Debray gagal memetik kemenangan yang berarti. Kegagalan yang sama dialami oleh gerilyawan Kikuyu (Kenya) dan Cina (Malaya). Sebagai bagian dari perang gerilya, pilar penting dari desa mengepung kota adalah dukungan masyarakat setempat. Mereka, seperti dikatakan Che Guevara, "mempunyai banyak teman, mengerti kepada siapa harus mencari pertolongan, menguasai medan laga, dan memiliki ekstraantusiasme untuk mempertahankan tanahnya". Namun jika gerilya itu merupakan perpaduan kekuatan antara "kader luar" dan masyarakat lokal, keberhasilannya akan ditentukan oleh seberapa jauh hubungan mereka kohesif. Ini hanya dapat dibangun dengan pendidikan yang sistematik, baik dalam pendidikan sosial maupun militer. Kader harus mampu melakukan lebih banyak dari sekedar bertempur dan memberi petunjuk-petunjuk ideologis, tetapi dituntut juga untuk melibatkan diri dalam kehidupan masyarakat. Dalam sejarah perang gerilya menumbangkan penjajah Belanda, kita juga sering mendengar cerita mengenai hubungan yang karib antara "tentara" dengan rakyat. Perbedaan anatara gerilya nasional dengan gerilya komunis barangkali hanya terletak pada metode yang digunakannya untuk menggalang massa. Aidit, pada awal 1960-an, menekankan pada unsur agitasi untuk mendapatkan dukungan itu.

Tidak mudah menelusuri apakah "desa mengepung kota" sekedar merupakan teori militer untuk mengalahkan pihak lawan yang jauh lebih kuat atau dapat digunakan untuk mencapai tujuan politik terbentuknya suatu negara [komunis] dengan kader anti-establishment yang menggunakan cara-cara clendestine. Mao telah menunjukkan kepada dunia betapa kreatifitas memainkan peranan penting dalam mencapai tujuan. Dogmatisme, ortodoksi dan konservatisme dalam memegang suatu gagasan akan mencapai kegagalan. Teori Mao pun mengalami perkembangan dan bukan hanya meliputi strategi militer. Lin Bao menggunakan istilah yang sama dalam konteks politik internasional dengan mengindentisifikasikan negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin sebagai "kampung" dan negara-negara maju sebagai "kota". Hal yang sebaliknya dapat terjadi, menimbulkan kekacauan di desa-desa untuk merongrong legitimasi dan otoritas pemerintah pusat.

Anti-komunisme merupakan sumber legitimasi kepemimpinan dan sekaligus justifikasi kebijakan Orde baru. Karena itu dapat dimengerti jika "hantu komunis" secara berulang muncul kembali. Apakah hantu itu merupakan sosok yang nyata atau bayangan, merupakan masalah yang kurang penting. Sekalipun demikian, jika stabilitas politik ingin tetap dipertahankan, sebenarnya perlu mendapatkan diagnosis yang tepat mengenai mengapa terjadi kerusuhan massal. Tanpa diagnosis yang tepat, seorang dokter akan keliru memberikan terapi. Sayangnya, memberikan diagnosis tidak selalu mudah. Gejala yang sama mungkin timbul dari sebab yang berbeda. Yang menjadi tantangan pokok bagi setiap rejim anti-komunis adalah bagaimana membuat agar gagasan komunis tidak mendapat kesempatan untuk tumbuh. Salah satu daya tarik teori Marxis, termasuk di dalamnya gagasan-gagasan Mao, adalah janjinya untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas. Dengan kata lain, gagasan Marxis mungkin muncul justru karena kesenjangan sosial. Tentu tidak sebaliknya berlaku. Artinya, terlalu simplistis mengatakan bahwa mereka yang memperjuangkan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial selalu diilhami oleh ideologi Marxis. Gagasan yang sama, pertentangan antara masyarakat tertindas dengan penindas, dapat ditemukan pula di kalangan berbagai paham keagamaan. Stabilitas politik tidak perlu terancam jika gagasan untuk mencapai pemerataan dan keadilan itu dicapai melalui cara-cara demokratik seperti dilakukan oleh Partai Komunis dan Sosialis di Eropa Barat atau melalui cara kekerasan seperti yang dilakukan oleh Lenin dan Mao.

Perjalanan Hidup Che Guevara


Perjalanan Hidup Che Guevara
Ernesto Guevara Lynch de La Serna (lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928 – meninggal di Bolivia, 9 Oktober 1967 pada umur 39 tahun) adalah pejuang revolusi Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba.

Guevara dilahirkan di Rosario, Argentina, dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol. Tanggal lahir yang ditulis pada akta kelahirannya yakni 14 Juni 1928, namun yang sebenarnya adalah 14 Mei 1928.

Masa kecil

Sejak usia dua tahun Che Guevara mengidap asma yang diderita sepanjang hidupnya. Karena itu keluarganya pindah ke daerah yang lebih kering, yaitu daerah Alta Gracia (Córdoba) namun kesehatannya tidak membaik. Pendidikan dasar ia dapatkan di rumah sebagian dari ibunya, Celia de la Serna. Pada usianya yang begitu muda, Che Guevara telah menjadi seorang pembaca yang lahap. Ia rajin membaca literatur tentang Karl Marx, Engels dan Sigmund Freud yang ada di perpustakaan ayahnya. Memasuki sekolah menegah pertama (1941) di Colegio Nacional Deán Funes (Córdoba). Di sekolah ini dia menjadi yang terbaik di bidang sastra dan olahraga. Di rumahnya, Che Guevara tergerak hatinya oleh para pengungsi perang saudara Spanyol, juga oleh rentetan krisis politik yang parah di Argentina. Krisis ini memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis kiri, Juan Peron, seorang yang ditentang Guevara. Berbagai peristiwa tertanam kuat dalam diri Guevara, ia melihat sebuah penghinaan dalam pantomim yang dilakonkan di Parlemen dengan demokrasinya. Maka muncul pulalah kebenciannya akan politisi militer beserta kaum kapitalis dan terutama kepada dolar Amerika Serikat ,yang dianggap sebagai lambang kapitalisme.

Meski demikian dia sama sekali tidak ikut dalam gerakan pelajar revolusioner. Ia hanya menunjukkan sedikit minat dalam bidang politik di Universitas Buenos Aires, (1947), tempat ia belajar ilmu kedokteran. Pada awalnya ia hanya tertarik memperdalam penyakitnya sendiri, namun kemudian dia tertarik pada penyakit kusta.

Berkeliling Argentina dengan sepeda motor

Pada tahun 1949 ia memulai perjalanan panjangnya yang pertama, menjelajahi Argentina Utara hanya dengan bersepeda motor. Itulah untuk pertama kalinya ia bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian. Selanjutnya pada tahun 1951 setelah menempuh ujian-ujian pertengahan semester Che mengadakan perjalanan yang lebih panjang didampingi dengan seorang teman dan untuk nafkah hidupnya dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Ia mengunjungi Amerika Selatan, Chili di mana dia bertemu Salvador Allende, dan di Peru ia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, di Kolombia ia tiba pada saat La Violencia, di Venezuela ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali, kemudian ia juga mengunjungi Miami. Che Guevara mengisahkan perjalanannya dalam buku harian yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.


Perjalanan Che Guevara

Ia kembali ke daerah asalnya dengan sebuah keyakinan bulat atas satu hal bahwa ia tidak mau menjadi profesional kelas menengah dikarenakan keahliannya sebagai seorang spesialis kulit. Kemudian pada masa revolusi nasional ia pergi ke La Paz, Bolivia di sana ia dituduh sebagai seorang oportunis. Dari situ ia melanjutkan perjalanan ke Guatemala dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menulis artikel arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca. Guatemala saat itu diperintah oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang seorang sosialis. Meskipun Che telah menjadi penganut paham marxisme dan ahli sosial Lenin ia tak mau bergabung dalam Partai Komunis. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan baginya untuk menjadi tenaga medis pemerintah, oleh karena itu ia menjadi miskin. Ia tinggal bersama Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Orang inilah yang memperkenalkannya kepada Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Di Guatemala dia melihat kerja agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan semakin yakin bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan. Ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Kota Mexico (September 1954) dan bekerja di Rumah Sakit Umum, diikuti Hilda Gadea dan Nico Lopez. Guevara bertemu dan kagum pada Raúl Castro dan Fidel Castro juga para emigran politik dan ia menyadari bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari.
[sunting] Bergabung dengan Fidel Castro di Kuba

Ia bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba dilatih perang gerilya secara keras dan profesional oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo, seorang pengarang "Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo" (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959. Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong dan Che (dalam bahasa Italia berarti teman sekamar dan teman dekat) menjadi murid kesayangannya dan menjadi pemimpin di kelas. Latihan perang di tanah pertanian membuat polisi setempat curiga dan Che beserta orang-orang Kuba tersebut ditangkap namun dilepaskan sebulan kemudian.

Pada bulan Juni 1956 ketika mereka menyerbu Kuba, Che pergi bersama mereka, pada awalnya sebagai dokter namun kemudian sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Ia yang paling agresif dan pandai dan paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dan yang paling bersungguh-sungguh memberikan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga seorang yang berdisiplin kejam yang tidak sungkan-sungkan menembak orang yang ceroboh dan di arena inilah ia mendapatkan reputasi atas kekejamannya yang berdarah dingin dalam eksekusi massa pendukung fanatik presiden yang terguling Batista. Pada saat revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba dan yang bertanggung jawab menggiring Castro ke dalam komunisme yang menuju komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya. Che mengorganisasi dan memimpin "Instituto Nacional de la forma Agraria", yang menyusun hukum agraria yang isinya menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis. Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet. Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.

Pernikahan Che Guevara

Pada tahun 1959, Guevara menikahi Aledia March, kemudian berdua mengunjungi Mesir, India, Jepang, Indonesia yang juga hadir pada Konfrensi Asia Afrika, Pakistan dan Yugoslavia. Sekembalinya ke Kuba ia diangkat sebagai Menteri Perindustrian, menandatangani pakta perdagangan (Februari 1960) dengan Uni Soviet yang melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika. Ini merupakan isyarat akan kegagalannya di Kongo dan Bolivia sebuah aksioma akan sebuah kekeliruan yang tak akan terelakkan. "Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya" ucapnya dan dengan ajaran Mao Ze Dong ia percaya bahwa daerah daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Juga pada saat ini ia menyebarkan filosofi komunisnya (diterbitkan kemudian dalam "The Socialism and Man in Cuba", 12 Maret 1965). Ia meringkas pahamnya menjadi "Manusia dapat sungguh mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna ketika berproduksi tanpa dipaksa oleh kebutuhan fisiknya sehingga ia harus menjual dirinya sebagai barang dagangan".

REVOLUSI KUBA DAN CITA-CITA PENYATUAN AMERIKA LATIN


REVOLUSI KUBA DAN CITA-CITA PENYATUAN AMERIKA LATIN
Pada awalnya saya — dan (mungkin) juga anda — mengenal revolusi Kuba karena ketenaran salah seorang pejuangnya yang heroik, flamboyan, romantis, dan tak kenal kompromi: Che Guevara. Dan kali ini saya tidak sedang mengajak anda untuk membicarakan sosok Che dengan segala kharismanya, tetapi memeriksa kembali cita-cita besar dari Revolusi Kuba.
Revolusi Kuba adalah revolusi yang pertama di Amerika Latin yang membebaskan bangsa itu dari kuk imperialisme dan melakukan tugas-tugas demokratik, yang secara historis, belum pernah terjadi. Revolusi Kuba mampu berbuat sesuatu yang sangat fundamental. Seperti pernah terjadi dalam Revolusi Rusia tahun 1917, Revolusi Kuba menggunakan kekuatan revolusioner yang konsisten dari kaum proletar dan massa rakyat.
Digerakkan oleh semangat yang kuat, Revolusi Kuba telah mengemban aspirasi-aspirasi programatik dari arus yang paling revolusioner. Ini yang pertamakalinya sejak meninggalnya Jose Marti (1895), pemimpin gerakan pembebasan Kuba dari penjajahan Spanyol. Pemimpin pasukan gerilya internasionalis dalam proses revolusi tersebut, Comandante Che Guevara, memiliki rencana-rencana strategis revolusioner. Tentara Pembebasan Nasional dibawah komandonya akan disatukan di atas dasar strategi tunggal yang meliputi seluruh gerakan revolusioner Amerika Latin, dan selanjutnya akan dintegrasikan kedalam Tentara Proletariat Internasional. Setelah terlibat dalam revolusi Congo dan menyaksikan kekalahannya, Che semakin yakin akan pentingnya penyatuan kekuatan-kekuatan bersenjata secara internasional (paling tidak seluruh kawasan) untuk menumbangkan bangsa-bangsa penjajah. ”Inisiatif mengenai Tentara Proletariat Internasional tidak akan mati,” demikian tulisnya.
Ketika Che dan Kubanya, kamerad-kamerad Bolivia dan Peru berjuang di Bolivia, suatu peristiwa historis terjadi di Havana. Berbagai gerakan revolusioner dan organisasi-organisasi kiri dari seluruh negera-negara Amerika Latin bertemu pada konferensi Organisasi Solidaritas Amerika Latin (OLAS). ”Berbagai organisasi hadir disini” kata Armando Hart, delegasi Kuba, ”bertemu untuk membicarakan strategi perjuangan bersama guna melawan imperialis AS, oligarki-oligarki borjuis, dan para tuan tanah, yang telah disetir oleh kepentingan pemerintah AS. Delegasi Kuba hadir sebagai partai revolusioner. Tesis kami didasarkan atas ideologi Marx dan Lenin. Kami adalah ahliwaris tradisi revolusioner Amerika Latin. Kami akan setia pada tradisi ini. Karl Marx pernah berkata pada saat komune Paris, bahwa tujuan dari revolusi massa adalah menghancurkan mesin birokrasi militer sebuah negara dan menggantikannya dengan tentara rakyat. Selanjutnya Lenin berkata bahwa gagasan ini meletakkan pelajaran fundamental dari Marx dalam hubungan dengan tugas-tugas proletariat dalam revolusi. Delegasi kami menganggap bahwa pengalaman historis ini memperkuat penegasan dari Marx dan Lenin ini. Kami menganggap perlunya ada analisis mengenai pandangan Marx dan Lenin serta konsekensi-konsekuensi praxisnya.”
Dalam pidato mengenai strategi revolusi yang akan dikembangkan di seluruh kawasan (Amerika Latin), delegasi Kuba mengingatkan kembali bahwa ”nilai dan kebesaran konsepsi dari Jose Marti bisa diukur dengan apa yang tengah terjadi: [Marti] menanamkan cita-cita Bolivarian, yaitu dengan menyatukan negara-negara Amerika Latin menjadi satu negara yang besar yang dimulai dari perjuangan bagi pembebasan Kuba sebagai bagian dari revolusi Amerika Latin”. Pada saat yang sama, delegasi Kuba mengatakan bahwa ”hari ini, solidaritas revolusioner rakyat Amerika Latin memiliki kekuatan yang luar biasa, karena cita-cita mengenai penyatuan negara-negara Amerika Latin menjadi satu negara yang besar telah diperkuat.”
Setahun kemudian, Peredo, anggota pasukan gerilya Bolivia yang selamat, mempertegas pentingnya dan harapannya mengenai penyatuan Amerika Latin, ”keberhasilan pasukan revolusionerlah yang akan memapankan sosialisme di Amerika Latin, tidak hanya sebagai kawasan kami, tetapi juga negara kami.”
Selanjutnya, cita-cita besar tentang penyatuan Amerika Latin, dimana Amerika Latin akan menjadi satu negara yang besar — seperti yang dicita-citakan oleh para pejuang sebelumnya seperti simon Bolivar dan Jose Marti — harus didengungkan kembali dan didukung oleh negara-negara di kawasan ini. Ini perlu secepatnya dilakukan guna mengamankan rakyat di seluruh Amerika Latin dari kondisi-kondisi yang meresahkan, yakni globalisasi kapitalis neoliberal yang agresif, busuk, dan mematikan.
Dalam konferensi OLAS pada tahun 1967, kita bisa membaca bahwa ada sebuah fakta yang secara mendalam belum dievaluasi: sekompok masyarakat dengan jumlah besar dengan teritori yang sangat luas mampu bertahan dalam kultur, interes, dan tujuan-tujuan anti-imperialis yang sama. Inilah pelajaran yang menarik yang bisa kita ambil. Kuba — dengan berbagai interpretasi atasnya, terutama sosialisme yang berkembang disana — merupakan pelopor bagi revolusi-revolusi di Amerika Latin hari ini dan yang akan datang. Dan Amerika Latin, sebagai kawasan yang cukup luas dengan jumlah penduduk yang sangat besar, memiliki semangat perlawanan yang sama. Imperialisme, kapitalisme, bagi rakyat Amerika Latin, tak lebih dari perampas dan penindas yang terus menerus harus dilawan.
Membicarakan Revolusi Kuba yang terjadi 48 tahun lalu sebagai peristiwa sejarah, mungkin, tidak terlalu menarik. Tetapi semangat Kuba dan konsistensinya dalam perang melawan imperialisme, adalah hal yang menarik untuk dimunculkan kembali terkait pembangunan Sosialisme Abad 21. Dan isu penyatuan kawasan yang dibicarakan pada tahun 1967 lalu di Havana, yang didasarkan atas ideologi Marxis, bisa menjadikan alternatif bagi pembangunan politik anti-neoliberalisme di kawasan-kawasan lain guna membendung derasnya arus neoliberalisme dan senjata untuk menumbangkan kapitalisme global.
Akhirnya, pesan yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, sebuah teori yang revolusioner dan komprehensif untuk mewujudkan cita-cita besar mengenai penyatuan Amerika Latin yang pernah dibicarakan dalam konferensi OLAS 41 tahun yang lalu sangatlah perlu. Sebuah teori revolusi yang pernah diterapkan Stalin yang kita kenal dengan ”teori revolusi bertahap” terbukti gagal. Hasil dari teori revolusi bertahap selalu sama: revolusi hanya dikenang sebagai peristiwa sejarah tetapi tugas-tugas dari revolusi tidak selesai. Satu-satunya cara untuk memastikan terjadinya revolusi demokratik nasional adalah dengan menyelesaikan tugas-tugas revolusi sosialis. Dan inilah esensi dari sebuah teori yang dikembangkan oleh Trotsky, yaitu ”teori revolusi permanen”.
Untuk menjadi satu negara yang besar, Amerika Latin harus menjadi sosialis. Untuk menjadi sosialis, Amerika Latin harus bersatu. Sebuah masyarakat sosialis tidak mudah dikerjakan dalam lingkup perbatasan-perbatasan nasional. Sebagaimana kata Trotsky, ”program sosialisme dalam satu negara adalah sebuah utopia kaum borjuis kecil.”
KADER : TULANG PUNGGUNG REVOLUSI
Che Guevara (September 1962)
Tak perlu lagi untuk meragukan watak khas revolusi kita,tentang hal-ikhwalnya, dengan semangat spontanitasnya, yakni transisi yang berlangsung dari revolusi pembebasan nasional menuju revolusi sosialisme. Dan tak perlu pula meragukan peningkatan pesat dari tahap-tahap perkembangannya, yang dipimpin oleh orang-orang yang sama yang ikut serta dalam peristiwa heroik penyerangan garnisun Moncada, berlanjut melalui pendaratan Granma, dan memuncak pada deklarasi watak sosialis dari revolusi Kuba. Para simpatisan baru, kader-kader, dan organisasi-organisasi membentuk sebuah strukfur organisasional yang pada awal gerakan masih lemah, sampai kemudian berubah menjadi luapan rakyat yang akhirnya mencirikan revolusi kita.
Ketika kemudian menjadi nyata bahwa suatu kelas sosial baru secara tegas mengambil alih kepemimpinan di Kuba, kita juga menyaksikan keterbatasan yang besar dalam menggunakan kekuasaan negara karena adanya kondisi-kondisi yang kita temukan di dalam tubuh negara. Tidak ada kader untuk melaksanakan sejumlah besar pekerjaan yang harus diisi dalam aparat negara, dalam organisasi-oganisasi politik, dan seluruh front ekonomi.
Segera setelah kekuasaan berhasil direbut, pos-pos birokratik hanya diisi dengan cara 'asal tunjuk' saja. Tidak menimbulkan masalah yang besar--tidak satupun karena struktur lama belum dihancurkan. Aparat berfungsi lamban dan tertatih tatih seperti sesuatu yang tua dan hampir mati. Tapi ia memiliki organisasi dan di dalam organisasi yang- memadai untuk mempertahankan dirinya melalui kelembaman, melecehkan perubahan-perubahan politik sebagai awal bagi perubahan struktur ekonomi.
Gerakan 26 Juli yang masih disibukkan oleh pertarungan internal sayap kanan dan sayap kiri, tidak bisa mencurahkan dirinya untuk tugas-tugas pembangunan. Dan Partai Sosialis popular yang karena terlampau lama mengalami serangan-serangan keji dan bergerak di bawah tanah selama bertahun-tahun, tidak mampu mengembangkan kader-kader menengah untuk menangani tanggung jawab baru.
Ketika campur tangan negara yang pertama kali dalam ekonomi berlangsung (1), tugas-tugas menemukan kader tidaklah terlalu rumit, dan memungkinkan untuk memilih diantara rakyat yang telah memiliki basis minimum untuk menjalankan posisi-posisi kepemimpinan. Tetapi dengan percepatan proses yang dimulai dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika dan kemudian disusul dengan perusahan-perusahaan besar Kuba, kebutuhan nyata untuk teknisi-keknisi administrasi mulai muncul. Di sisi lain, kebutuhan akan teknisi-teknisi produksi dirasakan semakin mendesak. krena larinya banyak teknisi yang tertarik oleh posisi-posisi yang lebih baik yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaaan imperialis di AS atau di negeri Amerika Latin lainnya. Sementara sibuk dengan tugas-tugas organisasional ini, aparat-aparat politik harus melakukan upaya yang gigih untuk memperhatikan masalah ideologi kepada massa yang bergabung dalam revolusi dan berhasrat besar untuk belajar.
Kita semua telah berusaha menjalankan peran sebaik mungkin, tapi bukannya tanpa ada masalah dan kekecewaan. Banyak kekeliruan yang dilakukan dalam bidang administratif di tingkat eksekutif pusat. Banyak kesalahan telah dibuat oleh para administratur baru di perusahaan-perusahaan yang sarat dengan tanggung jawab besar. Kita juga mengakui adanya-kekeliruan besar dan mahal yang dilakukan oleh aparat-aparat politk, yang sedikit demi sedikit merosot menjadi birokrasi yang melenakan.dan menghanyutkan, yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk pos-pos birokratik yang penting atau kurang penting yang pada akhirnya memisahkan mereka dari massa.
Penyebab utama dari kekeliruan-kekeliruan kita adalah kurang memahami kenyataan yang ada. Selain itu, kita kekurangan perangkat, yang menumpulkan pandangan kita dan membelokkanpartai menjadi sebuah organisasi birokratik, yang membahayakan administrasi dan produksi, kita kekurangan kader-kader maju pada tingkat menengah. Ini merupakan bukti bahwa pengembangan kader sama artinya dengan kebijakan turun ke massa. Semboyannya adalah sekali lagi untuk menegakkan kontak dengan massa, kontak yang dipelihara terus oleh revolusi pada masa-masa awalnya.tapi ini harus ditegakkan melalui mekanisme yang mampu memberikan hasil-hasil yang paling menguntungkan baik bagi kepentingan sentimen massa maupun dalam penyampaian kepemimpinanpolitik, yang di banyak kasus hanya diberikan melalui campur tangan PM Fidel Castro atau beberapa pimpinan revolusi lainnya.
Pada titik ini kita dapat mengajukan pertanyaan : apakah itu kader ? kita harusmenyatakan bahwa seorang kader adalah seorang individu yang telah mencapai perkembangan politik yang cukup mampu menafsirkan petunjuk-petunjuk yang lebih besar berasal dari kekuasaan pusat menjadikanya sebagai miliknyadan memegangnya sebagai suatu orientasi ke massa ; seseorang yang pada saat yang sama harus juga mampu menafsirkan isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh massa mengenai keinginan-keinginan dan motivasi mereka yang paling dalam.
Seorang kader adalah seorang yang memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktekkan sentralisme-demokrasi dan yang mengetahui bagaimana mempraktekkan azas diskusi kolektif dan pengambilan keputusan serta tanggung jawabnya masing-masing. Ia adalah seorang individu yang telah terbukti kesetiaannya, yang keberanian lahiriah dan moralnya telah berkembang seiring dengan perkembangan ideologisnya, yang dengan demikian ia selalu berkeinginan untuk menghadapi setiap perdebatan dan bahkan menyerahkan seluruh hidupnya untuk kejayaan revolusi. Sebagai tambahan, ia juga seorang individu yang dapat berfikir berdikari, yang mampu membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dan melakukap prakarsa kreatif yang tidak bertentangan dengan disiplin.
Karenanya, kader adalah seorang pencipta, seorang pemimpin yang berpendirian kukuh, seorang teknisi dengan tingkat politik yang baik, yang memegang prinsip dialektika untuk memajukan sektor produksinya, atau mengembangkan massa dari posisi kepemimpinan politiknya.
Manusia teladan ini, yang dari luar nampak seolah-olah tingkat kebajikannya itu sulit dicapai, ternyata hadir diantara rakyat Kuba, dan kita menemuinya tiap hari. Hal yang pokok sebetulnya adalah mengambil manfaat dari setiap peluang yang ada guna mengembangkan mereka semaksimal mungkin, untuk mendidiknya, untuk menarik manfaat yang paling besar dari setiap kader dan mengalihkannya menjadi nilai tertinggi bagi kepentingan bangsa.
Pengembangan saorang kader dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas setiap hari. Selain itu, tugas-tugas itu harus dijalankan secara sistematik, di dalam sekolah-sekolah khusus, diajar oleh pengajar yang kompeten--yang memberikan teladan bagi murid-muridnya--akan mendorong kemajuan ideologis yang paling pesat .
Dalam sebuah sistem yang sedang mulai membangun sosialisme, jelas kader harus maju secara politik. Selain itu, bila kita mempertimbangkan perkembangan politiknya, kita tidak hanya memperhitungkan teori Marxist. Kita harus juga menuntut tanggungjawab dari individu terhadap tindakan-tindakannya, sebuah disiplin yang mengendalikan setiap kelemahan dan yang tidak menghambat lahirnya prakarsa Dan kita harus mgnuntut kekhusukkannya yang terus-menerus terhadap semua masalah-masalah revolusi. Untuk dapat mengembangkan seorang kader, kita harus memulai dengan menegakkan prinsip seleksi diantara massa. Di sana lah kita menemukan individu-individu yang berkembang, yang diuji oleh pengorbanan atau yang baru mulai menunjukkan kepeduliannya dan menugaskan mereka ke tempat-tempat belajar khusus ; atau bila belum ada sekolah-sekolah sedemikian, berikan mereka tanggung jawab yang lebih sehingga mereka teruji dalam kerja praktek.
Dengan cara ini kita telah menemukan sejumlah besar kader-kader baru di tahun-tahun belakangan ini. Tapi perkembanqan mereka tidaklah sama, ketika kawan-kawan muda itu harus menghadapi kenyataan dimana kemunculan pera revolusioner itu tanpa kepemimpinan partai yang memadai. Beberapa diantaranya memang benar-benar berhasil, tetapi lainnya tidak dapat menyelesaikannya dan terputus di tengah jalan Atau lenyap begitu saja ditelan labirin birokrasi, atau terperosok ke dalam godaan-godaan kekuasaan.
Untuk menjamin kemenangan dan konsolidasi menyeluruh dari revolusi, kita harus mengembangkan berbagai jenis kader yagn berbeda. Kita membutuhkan kader politik yang akan menjadi fondasi bagi organisasi-organisasi massa, dan yang akan memimpin massa melalui aksi Partai Persatuan Revolusi Sosialis (2). (Kita telah mulai meletakkan fondasi ini bersama Sekolah Pengajaran Revolusioner, tingkat nasional dan propinsi dan bersama kelompo-kelompok pengkajian dan studi di semua tingkatan). Kita juga membutuhkan kader-kader militer. Untuk mencapai itu kita dapat memanfaatkan proses seleksi selama perang yang dibuat diantara pejuang-pejuang muda kita. Karena, banyak diantara mereka yang masih hidup tapi tanpa pengetahuan teoritik yang cukup, tapi mereka teruji di bawah siraman peluru. Mereka teruji di dalam keadaan perjuangan yang paling su1it, dengan kesetiaan yang telah terbukti kepada rejim revolusioner seJak kelahiran dan perkembangannya, mereka berkait erat semenjak perang gerilya pertama di Sierra Maestra itu. Kita juga mengembangkam kader-kader ekonomi, yang akan mengabdikan dirinya khusus untuk menghadapi perencanaan yang sulit dan tutas-tugas negara sosialis pada masa pembentukannya.
Adalah perlu untuk bekerja dengan kaum profesional, dengan mendesak kaum muda untuk mengikuti salah satu karir teknik yang lebih penting dalam upaya memberikan i1mu pengetahuan, sebuah energi antusiasme ideologis yang menjamin kelajuan pembangunan. Adalah keharusan untuk menciptakan suatu tim administratif yang mengetahui bagaimana menqambi1 manfaat dan_ menyesuaikan pengetahuan teknis khusus lainnya, serta membimbing perusahaan-perusahaan organisasi negara lainya, untuk membawa membawanya sejalan dengan irama revolusi.
Ukuran umum bagi semua kader ini adalah kejernihan politik. Tapi ini bukan berarti dukungan membabi buta terhadap dalil-dalil revolusi, melainkan suatu dukungan yang beralasan. Hal itu memerlukan kapasitas yang besar untuk berkorban dan satu kapasitas analisis dialekttis yang memungkinkannya untuk memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada semua tingkatan, hingga memperkaya teori dan praktek revolusi. Kawan-kawan ini harus diseleksi hanya dengan penerapan prinsip bahwa yang terbaiklah yang akan maju ke depan dan yang terbaiklah harus diberikan kesempatan terbesar untuk berkembang.
Dalam semua situasi ini, fungsi kader adalah sama pada masing-masing front yang berbeda. Kader adalah komponen penting dari motor ideologis dari Partai Persatuan Revolusi. Hal ini adalah sesuatu yang dapat kita sebut sebagai gigi penggerak dari motor itu. Menjadi penggerak lantaran ia merupakan bagian dari motor yang menjamin agar motor tersebut bekerja dengan benar. Menjadi penggerak karena ia tidak hanya sekedar penyampai slogan atau menuntut kenaikan atau penurunan, tetapi seorang pencipta yang akan membantu dalam pengembangan massa dan penyampai informasi pada para pemimpin serta menjembatani kontak diantara mereka. Kader memiliki misi penting yang melihatnya bahwa semangat besar revolusi tidak terkikis, dan semnagat besar revolusi tidak terbuang percuma dan tidak terlelap atau berkurang ritmenya. Ini merupakan posisi yang rawan. Ia menyampaikan apa yang datang dari massa dan menanamkan orientasi partai pada massa.
Oleh karena itu pengembangan kader sekarang adalah sebuah tugas yang tak dapat ditunda lagi. Pengembangan massa telah dilaksanakan oleh pemerintah dengan tekad yang besar dan dengan program-program bea-siswanya, dengan prinsip seleksi dengan program studi untuk para pekerja yang menawarkan berbegai kesempatan bagi pengembangan berbagai teknologi; dengan pengembangan sekolah-sekolah teknik yang khusus; dengan pengembangan sekolah-sekolah dan universitat-universitas yang membuka karir-karir baru. Pendeknya, hal ini dilakukan dengan pengembangan studi, kerja, dan kewaspadaan revolusioner sebagi semboyan bagi seluruh negeri kita, yang secara fundamental berbasis pada persatuan Komunis Muda, darimana semua jenis kader harus muncul di masa depan. Bahkan kader-kader pimpinan revolusi.
Hal yang berkaitan erat dengan konsep "kader" adalah konsep kapasitas untuk berkorban, untuk memperlihatkannya melalui contoh-contoh pribadi dari kebenaran dan semboyan revolusi. Sebagai pimpinan politik, para kader harus memperoleh penghargaan dari para pekerja oleh tindakan-tindakan mereka. Adalah suatu keharusan, bahwa mereka memperoleh penghargaan dan kecintaan dari kawan-kawan mereka yang mereka harus bimbing dalam jalan kepeloporan.
Karena semua inilah, tidak ada kader yang lebih baik daripada mereka yang dipi1ih oleh massa di dalam pertemuan-pertemuan yang memilih para pekerja teladan, yang akan bergabung di dalam PURS bersama anggota-anggota lima ORI yang lulus dalam semua ujian seleksi. Pada awalnya, mereka hanya merupakan sebuah partai kecil tapi dengan pengaruh yang besar diantara para pekerja. Kemudian akan tumbuh di saat kemajuan kesadaran sosialis mulai menunjukkkan hasilnya dan ketaatan total terhadap perjuangan rakyat menjadi suatu hal yang diperlukan. Dengen pimpinan-pimpinan perantara dengan kualitas ini, tugas-tugas sulit yang berada di hadapan kita akan diselesaikan dengan kesalahan yang lebih sedikit. Setelah melalui suatu periode yang membingunghan dan metode yang buruk, akhirnya kita tiba pada satu kebijaksanaan yang tepat yang tidak akan pernah ditinggalkan. Dengan impuls kelas pekerja yang selalu diperbarui yang disirami dari pancuran air yang tiada habis-habisnya, para anggota PURS masa depan, dan kepemimpinan partai kita, sepenuhnya kita laksanakan tugas pembentukan kader-kader yang akan menjamin perkembangan yang kukuh dari revolusi kita. Kita harus berhasil dalam tugas ini.
September 1962
Keterangan:
1. Pada November 1959, pemerintahan revolusioner menyetujui suatu undang -undang yang memberikan wewenang pada menteri. perburuhan untuk campur tangan dalam suatu peruahaan, memegang kendali menejemennya tanpa merubah pemilikannya, Para pemilik perusahaan yang diinterrvensi tetap berhak untuk memperoleh laba. bagaimanapun, pada prakteknya sebagian pemilik dari perusahaan-perusahaan ini hengkang dari Kuba. Prosedur ini digunakan terus oleh pemerintah revolusioner sampai akhir 1960, di saat semua cabang-cabang ekonomi pokok dinasionalisasi.
2. Pada saat artikel ini ditulis PURS berada dalam proses pembrntukannya, Pada bulan Maret 1962, pendahulu-pendahulunya ORI, The Integrated Revolution --yang dibentuk melalui penggabungan Gerakan 26 Juli, Partai Sossalis Popular dan Directorate Revolsioner--telah menjalani suatu - proses reorganisasi menuju konsolidasi partai baru di paruh akhir 1963, pusat tari reorganiiasi ini adalah pertemuan-pertemuan yang diadakan pada ribuan tempat-tempat kerja di seluruh Kuba. Masing-masing pertemuan mendiskusikan dan memiiih dari tempat kerja itu seorang pekerja teladan. Mereka yang terpilih pade gilirannya dipertimbangkan untuk keanggotaan partai.

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya