Cari Blog Ini

Kamis, 16 September 2010


Sigmund Freud (6 Mei 1856 - 23 September 1939) adalah seorang neurolog Austria dan pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi, gerakan yang memopulerkan teori bahwa motif tak sadar mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu ia juga memberikan pernyataan pada awalnya bahwa prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas pada awalnya (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari Ibunya. Pengalaman seksual dari Ibu, seperti menyusui, selanjutnya mengalami perkembangannya atau tersublimasi hingga memunculkan berbagai prilaku lain yang disesuaikan dengan aturan norma masyarakat atau norma Ayah. Namun dalam perjalanannya setelah kolega kerjanya Alferd Adler, mengungkapkan adanya insting mati didalam diri manusia, walaupun Freud pada awalnya menolak pernyataan Adler tersebut dengan menyangkalnya habis-habisan, namun pada akhirnya Freudpun mensejajarkan atau tidak menunggalkan insting seksual saja yang ada didalam diri manusia, namun disandingkan dengan insting mati (Thanatos). Walaupun begitu dia tidak pernah menyinggung asal teori tersebut sebetulnya dikemukakan oleh Adler awal mulanya.
Freud tertarik dan belajar hipnotis di Perancis, lalu menggunakannya untuk membantu penderita penyakit mental. Freud kemudian meninggalkan hipnotis setelah ia berhasil menggunakan metode baru untuk menyembuhkan penderita tekanan Psikologis yaitu asosiasi bebas dan analisis mimpi. Dasar terciptanya metode tersebut adalah dari konsep alam bawah sadar, asosiasi bebas adalah metode yang digunakan untuk mengungkap masalah-masalah yang ditekan oleh diri seseorang namun terus mendorong keluar secara tidak disadari hingga menimbulkan permasalahan. Sedangkan Analisis Mimpi, digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar, pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktifitas emosi lain, hingga aktifitas emosi yang sama sekali tidak disadari. Sehingga metode Analisis Mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil di-ungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Hal-hal ini dilakukan untuk mengembangkan sesuatu yang kini dikenal sebagai "obat dengan berbicara". Hal-hal ini menjadi unsur inti psikoanalisis. Freud terutama tertarik pada kondisi yang dulu disebut histeria dan sekarang disebut sindrom konversi.
Teori-teori Freud, dan caranya mengobati pasien, menimbulkan kontroversi di Wina abad kesembilan belas, dan masih diperdebatkan sengit di masa kini. Gagasan Freud biasanya dibahas dan dianalisis sebagai karya sastra, filsafat, dan budaya umum, selain sebagai debat yang berterusan sebagai risalah ilmiah dan kedokteran in

Selasa, 10 Agustus 2010


PARADIGMA TEOLOGI PEMBEBASAN:
SUATU UPAYA REFORMULASI TEOLOGI ISLAM
Fawaizul Umam

A. Pendahuluan
Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan,
ketertindasan, ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih
merupakan realitas keseharian sebagian besar umat Islam di banyak belahan
dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak hal bisa dituding sebagai sebab, baik
berupa anasir absolut maupun struktural-sistemik. Namun, terlepas apapun
prime cause dari realitas dimaksud, impotensi umat Islam menghadapi kenyataan
itu tentu ironis demi menyadari betapa sesungguhnya Islam sarat akan spirit
revolusioner, nilai-nilai moral yang membebaskan, yang mendorong ke arah
terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, layak, dan manusiawi.
Banyak alasan yang bisa disebut mengapa ketakberdayaan itu tak kunjung
usai. Salah satunya ialah ketiadaan motivasi religius. Sejauh menyangkut élanvital
ajaran Islam sendiri, fakta ketakberdayaan umat itu memang berkait rekat
dengan ketiadaan motivasi religius yang mampu berperan sebagai motivator
perubahan, yang berperan transformatif dan menggerakkan mereka untuk
membebaskan diri dari serimpung realitas sosial tak mengenakkan. Di situ
kuncinya. Ketiadaan motivasi religius itu membuat apa yang disebut
transformasi sosial1 nyaris tak pernah berlangsung secara signifikan di dunia
Islam, termasuk Indonesia!
Dalam kerangka itulah studi ini bermaksud menggagas suatu reformulasi
paradigmatik dari apa yang dikehendaki di sini sebagai teologi Islam
transformatif-membebaskan. Studi ini sendiri merupakan sebuah library research
(penelitian kepustakaan). Ia dilangsungkan dengan desain library research
(penelitian kepustakaan). Data critically dipulung dari berbagai sumber, antara
lain teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengandung spirit pembebasan,
literatur yang berkait langsung dengan wacana teologi pembebasan Amerika
Penulis adalah dosen fakultas Dakwah IAIN Mataram
1Pengertian ‘transformasi sosial’ yang digunakan untuk menyemangati tulisan ini ialah
perubahan sosial yang terencana (planned social change), yakni proses perubahan yang didesain
secara sengaja, ada penentuan strategi dan penetapan tujuan. Less dan Presley menyebut
rekayasa sosial (social engineering), perencanaan sosial (social planning) oleh M.N. Ross, bahkan
secara agak berbeda Ira Kaufman mengistilahkannya manajemen perubahan (change
management). Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi? (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999), 45-6.
Reformulasi Teologi Islam
2
Latin,2 aneka buku/kitab yang mengungkap realitas teologi Islam klasik (‘ilm alkalâm),
dan yang mengulas beragam discourse seputar sosialisme, kapitalisme,
dan marxisme. Proses akumulasi data dilakukan dengan penggunaan content
analysis (analisis isi) untuk selanjutnya, setelah terhimpun, didekati secara kritis
dengan metode hermeneutik3 dan deskriptik.
B. Mencari Motivasi Religius
Kebutuhan akan motivasi religius dimaksud secara khusus menunjuk
pada eksistensi teologi-teologi anutan umat―yang merupakan manifestasi
ajaran dasar Islam hasil derivasi para mutakallimûn dari teks-teks suci (al-Qur’an
dan al-Sunnah), yang sebagai wacana historis telah mengeras menjadi “ilmu”
tersendiri, ‘ilm al-kalâm (atau ‘ilm al-tawhîd, ‘ilm ushûl al-dîn, ‘ilm al-‘aqâ’id).
Penunjukan itu bukan hanya lantaran teologi (baca: tawhîd) merupakan alas
fundamental seluruh ajaran Islam, tapi lebih jauh karena konstrukparadigmatik
suatu teologi anutan pada dasarnya menentukan cara pandang
dan pola pemahaman umat atas realitas sekaligus juga pembacaan akan pesanpesan
ajaran. Dan itu artinya secara langsung bakal memberi impact pada
pilihan performa penyikapan mereka terhadap realitas di dataran praktis.
Dengan lain kata, suatu konstruk teologi tidak hanya memberi suatu cara
pandang eskatologis, melainkan juga memberi implikasi sosiologis.
Namun, apa hendak dikata, sejauh urgensi teologi sebagai motivasi
religius itu menunjuk pada teologi Islam klasik kita pun segera tahu betapa
warisan kalâm Abad Pertengahan itu secara paradigmatik tidak transformatifmembebaskan
dan karena itu inadequate sebagai suatu motivasi religius yang
revolusioner bagi kemanusiaan. Logis saja, karena apa yang secara
2Pilihan atas discourse teologi pembebasan Amerika Latin tersebut berkait rekat dengan
statusnya di penelitian ini sebagai pra-konsepsi―suatu hal niscaya dalam penghampiran
hermeneutik. Dalam hal ini beberapa karya jadi acuan utama, antara lain Antonio M. Pernia,
“The Kingdom of God in the Liberation Theology of G. Guti駻rez, L. Boff, and J.L.
Segundo,” dalam DIWA: Studies in Philosophy Theology, Vol. XIII No. 1 (Mei, 1988): 30-7;
Denis Carroll, What is Liberation Theology? (Sidney: E.J. Dwyer, t.th.); Gustavo Guti駻rez, A
Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973); dan Hugo
Assmann, Practical Theology of Liberation (London: Search Press Limited, 1975).
3Secara metodologis, kerangka hermeneutik yang dipakai adalah hermeneutics theory
(dengan sedikit sentuhan pola hermeneutics philosophy) seraya menahan diri untuk tidak
melibatkan hermeneutics critique. Lihat relevansi pengenaannya, terkhusus pada Josef Bleichert,
Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique (London: Routledge
and Kegan Paul, 1980). Karena itu, konteks penggagasan apa yang disebut di sini sebagai
(paradigma) teologi Islam transformatif-membebaskan lebih terfokus pada upaya reformulasi
doktrin-doktrin teologis berdasar produksi makna baru yang secara hermeneutis diderivasi
dari teks-teks suci (al-Qur’an dan/atau al-Hadits). Di situ, pemaknaan atas teks tidak
terutama diarahkan untuk mengkritisi dan/atau mendekonstruksi aneka produk pemahaman
interpretatif atas teks yang selama ini ada, tetapi untuk suatu pemaknaan baru (produksi
makna) sejalan dengan realitas kekinian yang teralami. Lebih lanjut lihat operasionalisai
pengenaan metode ini pada sub Hermeneutik sebagai Rangka Kerja di tulisan ini.
Antologi Tesis
3
paradigmatik dikembangkan teologi kalâm klasik itu adalah trend teosentris.4
Tuhan dan ketuhanan (theos) menjadi core teologis. Jadi wajar bila concern
utamanya adalah “bagaimana mengenal Tuhan untuk memahami
kenyataan”―dan bukan sebaliknya, “memahami kenyataan untuk mengenal
Tuhan”. Dengan pemusatan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan,
sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur
dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman
pertengahan Hijriyah, ketika era formatif Islam masih berlangsung, boleh jadi
ia menuai signifikansinya. Namun, untuk konteks hari ini, tatkala aneka
“anomali” realitas umat kini lebih bersifat sosial daripada individual,5 masihkah
trend teologis semacam itu memadai untuk memotivasi umat guna
melangsungkan perubahan dan membalik kenyataan? Tampaknya, tidak.
Lalu bagaimana mungkin menyelenggarakan perubahan-perubahan
sosial-transformatif tanpa suatu kesadaran teologis yang secara paradigmatik
bersifat transformatif pula? Hubungan keduanya bersifat niscaya, mau tak mau.
“Tidak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner!” ujar Vladimir Ilyic
Ulyanov.6 Mustahil akan berlangsung suatu tindakan revolusioner tanpa
didukung oleh suatu teori revolusioner. Di sinilah teologi sebagai suatu refleksi
teoretis atas ajaran berperan determinan dalam mempengaruhi perubahan.
Maka tak pelak, untuk konteks Islam, teologi menjadi pintu utama bagi seluruh
rintisan ikhtiar transformasi sosial di dunia Islam.
Namun, itu bukanlah perkara gampang. Terlebih mengingat angan-angan
tentang kemajuan peradaban Islam selama ini tidak beranjak dari
kecenderungan idealisasi ke masa lalu. Fakta-fakta tempo doeloe, tepatnya era
Madinah pasca-Hijrah, cenderung didudukkan sebagai rujukan kebenaran
tunggal dalam berislam. Mengutip identifikasi Arkoun, di situlah letak
persoalan mengapa geliat pemikiran Islam nyaris tak pernah berlangsung
revolusioner. Sebab, tambahnya, apabila revolusi di mana-mana meniscayakan
pemisahan dengan masa lalu, revolusi Islam justru mengakomodasi dan
4Bila dipilah sekurangnya terdapat tiga paradigma dari teologi-teologi anutan umat
Islam hari ini yang pada prinsipnya sama berkecenderungan teosentris, yakni (1) tradisional,
(2) rasional, dan (3) “fundamentalis”. Secara umum ketiganya mendasarkan derivasi
keyakinan teologisnya pada khazanah kalâm klasik, yakni yang pertama pada Jabariyah,
As‘ariyah, dan Maturidiyah (sayap Bukhara); sedang yang kedua pada Qadariyah, Mu‘tazilah,
dan Maturidiyah (Samarkand); dan yang ketiga pada Khawarij. Bdk. dengan pemetaan
Mansour Faqih, “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru:
Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei, 1994): 203-42. Khusus untuk
relevansi pelekatan label neo-Khawarij terhadap kelompok-kelompok Islam “fundamentalis”,
lihat Said Agiel Siradj, Ahlussunnah wal Jama‘ah dalam Lintas Sejarah (Jogjakarta: LKPSM,
1997), 7-8.
5Untuk pemaknaan problem individual dan bedanya dengan problem sosial berikut
probabilitas aksi solutifnya, lihat Rakhmat, Rekayasa…, 54-82.
6Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al Khattab (Jogjakarta: LKíS,
2000), 296.
Reformulasi Teologi Islam
4
menomorsatukan masa lalu.7 Ringkas kata, kelindan ghirah idealisasi ke masa
Islam awal dulu tersebut dengan ketiadaan motivasi religius yang revolusioner
tadi menjadi faktor utama pembuntu proses transformasi sosial umat.
Di konteks itulah tulisan ini merebahkan niat baiknya, yakni menggagas
suatu teologi yang secara epistemologis dapat digunakan sebagai suatu
paradigma8 untuk membaca sekaligus memaknai kenyataan, dan secara khusus
tentu saja sebagai suatu motivasi religius untuk mentransformasikannya. Ini
mendesak demi menyadari realitas faktual umat yang secara sosial umumnya
menyedihkan di satu sisi dan relatif minusnya motivasi religius mereka dalam
menyikapinya di sisi beriringan. Karena itu tawaran suatu cara baru berteologi
yang terutama “mengabdi” pada masalah kemanusiaan (antroposentris) “yang
di sini” ketimbang membela Tuhan (teosentris) “yang di sana” menjadi niscaya
sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi
religius untuk membalik-mengubahnya menjadi lebih baik.
C. Menggeser Paradigma Teologi
Urgensi dari penghadiran suatu konstruk teologi yang secara
paradigmatik transformatif dan membebaskan bertolak dari postulat bahwa
élan-vital Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide
pembebasan merupakan salah satu major themes of Islam. Ide-ide dimaksud
berhulu terutama pada tiga gagasan revolusioner Islam, yakni al-‘adâlah9
(keadilan), al-musâwah10 (egalitarianisme; kesetaraan; persamaan derajat), dan alhurriyah11
(kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang
transformatif menghendaki perlunya redefinisi makna teologi.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar
Tuhan.12 Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya
7Lihat Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlat al-Ta’shîl, Nahwa Târîkhin
Akhar li al-Fikr al-Islâmî (London: D穩 al-S穢・ 1999), 115.
8Yang dimaksud paradigma (paradigm) di sini ialah konstelasi teori, pertanyaan,
pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan/atau tema pemikiran.
Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan situasi sosial,
untuk memberi kerangka konsepsi dalam memaknai realitas. Kekuatan suatu paradigma
terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara melihat
sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang sekiranya bermanfaat untuk
dipecahkan, dan apa metode yang sepatutnya kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Selengkapnya, untuk ulasan seputar paradigma, lihat Thomas Kuhn, The Structures of Scientific
Revolution (Chicago: the University of Chicago Press, 1970).
9Pendasaran normatifnya, antara lain, Qs. al-Had禔 (57): 25; al-Nis’_ (4): 40; dan al-
Hujur穰 (49): 9.
10Lihat, misalnya, Qs. al-Isr’_ (17): 70.
11Bahkan kemerdekaan dalam memilih agama, Qs. al-Baqarah (2): 256.
12Dalam sejarah keilmuan Islam terungkap bahwa apa yang dimaksud ‘ilm al-kalâm
(baca: teologi Islam) tak lain adalah ilmu yang memusatkan pembicaraannya pada dan tentang
Tuhan dengan segala dimensinya. Taruh missal, soal wujudNya, sifat-sifatNya,
perbuatanNya, dan semacamnya; juga soal relasi Tuhan dengan alam semesta dan manusia,
seperti proses terjadinya atau penciptaan alam, kebijaksanaan dan keadilan Tuhan, qada’ dan
Antologi Tesis
5
tidak lagi dipahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam
wacana kalâm klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat
teosentris, yang secara etimologis merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia
seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sungguh ‘ilm al-kalâm,
ilmu tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab
person Tuhan tidaklah tunduk pada ilmu.13
Sebagai ilmu perkataan, teologi merupakan ilmu tentang analisis
percakapan, dan sebagai bentuk ucapan sekaligus sebagai konteks, ia adalah
pengertian yang mendasarkan diri kepada iman. Karena itu teologi,
sebagaimana antropologi, juga bermakna ilmu-ilmu tentang manusia,
merupakan tujuan perkataan sekaligus sebagai analisis perkataan. Alhasil,
teologi merupakan ilmu kemanusiaan dan bukan ilmu ketuhanan.14 Secara
filosofis, teologi yang beralih locus theologicus-nya ini menegaskan diri bahwa ia,
dalam kerangka hermeneutik, bukanlah suatu discourse yang sacred (sakral),
melainkan ilmu yang systematically tersusun secara kemanusiaan dan karenanya
profane. Di tingkat praktis ia merefleksikan aneka konflik sosial-ekonomipolitik,
dimana setiap kelompok sosial dalam komunitas yang berkeyakinan
teologis membaca interest-nya masing-masing dan mempertahankannya dalam
sistem kepercayaannya itu.
Pemaknaan teologi sebagai sungguh-sungguh ‘ilm al-kalâm memberi
alasan logis bagi pemindahan locus theologicus-nya dari ‘krisis iman’ menuju
‘krisis kemanusiaan’. Karena itu secara paradigmatik ia menjelma menjadi
teologi antroposentris, suatu teologi yang lebih bersifat praksis sosialtranformatif.
Pengalihan locus ini berangkat dari satu postulat bahwa wahyu
(teks al-Qur’an) pada dasarnya adalah “penjelmaan” Tuhan; melaluinya Tuhan
sesungguhnya sedang bercerita tentang entitas Dirinya dengan menjadikan
manusia (dan ide kemanusiaan) sebagai subyek cerita. Dan pada saat yang sama
Ia menjadikan manusi sebagai obyek, kepada siapa Tuhan bercerita. Itulah
mengapa ide kemanusiaan Tuhan merupakan gagasan dasar dari keseluruhan
ceritaNya (baca: agamaNya, Islam). Tegasnya, secara normatif pendasaran
teologis dari redefinisi ini kukuh berlandas pada ide-ide kemanusiaan (dalam
al-Qur’an juga praksis Muhammad saw [al-Sunnah]) yang sebenarnya
merupakan tema inti dan utama dari keseluruhan ajaran Islam.
‘Alâ kulli hâl, pengalihan locus itu bersifat harus, karena paradigma teologi
Islam klasik dengan lokus theos relatif masih bersifat mikro, mengutamakan segi
individual belaka. Padahal soal-soal kemanusiaan dewasa ini telah bersifat
makro, berkait rekat dengan berbagai penyelenggaraan struktur dan sistem
dalam masyarakat. Ini sejalan dengan motif dasar paradigma teologi berlokus
qadr; termasuk ke dalam konteks hubungan Tuhan dengan manusia adalah pengutusan para
rasul, penerimaan wahyu, dan berita-berita alam ghaib, misalnya tentang alam akhirat.
13Logika pemaknaannya mengekor Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan,
terj. Shonhaji Sholeh (Jakarta: P3M, 1991), 7.
14Ibid.
Reformulasi Teologi Islam
6
anthropos dalam suatu tataran sosial praktis, yakni transformasi dunia dan/atau
masyarakat. Pada studium inilah shifting paradigm (pergeseran paradigma)
diharapkan berlangsung.15
Tuntutan selanjutnya dari redefinisi teologi ialah merumuskan ulang
konsep-konsep (doktrinal) teologis agar sejalan dengan semangat
pembebasannya. Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses
reflektif-kritis secara teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-
Qur’an dan hadits) dan pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual).
Dalam hal ini, setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang mendesak untuk
dirumus-ulang dalam kerangka paradigma transformatif yang berpihak pada
kepentingan pembelaan dan pembebasan kaum mustdl‘afîn.16 Pertama, konsep
Tawhîd. Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam
keseluruhan teologi Islam klasik. Di sini ia merupakan sintesis dari dua
polaritas trend paradigmatik dari teologi klasik, tradisionalisme dan modernisme
(rasionalisme?). Terdapat dialektika antara kebebasan manusia (free will, free act)
seperti digagas teologi-teologi rasional dan ketentuan mutlak di luar manusia
(predestinasi Tuhan) sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional.
Dialektika itu menunjuk pada faktor di luar keduanya, yaitu sistem dan struktur
yang menindas. Manusia dengan segala potensinya sebagai pusat yang
mengendalikan rekayasa sejarah (historical engineering) dapat melakukan
perubahan dengan mendudukkan sejarah sebagai esensi dari seluruh proses
perubahan.
Oleh sebab itu tawhîd harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran
adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atasnya menurunkan
konsep penegas adanya unity of creation (kesatuan penciptaan). Dalam konteks
sosial-horisontal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan adanya
unity of mankind (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan
kemanusiaan menegaskan bahwa tawhîd menolak segenap bentuk penindasan
atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu
menghendaki adanya unity of guidance (kesatuan pedoman hidup; al-Qur’an dan
hadits) bagi orang-orang Mukmin. Dengan demikian tawhîd secara konseptual
15Pengalihan locus teologis dimaksud pada dasarnya adalah menghindarkan teologi yang
melambari konstruk mentalitas umat dari kecenderungan ahistoris. Untuk itu, agar
berkesadaran historis, ia―dengan segenap anasir normatif-metafisisnya―musti dihadapkan
dan/atau didialogkan dengan persoalan-persoalan riil di dataran historis-lokal. Sebab,
mengutip Abdullah, selagi teologi tidak atau kurang memahami relasi dialektis antara
historisitas al-Qur’an dan normativitasnya, maka sulit diharapkan terjadi pergeseran
paradigma dalam the body of knowledge (bangunan pengetahuan) wacana teologi Islam klasik.
Lihat M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), 91.
16Untuk elaborasi lebih lanjut seputar reformulasi tiga konsep teologis tersebut, lihat
tesis penulis tepatnya di rentang halaman 91-108.
Antologi Tesis
7
memberi arahan kepada adanya unity of purpose of life (kesatuan tujuan hidup),
bergerak menuju muara tunggal, Allah swt.17
Pemahaman tawhîd sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal
untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan (‘aqîdah
wahdaniyah), tapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai
‘aqîdah taharruriyah, teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari
seluruh anasir penindasan. Cita pembebasan manusia dari ketertindasan,
karena itu, merupakan salah satu ‘aqîdah ilâhiyah. Elaborasi lebih jauh dari
pemahaman tawhîd semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas
makna îmân, nilai kufr dan sebutan kâfir,18 dan pada akhirnya reposisi entitas
makna ‘Islam’ dan ‘Muslim’ searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
Kedua, konsep Keadilan Sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari
kesadaran bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan,
kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumaisasi) merupakan produk dari
suatu proses sosial via struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi lantaran
proses sejarah manusia. Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah
predestinasi Tuhan (taqdîr), seperti umum diyakini teologi-teologi tradisional,
melainkan hasil dari proses sejarah yang by design, disengaja. Bukan pula belaka
akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia,” seperti
keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari
diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatif, dan
menindas.
Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung
terkesampingkan. Wacana keadilan, misalnya, dalam teologi klasik cenderung
terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-‘adl).
Sebaliknya, dalam teologi reformulatif ini, ia justru menempati posisi sebagai
prime theme (tema utama), menjadi satu bagian penting dari keseluruhan konsep
teologisnya.
Kemudian ketiga, konsep Spiritualitas Pembebasan. Konsep ini
merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat)
di satu sisi dan atas élan-vital Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain.
Proses reflektif itu bermuara pada satu titik: spiritualitas pembebasan. Ialah
yang sesungguhnya mewarnai seluruh bangunan paradigmatik teologi Islam
yang transformatif dan membebaskan ini. Pembebasan (liberation, tahrîr) dalam
kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang
menindas, tapi juga secara terus-menerus pada upaya membebaskan manusia
dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu,
misalnya spiritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif
dalam proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
17Bdk. dengan pemaknaan senafas oleh M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula
Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), 109-10.
18Lihat Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 114-25,134-44.
Reformulasi Teologi Islam
8
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar
aspek religius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas
nilai-nilai transendensinya tak terabaikan. Oleh sebab itu, selain menumpukan
diri pada gagasan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan
pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social
malaise). Akhirnya di wilayah praksis, aktualisasi atau manifestasi teologi
reformulatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri.
Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betulbetul
transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu
terlepas model manajemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap
munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih menggembirakan. Dalam
pada itu Islam sebagai entitas nilai maupun agama (organized religion) akan
benar-benar hadir sebagaimana spirit genuine-nya sebagai agama yang
membebaskan. Sebab, di sana ia mengemuka lebih sebagai verb (fi‘l) daripada
sebagai noun (ism),19 yang bergerak dinamis-inspiratif mengarah pada upaya
perwujudan-pemenuhan keadilan sosial. Hal itu memungkinkannya hadir
sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru
memperkokoh diri sebagai institusi penindas, langsung maupun tidak. Melalui
rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya
mengambil jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan
“mengubah manusia untuk mengubah dunia”.
D. Hermeneutik sebagai Rangka Kerja
Selanjutnya paradigma teologi Islam transfromatif-membebaskan yang
mewujud dalam refleksi teologis tersebut direbahkan ke tingkat praxis20 melalui
apa yang disebut lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Hermeneutik21
19Bdk. dengan redefining Esack atas ‘Islam’. Ibid., 126-34.
20Term praxis mengandung makna aksi (kiprah) manusia yang mencipta perubahan
teori (konsep) untuk kemudian mempengaruhi cara ber-aksi kembali. Disebut-sebut
diintroduksi mula-mula oleh Karl Marx. Lihat F. Wahono Nitiprawira, Teologi Pembebasan:
Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 10.
21Ada aneka pengertian, tapi konsepsi dasarnya tersepakati sebagai suatu proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi ‘mengerti’. Lihat Richard E. Palmer,
Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 3. Secara kategoris hermeneutik terpilah pada tiga,
yakni sebagai metode, filsafat, dan kritik. Kategori pertama memfokuskan bahasannya selaku
metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (geistesswissenchaften); yang kedua lebih menekankan
pada status ontologis ‘memahami’ itu sendiri; sedang yang terakhir, mengarahkan penyisiran
pada penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi. Lihat Josef Bleichert,
Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge
and Kegan Paul, 1980), 1. Prinsipnya ia adalah ilmu dan/atau teori metodis tentang
penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik secara objektif (arti
gramatikal kata-kata dan variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Teks-teks
yang dihampiri terutama berupa teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks kitab
suci (sacred scripture). Selengkapnya lihat Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics,” dalam Dagobert
Antologi Tesis
9
dikendarai bukan cuma untuk membaca kenyataan, tapi sekaligus juga sebagai
titik tolak mengubah struktur kenyataan dalam suatu proses yang utuhintegral,
22 karena itu mau tak mau ia musti pula bersemangat pembebasan.23
Untuk kepentingan tersebut gagasan hermeneutik di sini membangun
nalar epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar24 (lihat
BAGAN 1). Seluruh proses dimulai dengan bertolak dari realitas yang dialami,
yang dihadapi―yang berada di “alas struktur” (fundamental structure). Melalui
cara mengalami yang baru, kaya, dan mendalam, proses tahap pertama
dilakukan dengan merumuskan realitas. Bagaimana wujud hasil perumusan
realitas akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami.
Hal itu sangat terkait dengan ketepatan analisis sosial yang dipilih untuk
membaca realitas dan keterlibatan penafsir (khususnya, para mustadl‘afîn
sendiri). Itulah mengapa, gerak melingkar tahap pertama ini sekurangnya
menegaskan keterlibatan dan/atau kedekatan penafsir dengan konteks realitas
sebagai syarat mesti. Penafsir (intelektual) yang baik adalah yang lebih jauh
aktif terlibat dalam proses-proses sosial. Proses refleksi teoretis menuntut aksi
sistematis. Sebab, mengutip Freire,25 refleksi tanpa aksi akan berujung pada
D. Runes, Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1976), 126.
Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud dengan exegesis―atau tafsîr dalam
khazanah Islam. Lihat Nasr Hamid Abu-Zayd, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Liyyât al-Ta’wîl (Al-D穩
al-Baydl’_: Al-Markaz al-Tsaq稠・al-‘Arab・ 1994), 13.
22Proses hermeneutis ini, pada saat yang sama, sebenarnya telah dilakukan pada tahap
pemaknaan teologi secara baru di atas, terkhusus dalam pembentukan kesadaran teologis di
level a postereori tentang kenyataan.
23Secara ontologis rangka hermeneutik pembebasan dimaksud disandarkan pada
pemerian Gadamer. Situasi hermeneutis, baginya, merupakan starting point ontologis dari
seluruh prilaku dan pemikiran manusia. Lihat Palmer, Hermeneutics..., 33, 42. Menurutnya,
proses hermeneutik sebagai suatu upaya interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli
yang diletakkan pengarang (the author) ke dalam teks (the text) bikinannya, tapi menampilkan
makna baru yang sesuai dengan kondisi kekinian penafsir (the reader). Tindak interpretatif
bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan sungguhsungguh
memproduksi makna (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. Sebab,
orang mustahil menghindar dari keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni
faktisitas ke-ada-annya di dunia. Tuntutan rekonstruksi makna teks adalah impossible, karena
tatkala teks itu dilepas, seketika itu pula teks menjadi otonom. Proses hermeneutik justru
menuntut dilibatkannya dimensi historis kekinian penafsir. Menanggalkan dimensi historis
diri saat menafsiri teks selain tidak mungkin juga tidak perlu, sebab justru dimensi itu yang
akan memperkaya penafsiran. Lihat Hans Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed
& Ward, 1975), 264.
24Lingkar hermeneutik pembebasan ini diotak-atik gathuk dari beberapa tawaran
lingkaran dan konsep hermenuetik. Lihat dan bdk., Esack, Qur’an…, 82-6; Mohammed
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S.
Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 15-29, 43-124; dan, John Goldingay, “The Hermeneutics of
Liberation Theology,” dalam Horizon in Biblical Theology, 11 (1989), 133-161.
25Freire menyebut kesatuan aksi dan refleksi itu sebagai praksis. Lihat Paulo Freire,
Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya, et. al. (Jakarta: LP3ES, 1985), 71-3.
Reformulasi Teologi Islam
10
verbalisme, dan sebaliknya, aksi tanpa disertai refleksi akan terjerembab pada
aktivisme.
Bagan 1: Lingkar Hermeneutik Pembebasan
Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya
didialogkan, dengan teks-teks suci (Qur’an dan/atau hadits) yang bertempat di
“puncak struktur” (superstruktur). Pada saat yang sama pendialogan itu harus
menghiraukan the world of the text, dunia teks (konteks dari eksistensi teks). Hal
itu, secara langsung ataupun tidak, akan menggerakkan suatu proses pemetaan
kategoris teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan realitas yang
telah dirumuskan. Dari situ gerak melingkar hermeneutis diteruskan pada
tahap interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yang telah terpetakan sejalan
dengan konteks kekinian dari realitas yang telah dirumuskan.
Pada tahap kedua tersebut interpretasi terhadap teks-teks terkait
dilakukan dengan prosedur hermeneutis berpola regresif-progresif.26 Gerak
regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa lalu. Namun,
bukan untuk memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar
teks-teks suci itu, melainkan untuk menemukan mekanisme dan faktor-faktor
historis yang melatari lahirnya teks-teks dimaksud dan memberinya
kebermaknaan kontekstual. Dalam hal itu proses pemunculan teks (baca:
pewahyuan al-Qur’an) di dalam konteks kemasyarakatan dikaji dan maknanya
di dalam konteks masa lalu yang khas dipahami. Akan tetapi, proses
pemahaman tersebut dijalankan di dalam sebuah konteks personal dan sosial
kekinian, yakni konteks realitas yang telah dirumuskan tadi. Inilah proses gerak
progresif.
Memroyeksikan interpretasi teks terhadap realitas (konteks) akan
otomatis melahirkan cara baru memahami dan menyikapi realitas teralami
26Istilah regresif-progresif ini dipinjam dan dikembangkan dari sodoran hermeneutik
Arkoun. Lihat dan bdk., Arkoun, Rethinking Islam (Washington, D.C.: Center for
Contemporary Arab Studies, 1987), 7.
Teks Suci (Qur’an-Hadits)
dan Dunianya
Realitas yang Dialami
Realitas
yang Dirumuskan
Interpretasi Teks
Regresif-Progresif
Antologi Tesis
11
secara kreatif-responsif. Ini menandakan gerak melingkarnya tidak mengenal
finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti pada setiap
proses hermeneutisnya. Alhasil, secara keseluruhan, gerak hermeneutik yang
dilangsungkan memiliki dua dimensi sekaligus, yakni objektif (teks; al-Qur’an
atau hadits) dan subjektif (konteks; realitas yang dirumuskan).
Prosedur regresif-progresif sendiri pada dasarnya adalah penerapan suatu
analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis)27 terhadap teks dan
konteks sekaligus (lihat Bagan 2).
Bagan 2: Analisis Tekstual-Kontekstual
Proses analisis tersebut bertolak dari kesadaran akan teks suci (wahyu: al-
Qur’an dan/atau hadits) dan keterikatannya pada konteks (sejarah, bagian dari
dunia teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis
timbal-balik―menandakan baik adanya hubungan dialektis pada keduanya
(yakni sejarah yang melatari kehadiran teks; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lazim
disebut asbâb al-nuzûl) ataupun tidak. Kemudian dilakukan teoretisasi dari dan
berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut untuk kepentingan
membangun suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general
theory). Penderivasian teoretis dari keduanya merupakan langkah pertama
analisis. Di tahap itulah analisis tekstual secara kritis dilakukan.
27Model penghampiran tekstual-kontekstual ini hasil bongkar-pasang beberapa ide dan
diadaptasi untuk kepentingan paradigmatik dari hermeneutik pembebasan. Bandingkan
dengan kontruksi analisis yang diajukan Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative
Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Selangor Darul Ehsan: International Islamic
University Press, 1996), 196.
Teks Suci
(Qur’an-Hadits)
Konteks Sejarah
Kerangka Teoretis:
• Derivasi dari teks
• Derivasi dari sejarah
TEORI SOSIAL
REALITAS SOSIAL
Hipotesis
Amatan,
Pelibatan,
Perumusan
Reformulasi Teologi Islam
12
Seterusnya, langkah kedua, menghadapkan kerangka teori yang telah
terbangun dengan teori sosial.28 Ini adalah awal dari proses analisis
kontekstual. Berbagai teori sosial yang ada dipilah dan dipilih untuk
dimanfaatkan demi melihat dan memahami realitas sosial (kekinian) secara
kritis―kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu,
langkah ketiga, dalam rangka memahami secara kritis realitas sosial,
penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak
dari ajuan hipotesis itu, selanjutnya penafsir mengamati seraya melibatkan diri
dalam realitas sosial (kekinian) untuk kemudian berdasar bantuan teori-teori
sosial terpilih merumuskan realitas kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan
mendalam. Di situ, hasil perumusan bisa saja meneguhkan hipotesis (termasuk
teori sosial yang dipakai) atau justru meruntuhkannya.
Selanjutnya atas hasil pembacaan/perumusan kritis terhadap realitas yang
dialami-hadapi itu dilakukan upaya konfirmasi dan/atau klarifikasi29 kepada
kerangka teoretis yang telah disusun berdasar derivasi teks dan konteks
sejarahnya. Dalam proses ini teoretisasi baru terhadap teks (dan juga teori
sosial) dilakukan berdasar konteks kekinian. Di sinilah puncak proses
kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks realitas hari ini.
Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual
ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari konteks realitas kekinian
menuju teks (proses proyeksi) untuk kemudian kembali ke konteks kekinian
tadi (proses kontekstualisasi). Konteks, dengan demikian, tidak tersubordinasi
di bawah teks―sebagaimana lazim dalam tradisi tafsîr klasik. Dengan itu
diharapkan akan muncul bentuk penyikapan realitas yang tepat berdasar hasil
interpretasi kontekstual atas teks secara baru, kaya, dan mendalam.
Secara keseluruhan proses tekstual-kontekstual itu menenggang segenap
‘pengalaman’ (baca: penghayatan) yang bersemayam di diri dan menjadi
horison penafsir, karena itulah peran penafsir dengan horisonnya sangatlah
menentukan―suatu hal niscaya dalam hermeneutik, terutama yang bertarget
‘produksi makna’ ala Gadamer. Cara itu memungkinkan berlangsungnya
dialektika dinamis manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan
28Untuk membaca kenyataan (identifikasi problem) secara tepat, pelibatan
teori/analisis sosial adalah niscaya. Tanpa itu, upaya pengkajian hanya akan terjerembab pada
apa yang disebut Arkoun sebagai logosentrisme. Menurutnya, studi-studi Islam mutakhir
penuh dijejali trend logosentris. Hal itu telah menyebabkan kajian-kajian keislaman, doktrin
dan sejarahnya, mandul dan tidak produktif. Di antara ciri utama pemikiran logosentris,
selain kecenderungannya mendasarkan diri pada satu ‘ashl yang dipancang sebagai satusatunya
kriteria absahnya kebenaran, ialah pengalihan realitas dan fakta-fakta menjadi sebatas
retorika-retorika, permainan bahasa dan kata-kata, belaka. Realitas masa lalu di mana Islam
melalui masa “formatifnya” tidak lagi diperlakukan sebagai sekumpulan fakta yang terikat
oleh ruang dan waktu, tapi sebagai fiksi yang mengatasi kedua dimensi itu. Akibatnya, seluruh
ajaran Islam kehilangan dimensi historisitasnya. Lihat Mohammed Arkoun, “Logocentrisme
et V駻it・Religieuse dans la Pens馥 Islamique,” dalam Studia Islamica, No. 35 (1972): 5-51.
29Secara metodis-filosofis, upaya konfirmasi dan/atau klarifikasi ini dapat pula
bermakna proses verifikasi atau bahkan falsifikasi.
Antologi Tesis
13
teks di pihak lain―suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan
menumpukan diri. Di sisi lain, analisis sedemikian pada dasarnya tengah
berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya
untuk masa sekarang, sebagaimana teks-teks suci tersebut (pernah) relevan dan
memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu.
Demikianlah, melalui lingkar hermeneutik berspirit pembebasan sebagai
kerangka kerja, gagasan teologi Islam yang membebaskan dan transformatif di
atas dengan segera menanggalkan kesan “kelewat metafisis”-nya. Dus,
membuka kemungkinan secara lebih ‘operasional’ sebagai motivasi religius
bagi umat untuk melangsungkan proses-proses perubahan revolusioner di
tengah situasi sosial yang tidak “ramah” pada mereka. Rekonstruksi kesadaran
teologis yang transformatif-membebaskan dalam diri umat adalah pilihan
mendesak, mengingat kesadaran teologis lawas warisan kalâm Abad Tengah
kerap mengunci mereka untuk mengubah dan berubah. Maka, ia menjadi pintu
utama dan pertama yang harus mereka lalui untuk memulai transformasi sosial
secara total agar ironi panjang kemandulan Islam di tengah dinamika zaman
segera menemui ujung.
E. Penutup
Alhasil, menghadirkan bangunan teologi Islam yang secara paradigmatik
membebaskan sedemikian rupa adalah bersifat mendesak. Rekomendasi ini
niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di
berbagai bidang kehidupan dan impotensi beragam paradigma teologi anutan
mereka untuk memotivasi brlangsungnya proses transformasi sosial. Dua
kenyataan inilah yang secara langsung mejadi basis historis mengapa
reformulasi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik simpulan
betapa Islam dalam proses sejarahnya telah semakin jauh dari rasionalitas
Tuhan ketika ia diturunkan.
Terkait itulah reformulasi terhadap teologi warisan Islam klasik ini
menjadi entry-point yang strategis guna memulai transformasi sosial umat secara
total. Dengan rangka kerja hermeneutiknya, teologi Islam yangs secara
paradigmatik transformatif-membebaskan ini akan memberi signifikansi bagi
pelahiran kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks
(Qur’an/hadits; ide-ide kemanusiaan Allah swt/Muhammad saw) dan konteks
(kekinian, situasi sosial yang menindas). Pada saat berbarengan ia berpotensi
pula menjadi motivasi religius bagi umat untuk melakukan transformasi atas
realitas ketertindasan yang mengungkung mereka―entah anasir penindasan itu
berwujud “institutionalized discourse”, seperti developmentalisme atau
kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri,
termasuk “nilai-nilai agama”.
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis kritismembebaskan
itu sendiri penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni
pertama, di level wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi
wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad Pertengahan, khususnya di ranah
Reformulasi Teologi Islam
14
teologi. Di situ jargon-jargon semisal “membukan pintu ijtihad” di satu sisi visà-
vis “pintu ijtihad telah tertutup” di sisi beriringan akan menemukan
momentumnya dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan
memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat
dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang
melahirkan ketidakadilan, kemikinan, keterbelakangan, diskriminasi,
dehumanisasi, dan sejenisnya. Pada saat yang sama ia akan mendorong (dengan
social analysis yang tepat) pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu
berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan suatu yang
given dan taken for granted, melainkan sudah bersifat sosial―tercipta oleh
struktur-sistem yang memang menghendaki demikian.
Sekurangnya melalu dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan
menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali
menjadi buah bibir di dunia Barat dan Timur

Selasa, 20 Juli 2010

Runtuhnya Sosialisme-Komunisme, Awal Kejayaan RKapitalisme Global


Runtuhnya Sosialisme-Komunisme, Awal Kejayaan RKapitalisme Global
•Resesi dunia (malaise) pasca perang dunia I, banyak negara-negara imperialisme-kapitalisme mengalami kebangkrutan akibat membiayai perang.
•Konsolidasi kapitalisme, di bidang ekonomi; restrukturisasi sektor moneter dan sektor riil, bidang sosial; proses social engiinering (teori sturkturalisme-fungsional Talcott Parsons) yang diberlakukan di negara-negara jajahan.
•Munculnya blok-blok imperialisme baru, imperialis-komunis (Soviet), imperialis-kapitalis (AS-Inggris), imperialis-rasis (Jerman), imperialis-totaliter (Jepang).
•Polarisasi negara-negara imperialis dalam 2 blok besar. Imperialis komunis dan imperialis-kapitalis mendirikan blok sekutu/Allies (AS, Uni Soviet, Inggris dll), berhadapan dengan gabungan imperialis-rasis dan imperialis-fasis yang bernama blok Axis (Jerman, Jepang, Itali dan Spanyol).
•Pecah Perang Dunia (PD) II antara blok Allies dengan blok Axis.
•Konsolidasi kapitalisme tahap II, Imperialis-kapitalis bertemu di Bretton Woods membentuk World Bank dan IBRD (mulai beroperasi 1946) fungsinya memberi pinjaman kepada negara-negara baru merdeka atau hancur akibat PD II agar melakukan pembangunan menurut model kapitalisme.
•Pendirian IMF (1947) berfungsi memberi pinjaman untuk negara-negara yang kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dengan memasukkan disiplin financial tertentu. Kemudian mendirikan GATT (1947) berfungsi mengatur dan memajukan perdagangan dunia agar seirama dengan kepentingan kapitalis.
•Marshall plan dijalankan di Eropa.
•Pendirian PBB dan declaration of Human Rights (1945), sementara itu blok komunis membentuk pakta kerjasama ekonomi COMECON.
•Penjajahan fisik berakhir digantikan model penjajahan ekonomi dan politik. Lembaga-lembaga politik internasional dari blok kapitalis maupun komunis memperluas pengaruh. Perang pengaruh ini dikenal dengan era cold war antara blok timur yang komunis (dikomandoi Soviet) dengan blok barat yang kapitalis (dikomandoi AS).
•1948 Presiden AS, truman, menetapkan ideologi developmentalisme sebagai strategi membendung komunisme. Developmentalisme ini menandai era baru lahirnya kapitalisme-modernisme.
•Terjadi pergeseran geo-politik terutama di Eropa dan kapitalisme berubah menjadi sosial demokrat (kasus Jerman), lahir konsep Welfare State dengan sistem ekonomi socialmarkt wirstchaft (pasar yang masih mengakomodasi etika sosial).
•Munculnya dan berkembangnya jaringan ekonomi global, perusahaan-perusahaan besar meluaskan jaringannya ke negara berkembang, yang dikenal dengan istilah MNC (Multinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation) dan berpusat di negara kapitalis.
•1989 berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Uni Sovyet. Relasi antara Amerika dengan negara-negara Dunia Ketiga berubah menjadi sebatas kepentingan pasar. Muncul istilah National Corporation (bangsa perusahaan), dan State of Market (negara pasar).
•Munculnya neoliberalisme sebagai tata dunia ekonomi politik baru yang tertuang dalam kesepakatan yang dikenal dengan The Neoliberal Washington Konsensus yang intinya adalah reformasi ekonomi dengan kebijakan pasar bebas.
•GATT merubah bentuk menjadi WTO (World Trade Organisation) pada tanggal 5 April 1994 di Marrakesh, Maroko, sebagai hasil dari putaran perundingan Uruguay, munculnya lembaga ini karena akselerasi yang cepat dari perubahan struktural bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, WTO merupakan hasil dari perjuangan para penganut pasar bebas yang ingin lepas dari kontrol negara.
•Tanggal 1 Januari 1995 semua anggota wajib secara bertahap membuka pasarnya dan menetapkan jadual komitmennya (schedule of commitment) sampai pasarnya seluruhnya terbuka bagi perusahaan-perusahaan asing.
•Putaran Perundingan GATT. 1) Konferensi GATT tahun 1947 dengan topik perundingan perumusan perjanjian GATT dan perundingan yang mencakup 45.000 item tarif dengan nilai $ 10 Milyar, diikuti oleh 23 negara. 2) Prundingan Annecy tahun 1949 topik pembicaraan mencakup 5000 item tarif diikuti oleh 33 negara. 3) Perundingan Torquay tahun 1950-51 topik pembicaraan 5500 item tarif diikuti oleh 34 negara. 4) Perundingan Jenewa tahun 1955-56 dengan topik pembicaraan perundingan tarif mencakup nilai dagang $ 2,5 Milyar dan diikuti oleh 22 negara. 5) Dillon Round tahun 1960-61 dengan topik 4400 item tarif dan nilai dagang $ 4,9 Milyar yang diikuti oleh 45 negara. 6) Kennedy Round tahun 1964-67 topik perundingan tarif nilai $ 40 Milyar serta perundingan anti-dumping yang diikuti oleh 48 negara. 7) Tokyo Round tahun 1973-79 topik mengenai tarif dan non-tarif dengan nilai $ 155 Milyar diikuti oleh 99 negara. 8) Uruguay Round dari bulan September 1986 sampai bulan April 1994 dan diadakan beberapa kali perundingan yang menghasilkan perluasan akses, penyempurnaan aturan (rules) GATT, penyempurnaan kelembagaan GATT, dan masalah-masalah baru.
•Kolonialisme baru muncul dengan melalui aneksasi, eksploitasi, dan penaklukan. Bentuk baru dari neokolonial merupakan penjajahan melalui ilmu ilmu pengetahuan yang diciptakan barat dengan demikian lebih simbolik.
•Pada sektor kultural, neokolonial (globalisasi) cenderung menghasilkan diaspora kultural. Komunitas yang memiliki selera, kebiasaan dan keyakinan juga sering dipisahkan dari batasan bangsa. Diaspora kultural memiliki ciri standarisasi budaya seperti dalam gaya pakaian, musik, film atau bahkan agama.
•Munculnya ikon-ikon baru Amerika seperti terorisme sebagai strategi melawan penentangnya

Sabtu, 10 Juli 2010

Dalam Khotbah Jum’at dengan Bahasa Arab


Dalam Khotbah Jum’at dengan Bahasa Arab

Banyak dikalangan umat Islam di Indonesia yang mempertentangkan penggunaah khotbah Jum’at dengan Bahasa Arab, ada sebagian berpendapat harus menggunakan bahasa Arab dan sebagian lagi ada yang berpendapat harus bahasa Indonesia. Sebenarnya manakah yang benar ? Apakah menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Indonesia ?

Al-fiqhu ala Madzhabi Arba’ah yang dikutib dari Kitab Ta’lif Abdurrahman Al-Juzairi. dari kitab tersebut menerangkan khotbah Jumat menurut 4 Madzhab yaitu:

Menurut Madzhab Hanafi atas permasalahan “bagaimana penyampaian Khotbah dengan bahasa Arab?”. Ia berpendapat “boleh Khotbah dengan selain bahasa Arab meskipun mampu berbahasa Arab. Ketentuan ini berlaku untuk orang Arab maupun selain orang Arab”.

Menurut Madzah Hambali atas permasalahan “Bagaimana penyampaian Khotabah dengan Bahasa Arab?”. Ia berpendapat “tidak syah Khotbah dengan selain Bahasa Arab apabila masih ada yang mampu berbahasa Arab”.
Menurut Madzhab Safi’i atas permasalahan “bagaimana penyampaian Khotbah dengan bahasa Arab?”. Ia berpendapat “disyaratkan rukun-rukun Khotbah menggunakan Bahasa Arab apabila masih ada yang mampu berbahasa Arab. Ketentuan ini berlaku khusus untuk orang Arab saja adapun selain orang Arab tidak disyaratkan”.
Menurut Madzhab Maliki atas permasalahan “bagaimana penyampaian Khotbah dengan bahasa Arab ?”. Ia berpendapat “disyaratkan Khotbah harus menggunakan bahasa Arab meskipun qoum A’jam yang tidak mengerti bahasa Arab”.
Dari ke empat madzhab tersebut di atas semuanya memperbolehkan Khotbah dengan Bahasa Arab, jadi dengan menggunakan bahasa Arab Khotbah tersebut tidak salah atau syah.
Bacaan dan Rukun Khatib Jumat
Tata cara pelaksanaan shalat Jum’at, yaitu :
1. Khatib naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur), kemudian memberi salam dan duduk.
2. Muadzin mengumandangkan adzan sebagaimana halnya adzan dzuhur.
3. Khutbah pertama: Khatib berdiri untuk melaksanakan khutbah yang dimulai dengan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian memberikan nasehat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara yang lantang, menyampaikan perintah dan larangan Allah SWT dan RasulNya, mendorong mereka untuk berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan serta ancaman-ancaman Allah Subhannahu wa Ta’ala. Kemudian duduk sebentar
4. Khutbah kedua: Khatib memulai khutbahnya yang kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan pelaksanaan yang sama dengan khutbah pertama sampai selesai
5. Khatib kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamat untuk melaksanakan shalat. Kemudian memimpin shalat berjama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan.

Adapun rukun khutbah Jumat paling tidak ada lima perkara.
1. Rukun Pertama: Hamdalah

Khutbah jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafaz yang memuji Allah SWT. Misalnya lafaz alhamdulillah, atau innalhamda lillah, atau ahmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamd dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.

Contoh bacaan:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

Innal hamdalillahi nahmaduhu wa nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalahu wa mayyudhlilfalaa haadiyalahu

2. Rukun Kedua: Shalawat kepada Nabi SAW
Shalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadzkan dengan jelas, paling tidak ada kata shalawat. Misalnya ushalli ‘ala Muhammad, atau as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai ala Muhammad.

Contoh bacaan:

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

Allahumma sholli wa sallam ‘alaa muhammadin wa ‘alaa alihii wa ash haabihi wa man tabi’ahum bi ihsaani ilaa yaumiddiin.

3. Rukun Ketiga: Washiyat untuk Taqwa
Yang dimaksud dengan washiyat ini adalah perintah atau ajakan atau anjuran untuk bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, washiyat ini adalah perintah untuk mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cukup dengan ajakan untuk mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, washiyat itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.
Lafadznya sendiri bisa lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat: “takutlah kalian kepada Allah”. Atau kalimat: “marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba yang taat”.

Contoh bacaan:

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna ilaa wa antum muslimuun

Ketiga rukun di atas harus terdapat dalam kedua khutbah Jumat itu.
4. Rukun Keempat: Membaca ayat Al-Quran pada salah satunya
Minimal satu kalimat dari ayat Al-Quran yang mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan yang belum lengkap pengertiannya. Maka tidak dikatakan sebagai pembacaan Al-Quran bila sekedar mengucapkan lafadz: “tsumma nazhar”.
Tentang tema ayatnya bebas saja, tidak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau larangan atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya.

Contoh bacaan:


فَاسْتبَقُِوا اْلخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونوُا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيرٌ

Fastabiqul khairooti ayna maa takuunuu ya’ tinikumullahu jamii’an innallaaha ‘alaa kulli syaiin qodiiru (QS. Al-Baqarah, 2 : 148)

أَمّا بَعْدُ

ammaa ba’du..

Selanjutnya berwasiat untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT, lalu mulai berkhutbah sesuai topiknya.
Memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun, atau ma’asyiral muslimin rahimakumullah, atau “sidang jum’at yang dirahmati Allah”.

……. isi khutbah pertama ………

Setelah di itu menutup khutbah pertama dengan do’a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat.

Contoh bacaan:


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

barakallahu lii wa lakum fill qur’aanil azhiim wa nafa’nii wa iyyaakum bima fiihi minal aayaati wa dzikril hakiim. Aquulu qowlii hadzaa wa astaghfirullaaha lii wa lakum wa lisaa iril muslimiina min kulli danbin fastaghfiruuhu innahu huwal ghafuurur rahiimu.

Lalu duduk sebentar untuk memberi kesempatan jamaah jum’at untuk beristighfar dan membaca shalawat secara perlahan.
Setelah itu, khatib kembali naik mimbar untuk memulai khutbah kedua. Dilakukan dengan diawali dengan bacaaan hamdallah dan diikuti dengan shalawat.

Contoh bacaan:
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ الصَّالِحِينَ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّابعد,

Innal hamdalillahi robbal’aalamiin wa asyhadu an laa ilaaha illahllaahu wa liyyash shalihiina wa asyhadu anna muhammadan khaatamul anbiyaai wal mursaliina allahumma shalli ‘alaa muhammadan wa ‘alaa aali muhammadin kamaa shollayta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.Wa barok ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali muhammadin kamaa baarokta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.
Ammaa ba’ad..

Selanjutnya di isi dengan khutbah baik berupa ringkasan, maupun hal-hal terkait dengan tema/isi khutbah pada khutbah pertama yang berupa washiyat taqwa.

……. isi khutbah kedua ………

5. Rukun Kelima: Doa untuk umat Islam di khutbah kedua
Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafaz yang doa yang intinya meminta kepada Allah kebaikan untuk umat Islam. Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat . Atau kalimat Allahumma ajirna minannar .

Contoh bacaan do’a penutup:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.

Allahummagh fir lilmuslimiina wal muslimaati, wal mu’miniina wal mu’minaatil ahyaa’I minhum wal amwaati, innaka samii’un qoriibun muhiibud da’waati.
Robbanaa laa tuaakhidznaa in nasiinaa aw akhtho’naa. Robbanaa walaa tahmil ‘alaynaa ishron kamaa halamtahuu ‘alalladziina min qoblinaa.Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi, wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina.
Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar. Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

Selanjutnya khatib turun dari mimbar yang langsung diikuti dengan iqamat untuk memulai shalat jum’at. Shalat jum’at dapat dilakukan dengan membaca surat al a’laa dan al ghasyiyyah, atau surat bisa juga surat al jum’ah, al kahfi atau yang lainnya.

Demikian bacaan khutbah semoga bermanfaat bagi kita semua.

[khutbah jumat haRus bahasa aRab?]

Sudah ada ketentuan bahwa saat khatib sedang berkhutbah, maka tidak boleh ada orang yang berbicara, menyela, berkomentar atau apapun pembicaraan lainnya. Meksipun tujuannya untuk menterjemahkan isi khutbah kepada orang yang tidak mengerti isinya.
Memang ada sedikit polemik di masa lalu tentang keharusan berkhutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kalangan bersikeras bahwa khutbah Jumat itu harus dilakukan dalam bahasa Arab. Namun sebagian lagi menolaknya.
Dapat pula di ambil jalan tengah yaitu mereka yang mewajibkan bahasa Arab dalam khutbah, sesungguhnya hanya mewajibkannya pada rukun khutbah saja. Tidak pada semua bagian khutbah. Di luar kelima rukun itu, boleh saja seorang khatib berbicara dalam bahasa yang dipahami oleh kaumnya. Bahkan kelima rukun tadi boleh diterjemahkan juga ke dalam bahasa mereka, asalkan bahasa Arabnya tetap dibaca.
Seorang khatib boleh menambahi khutbahnya dengan bahasa lainnya, asalkan pada kelima rukun itu dia menggunakan bahasa Arab, walau hanya sepotong saja.
[ingin bisa khutbah dan ceRamah]

Kemampuan, potensi, dukungan dan jerih payah apa saja yang dimiliki oleh umat Islam ini, bisa dan harus disumbangkan untuk dakwah, sesuai dengan daya dukung masing-masing.
Seorang dai, secara kauni seperti umumnya manusia lainnya, ia akan terus belajar dan berlatih. Dan secara syar’i, ia memang diwajibkan (bahkan dalam bahasa hadits: di-fardhu-kan) untuk menuntut ilmu, ilmu syar’i, ilmu kaun (alam), ilmu madani-hadhari (kemajuan-peradaban) dan pengembangan potensi.
Kalau selama ini Anda berkeinginan untuk bisa berceramah secara massal, berkhuthbah dan semacamnya, keinginan seperti ini adalah wajar dan bahkan Anda diperintahkan untuk mempelajarinya. Dan jika Anda telah mempelajarinya, berusaha secara maksimal, dan sampai wafat Antum tetap belum menguasainya, maka tanggung jawab Anda untuk belajar hal ini sudah terpenuhi, insya Allah dan insya Allah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan meminta pertanggungjawaban dari Anda.
Belajarlah mulai dari yang kecil dan sederhana. Misalnya, menyampaikan taushiyah (pesan) atau mau’izhah di hadapan teman-teman Anda, bisa 2 orang, 3 orang atau 5 orang dalam tempo 2-3 menit. Lalu, secara gradual, periodik dan terus menerus Anda melakukan peningkatan. Baik dari sisi tempo waktu yang Anda sampaikan, maupun dari sisi jumlah pendengar yang mengikuti taushiyah atau mau’izhah Anda itu.
Jaga kebersihan hati (tazkiyatun-nafs), khususnya yang terkait dengan ikhlash dan shidiq: Sebab, apa yang keluar dari hati yang ikhlash dan shidiq akan masuk dan diterima oleh hati para pendengarnya dan akan memberikan pengaruhnya di sana.
[menyusun khutbah jum'at]

Khutbah jum’at memiliki kedudukan penting dalam islam. Bagaimana tidak,karena ia merupakan penopang utama dalam penyebaran dak’wah islam di seluruh dunia. ia juga merupakan salah satu sarana penting guna menyampaikan pesan dan nasehat kepada orang lain atau suatu kaum. Hal ini sebagaimana kaidah yang ada dalam islam : “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran”.
Khutbah jumat dilakukan sebelum salat jum’at. Maka diantara syarat sahnya salat jum’at adalah khutbah, yang dilakukan saat waktu dzuhur. Dengan maksud tujuan pembelajaran dan pemberi peringatan atas segala ni’mat Allah swt. Semua ini adalah keutamaan islam yang slalu menjunjung tinggi peranan ilmu dan para ulama. Karena dengan ilmu kita mengetahui agama serta mengetahui hukum-hukumnya. Sehingga tidaklah seorang muslim melakukan sesuatu kecuali atas dasar ilmu.
Sesungguhnya tujuan utama dari khutbah juma’at adalah saling menasehati dalam kebaikan dan memberi peringatan, selain memberi peringatan juga memberi solusi atas problematika yang ada di tengah masyarakat. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Mereka berkhutbah di depan kaumnya. Menyeru mereka untuk senantiasa mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Ada 4 fese penyusunan khutbah: [1]. fase pemilihan judul. [2]. fase penyusunan kerangka pembicaraan. [3]. fase pemilihan dalil yang tepat sesuai dengan judul dan jalannya pembicaraan. [4]. fase untuk mulai berlatih atau mengaplikasikan apa yang telah di susun.
Aspek yang menjadi pertimbangan sebelum menentukan judul: [1]. Hendaknya seorang khatib melihat standar akal pikiran masyarkat setempat. [2]. Hendaknya seorang khatib memperhatikan psikologi para pendengar.
Kerangka pembicaraan dilakukan agar pembahasan khutbah lebih terfokus dan tidak terlalu melebar. Sehingga pembicaraan tidak keluar dari judul yang telah ditentukan. Dan semua unsur-unsur yang ada dalam kerangka pembicaraan berhubungan satu sama yang lainnya tidak terpisah.
[pengeRtian shalat jum'at, hukum, syaRat, ketentuan, hikmah dan sunah sOlat jumat]

Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat: [1]. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. [2]. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang. [3]. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut : [1]. Mengucapkan hamdalah. [2]. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW. [3]. Mengucapkan dua kalimat syahadat. [4]. Memberikan nasihat kepada para jamaah. [5]. Membaca ayat-ayat suci Al-quran. [6]. Membaca doa.
Sunat-Sunat Shalat Jumat: [1]. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at. [2]. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku. [3]. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol). [4]. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat. [5]. Memperbanyak doa dan salawat nabi. [6]. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
[khatib jumat banyak salahnya]

Imam yang memimpin shalat haruslah bacaan ayat-ayatnya baik dan benar. Jika bacaannya keliru khususnya Alfatihah maka shalat yang dipimpinnya menjadi tidak sah. Dalam hal ini, makmun harus mengulangi shalat Jumatnya – atau melakukan shalat dzuhur sebagai pengganti shalat Jumat yang tidak sah itu.
[bab shalat jum'at]

Menghadiri Shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, kecuali lima orang: budak, perempuan, anak kecil, orang sakit, dan musafir.
Khutbah Jum’at, hukumnya wajib, karena Rasulullah selalu mengerjakannya dan tidak pernah meninggalkannya.
Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila berkhutbah, merah kedua matanya, meninggi suaranya, dan memuncak marahnya, lalu beliau menyampaikan peringatan kepada pasukan, yaitu beliau berkata “Awas musuh akan menyerang kalian pada waktu pagi, dan awas musuh akan menyerbu kalian diwaktu sore!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir 4711, irwa-ul Ghalil no: 611, Muslim II: 591 no: 866, dan Tirmidzi II: 9 no: 505).
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad I: 116, menulis, “Barang siapa memperhatikan semua khutbah Nabi saw. dan khutbah para sahabatnya, niscaya ia mendapatkan materi khutbah meliputi penjelasan perihal hidayah, tauhid, sifat-sifat Rabb Jalla Jalaluh prinsip-prinsip pokok keimanan, dakwah (seruan) kepada Allah, dan penyebutan tentang aneka ragam nikmat Allah Ta’ala yang menjadikan dia cinta kepada makhluk-Nya dan hari-hari yang membuat mereka takut kepada adzab-Nya, menyuruh jama’ah agar senantiasa mengingat-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya yang menyebabkan mereka cinta dengan tulus kepada-Nya. Kemudian para sahabat menjelaskan tentang keagungan Allah, sifat dan nama-Nya yang menyebabkan dia cinta kepada akhluk-Nya, dan menyuruh jama’ah agar ta’at kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya dan mengingat-Nya yang membuat mereka dicintai oleh-Nya sehingga seluruh jama’ah ketika meninggalkan masjid mereka telah berada dalam keadaaan cinta kepada Allah dan Allah pun cinta kepada mereka. Dan adalah Rasulullah senantiasa berkhutbah dengan menyebut banyak ayat Qur’an, terutama surah Qaaf.”
Shalat jum’at adalah dua raka’at secara berjama’ah. Karenanya, siapa saja yang tidak mengerjakan shalat jama’ah jum’ah dari kalangan orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’ah, atau berasal dari kalangan orang-orang yang berudzur, maka hendaklah mereka shalat dzuhur empat raka’at. Dan barang siapa yang mendapatkan satu raka’at dengan (bersama) Imam berarti ia mendapat shalat jama’ah jum’at.
Barangsiapa datang ke masjid sebelum khatib berkhutbah, hendaklah ia shalat sunnah (intidzar) semampunya, tanpa ada batasnya sampai khatib hendak naik mimbar. Adapun shalat sunnah yang dewasa ini dikenal dengan sebutan shalat sunnah qabliyah jum’at, maka termasuk amalan yang sama sekali tidak mendasar yang kuat. Adapun sesudahnya, maka kalau mau shalatlah empat raka’at atau dua raka’at.
Yang Dianjurkan Dibaca Pada Hari Jum’at: [1]. Memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi saw. [2]. Membaca Surat al-Kahfi. [3]. Memperbanyak Do’a Demi Mendambakan Ketepatannya Dengan Waktu Istijabah (terkabul).
Apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka gugur kewajiban shalat jama’ah Jum’at dan orang-orang yang sudah mengerjakan shalat jama’ah.’”(Fiqhus Sunnah I : 267)
Dari Abul Ja’d adh-Dhamri r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena mengabaikannya, niscaya Allah menutup hatinya.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 923, Abu Daud III: 377 no: 1039, Tirmidzi II: 5 no: 498, Nasa’i III: 88 dan Ibnu Majah I:357no: 1125).
[gROgi, jamaah tertawa]

Para ulama semua mazhab sepakat bahwa paling tidak untuk sebuah khutbah jumat itu harus terpenuhi 5 rukun. Dan kelima rukun tersebut harus diucapkan dalam bahasa arab. Selebihnya, boleh digunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa hadirin yang ikut dalam khutbah tersebut. Seandainya salah satu dari kellima hal itu tidak terpenuhi, maka khutbah itu tidak sah. Maka jamaah diwajibkan untuk melakukan shalat Dzhuhur dengan 4 rakaat, atau harus ada seseorang yang menyelematkan khutbah itu dengan memenuhi kelima rukunnya.
Khusus rukun yang keempat dan kelima, ada perlakuan khusus. Untuk khutbah yang pertama, rukunnya adalah nomor 1, 2, 3 dan 4. Untuk khutbah kedua, rukunnya adalah nomor 1, 2, 3 dan 5. Berarti pada khutbah pertama, tidak perlu mengucapkan doa. Sedangkan pada khutbah kedua tidak perlu membaca lafadz ayat Al-Quran.
Takmir masjid harus tanggap dalam mengantisipasi keadaan. Seandainya terjadi kasus di mana khatib tidak mampu menyemprnakan rukunnya, entah karena tidak tahu atau karena tidak mampu mengucapkan dalam bahasa arab yang benar, maka harus ada seorang dari takmir yang ‘menyelamatkan’. Sesudahnya khatib turun mimbar, dia harus naik mimbar dan berkhutbah dua kali, cukup rukunnya saja dan bisa dilakukan dalam satu helaan nafas.
[adzan jumat dua kali]

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali. Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan.
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.
Terdapat perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.

Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi-


Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi-

Merupakan suatu kenikmatan tersendiri, bagi sesorang ketika bisa belajar tentang ilmu-ilmu ushul (dasar) dari agama ini. Banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari pelajaran-pelajaran tersebut. Hendaklah seorang tholibul ilmi untuk bersemangat dalam belajar ilmu ini. Salah satu pembahasan dalam pelajaran ushul fiqh adalah pembahasan makna majaz dan haqiqi.

Makna haqiqi dan majazi

Dalam ilmu bahasa, kita mengenal adanya makna kata haqiqi dan makna majaz dalam suatu kata tertentu. Semisal kita katakan sebuah kata tertentu dan kita ambil contoh kata “singa”. Dari kata singa ini kita bisa pahami dua makna. Secara haqiqi singa berarti salah satu jenis hewan buas, sebagaimana yang sudah dipahami oleh kita. Namun secara majaz, kata “singa” bisa kita artikan sebagai orang laki-laki yang pemberani.

Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Sedangkan makna majaz adalah kata yang digunakan pada makna yang bukan makna aslinya. Semisal contoh yang telah kami sampaikan di atas.

Sekilas tentang keberadaan majaz dalam bahasa, khususnya bahasa Arab, adalah suatu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Ada ulama yang mengingkari keberadaan majaz secara mutlak. Para ulama yang berpendapat demikian, mengingkari keberadaan majaz, baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahumallahu. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115). Bahkan Ibnul Qayim mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang.[1]

Ulama lain, ada yang menetapkan bahwa ada majaz dalam bahasa arab, tetapi tidak ada majaz dalam Al Quran. Ada juga yang mengatakan bahwa ada majaz dalam bahasa Al Quran dengan memberi batasan, tidak ada majaz pada ayat-ayat yang menunjukkan tentang sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala dan ada majaz pada ayat-ayat selain itu.

‘Ala kuli haal, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullahu, bahwa perbedaan pendapat para ulama tersebut adalah sebatas perbedaan lafadz semata, dan bukan perbedaan ushuliyah, tidak ada faidah untuk mempermasalahkan masalah ini. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115)

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pemahaman tidak adanya majaz pada ayat-ayat yang menunjukkan sifat-sifat Allah adalah ijma’ ahlis sunnah, yang menyelisihi firqah mu’tazilah.

Berkaitan dengan pembahasan tentang makna haqiqi dan makna majaz, terdapat suatu kaidah : “Hukum asal suatu kata adalah dimaknai dengan makna haqiqi, bukan majazi”. Artinya: tidaklah kita memaknai suatu kata dengan makna majaz, kecuali terdapat dalil yang shohih dan alasan yang kuat sehingga bisa menghalangi kita untuk memaknai kata tersebut dengan makna aslinya

Definisi Majaz

Pada penjelasan di atas sudah dijelaskan secara ringkas tentang definisi majaz. Berikut akan kami bawakan definisi majaz yang lebih lengkap.

المجاز هو نقل الكلام من الوضع الأول إلى الوضع الثاني للقرينة مع وجود العلقة

“Majaz adalah berpindahnya makna perkataan dari makna pertama menjadi makna kedua, karena adanya qarinah dan adanya ‘alaqah”

Dari definisi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa pada majaz terdapat 4 rukun, yaitu :

1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna pertama)
2. Al Wadh’u Ats Tsani (makna kedua)
3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)
4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua)

Semisal kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang”

Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz :

- Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas.
- Makna kedua : makna lelaki yang pemberani.
- Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang.
- Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian.

Maka berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki ‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz.

Kesesatan Mu’tazilah

Firqah Mu’tazilah telah sesat pada penggunaan majaz dalam aqidah mereka, dimana mereka menggunakan majaz ketika menafsirkan ayat-ayat tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah berfirman :

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman, Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada (Adam), yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku, Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk golongan yang (lebih) tinggi. (Shad : 75)”

Mereka (mu’tazilah dan yang sejalan dengan meraka), memaknai kata “Tangan Allah” dengan “Kekuatan Allah”. Mereka mengatakan bahwa ada ‘alaqah (hubungan) antara kata “tangan” dan “kekuatan”. Dan mereka juga menetapkan adanya qarinah (penghalang untk memaknai makna haqiqi), yaitu mereka takut untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, ketika kata tersebut dimaknai dengan makna haqiqi. Sehingga lengkaplah syarat majaz yang mereka tetapkan, dan terpenuhilah syarat majaz dalam penafsiran meraka.

Maka kita katakan : Memang antara makna tangan dan makna kekuatan memiliki hubungan (Al ‘Alaqah) dan hubungan kedua kata ini lazim digunakan. Akan tetapi qarinah yang mereka jadikan sebagai alasan tahriif (penyimpangan makna) mereka adalah qarinah yang tidak bisa diterima. Mengapa? Karena menetapkan adanya Tangan bagi Allah subhanahu wa ta’ala, bukan berarti menyamakan Tangan Allah dengan tangan makluk-Nya. Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan hakikat.

Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bagi kita kesesatan orang mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Mereka telah menetapkan majaz bagi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, padahal pada majaz yang mereka tetapkan tidak terpenuhi syarat-syarat majaz.

Definisi Haqiqi

Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :

1. Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة) berarti doa/ad du’aau (الدعاء).
2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة), berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, demikian makna sholat secara syariat.
3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang digunakan pada makna yanga sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al waladu (الولد) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki-laki.

Maka dari pembagian jenis-jenis haqiqi ini, dapat kita ambil suatu faidah. Hendaklah kita meletakkan makna-makna tersebut pada tempatnya masing-masing. Artinya jika kita sedang berbicara dalam permasalahan bahasa, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara bahasa. Jika kita sedang berbicara tentang masalah agama/syari’at, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara syari’at. Begitu pula dengan haqiqi urfiyah.

· Mengapa Hal Ini Perlu Dibahas ???
Ketahuilah, bahwa permasalahan ini (yaitu penempatan makna jenis-jenis haqiqi) merupakan titik kesalahan orang-orang liberal yang menyebabkan mereka jatuh kepada kekufuran. Wal‘iyadzubillah.
Orang liberal tidak menempatkan makna-makna haqiqi tersebut pada tempatnya masing-masing, sesuai konteks pembicaraan. Ketika mereka berbicara pada konteks pembicaraan syari’at, mereka mengartikan kata Al Islam (الإسلام), dengan makna al islam secara bahasa yang artinya adalah pasrah dan berserah diri. Maka setiap orang yang pasrah dan berserah diri sudah dikatakan sebagai orang yang Islam, baik dia orang Nashrani, Yahudi, penyembah berhala atau yang lainnya, Wal’iyadzubillah. Dan jelas ini adalah bentuk kekafiran berdasarkan ijma’ para ulama, dimana mereka tidak mengakui kekafiran orang-orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasulullah. Nas’alullaha assalamata min afkaarihim.

Demikianlah pembahasan tentang makna-makna majaz dan haqiqi. Semoga bisa memberi manfaat kepada kita semua. Allahu ta’ala a’laamu bishowab, wal ilmu ‘indallahi.

Abu Fauzan Hanif Nur Fauzi,

Jumat, 09 Juli 2010

Hukum Adat


LATAR BELAKANG
Banyak orang berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum peninggalan masa lampau yang selalu berorientasi pada masa lalu, sehingga kurang cocok dengan kehidupan modern seperti sekarang ini, yang memasuki era globalisasi. Pendapat demikian, barangkali, tidak keliru tapi juga tidak seluruhnya benar. Dikatakan benar, karena diakui bahwa hukum adat bersifat tradisional, sementara kehidupan pada era globalisasi menuntut segala sesuatu yang bersifat modern. Tidak seluruhnya benar, karena ternyata terdapat beberapa peraturan perundang-undangan terbentuk, yang diintroduksi dari hukum adat. Selain itu, hukum adat juga dinamis sesuai dengan dinamika manusia yang menganut hukum adat tersebut.
Dalam lapangan hukum, substansi pembahasan bukan terletak pada 'apakah hukum itu tradisional karena warisan masa lampau atau bukan', melainkan pada makna keadilan yang terkandung dalam hukum tersebut. Acap kali dalam membahas masalah hukum, kita terjebak pada pemahaman hukum dalam arti prosedural, bukan hukum dalam arti substantif-yang memenuhi rasa keadilan. Sehingga tidak disadari, terjadi pereduksian makna dari hukum secara substantif (yang memenuhi rasa keadilan) menjadi hukum secara prosedural. Terutama ketika kehidupan manusia memasuki era globalisasi yang bercirikan modern, sekaligus sarat dengan tantangan dan persoalan kontemporer.
Globalisasi, pada umumnya orang memahaminya adalah adanya proses pada kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang meliputi seluruh bola dunia. Proses ini dimungkinkan dan dipermudah oleh adanya kemajuan dalam teknologi khususnya teknologi komunikasi dan transportasi . Pemahaman demikian tidak jauh beda dengan pemahaman globalisasi sebagai suatu proses yang merujuk pada “a single interdependent world in which capital, technology, people, ideas, and cultural influences flow across borders ...” . Dengan pemahaman yang demikian, berarti kita ini berangsur-angsur akan hidup dalam satu dunia (one world) di mana individu, kelompok dan bangsa (nation) menjadi lebih saling tergantung atau “interdependent” . Dalam masyarakat umat manusia yang global itu akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dengan sebelumnya . Dan yang demikian juga merupakan sebuah potret kehidupan sosial yang tidak dijumpai sebelumnya.
Proses globalisasi itu pada perjalanan berikutnya ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideology dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Proses globalisasi dengan paham kapitalisme itu, kemudian menemukan sebuah "teori" yang terpenting dari perjalanan kapitalisme, yaitu "modernisasi" dan "pembangunan".
Teori modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan sebuah gagasan tentang perubahan sosial . Modernisasi sebagai gerakan sosial ini bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi ke modern). Selain itu, modernisasi juga berwatak kompleks (melalui banyak cara dan disiplin ilmu), sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui melalui proses yang bertahap untuk menuju suatu homogenisasi (convergensi) dan bersifat progresif . Maka konsep modernisasi meliputi bidang-bidang yang majemuk, ada yang disebut modernisasi politik, modernisasi ekonomi, modernisasi teknologi, modernisasi pendidikan, termasuk moderniasasi hukum, dan sebagainya. Namun bidang-bidang yang majemuk itu sebenarnya dalam rangka menuju homogenisasi.

Singkatnya, modernisasi adalah menyangkut (orientasi) kehidupan yang lebih baik, dimana ilmu pengetahuan modern memainkan peranan penting. Dengan demikian Globalisasi ini bukanlah semata-mata suatu fenomena ekonomi (banyak yang merujuk pada peranan perusahaan-perusahaan raksasa transnasional-TNCs), tetapi merupakan gejala yang dibentuk oleh pengaruh bersama faktor-faktor politik, sosial, kultural dan ekonomi .
Dalam konteks yang demikian, rasionalisme dan empirisisme menjadi pendekatan yang dominan yang diterapkan dalam menghadapi atau menyelesaikan setiap persoalan. Segala sesuatu yang tidak rasional dan tidak empirik dianggap sebagai entitas yang tidak ada dalam kehidupan masyarakat. Rasionalisme dan empirisisme selanjutnya menjadi tolok ukur kebenaran. Sebagai contoh, pendekatan rasional dalam segenap kebijakan pemerintah dan pembangunan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan. Begitu pula pemerintah menganggap kebijakan yang tidak didasarkan pada ketentuan empiris, akan menghambat mobilitas faktor-faktor pembangunan.
Selain hal tersebut diatas, harus diakui bahwa globalisasi dengan modernisasinya dan dengan sekian banyak teori yang mendukungnya, ternyata memunculkan permasalahan kemanusiaan: moral, etika, kesusilaan, HAM dan lain-lain. Hal ini terjadi, antara lain, karena globalisasi, modernisme dan rasionalisme, cenderung mengabaikan "nurani", sehingga "pembangunan" menafikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki nurani, harkat dan martabat yang tidak bisa diukur dengan materi. Dan sehingga pembangunan justru menimbulkan permasalahan kemanusiaan disana-sini.
Globalisasi, pada perjalanannya juga membutuhkan dan akan menjadikan hukum sebagai alat untuk memuluskan sekian banyak “produk” globalisasi dan modernisasi. Paradigma hukum yang match dengan kebutuhan tersebut adalah “hukum positif”. Hukum positif, melalui azas legalitasnya mengharuskan adanya jaminan kepastian, dan kepastian itu hanya bisa didapat melalui pemikiran-pemikiran yang rasional dan bukti-bukti yang empiric.

PERMASALAHAN
Pemaparan diatas menggambarkan, bahwasanya globalisasi dengan ciri modern, yang menuntut serba rasional dan empiric akan bertentangan dengan segala sesuatu yang tradisional. Sementara hukum adat (diakui atau tidak) adalah bersifat tradisional (terlepas dari perkembangannya) dan merupakan hukum yang ada (hidup) pada masa dahulu kala, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.
Atas dasar hal tersebut, terdapat permasalahan yang memerlukan pembahasan dalam tulisan ini yaitu : Apakah hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan globalisasi?

PEMBAHASAN
Pelembagaan Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat menurut Van Vollenhoven adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”) . Sedangkan ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai berikut: "Hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat menjadi salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum)" .
Tiap-tiap hukum merupakan sebuah sistem yaitu “peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan kesatuan alam pikiran”. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar–dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, adalah sebagai salah satu bagian dari hukum positif yang secara konstitusional “diakui” oleh Negara. Istilah diakui (pengakuan) mengandung makna atau pengertian yang berbeda dengan istilah ditetapkan (penetapan).
Berlakunya hukum adat di Indonesia, bukanlah karena ditetapkan oleh Negara, sebab penetapan diperlukan apabila hukum adat merupakan suatu system hukum yang baru yang belum ada sebelumnya. Tetapi kiranya harus diketahui bahwa keberadaan hukum adat di Nusantara ini telah ada sebelum Republik ini berdiri. Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang – undang”. Ketentuan Ps. 18 B(2) UUD’45 tersebut diatas, dapat dipahami mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
• Negara mengakui dan menghormati hukum adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar mengakui kebenaran dari hukum adat tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula berperan aktif dalam proses pembangunan hukum adat, misalnya pemberdayaan kembali lembaga-lembaga hukum adat yang telah lama memudar sebagai akibat dari dominasi sistem perundang - undangan dan sistem ketatanegaraan kita di masa lalu. Negara mengakui eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, ini berarti Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu berperan aktif untuk memberdayakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian penting dari komponen bangsa dan menghormati serta memelihara segala ciri has yang ada sebagai bagian dari asset bangsa.
• Pembangunan hukum dan pemberdayaan lembaga-lembaga adat harus memberikan dampak positip sehingga mampu berpungsi dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat menangkal segala dampak negatip dari arus globalisasi.
• Kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat memelihara dan menggunakan hak-hak tradisionalnya dengan tetap menyadari keberadaannya dalam bingkai Negara Kesatuan RI.
Di dalam Undang-Undang No. 25 Th. 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) ditentukan bahwa garis kebijaksanaan pembangunan dibidang “Kebudayaan, Kesenian dan Parawisata” antara lain sbb:
1. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
2. Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas prilaku kehidupan ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kwalitas berbudaya masyarakat.
Kiranya dimaklumi bahwa Pembangunan nasional hanya mungkin dilakukan dengan benar dan baik bila bertumpu kuat pada hakikat dari pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembangunan hukum nasional, menjadi penting mengkaji aktualitas, relevansinya, mempelajari maupun meneliti perkembangan hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang terdapat di Indonesia pada umumnya. Hukum Adat adalah bagian penting dari strategi kebudayaan, maka dengan memahami hukum adat akan membantu mengembangkan lebih jauh nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam hukum adat mereka. Oleh karena itu diperlukan pengamatan yang cermat dan seksama atas nilai-nilai, perkembangan nilai-nilai, norma-norma yang tumbuh, dan berkembang.
Sehingga pemahaman mengenai eksistensi hukum adat dalam hal ini secara substantif, bukan terletak pada apakah hukum adat tersebut telah ditetapkan oleh Negara atau tidak. Lebih dari itu adalah, nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis. Moh. Koesnoe dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif) tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan (menurut penulis termasuk ‘ungkapan–ungkapan simbolik bermakna’) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran .
Jadi hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain (Vollenhoven, Ter Haar, Kusumadi Pujosewojo) yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum (hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya akan membawa kekecewaan didalam menentukan apa yang hukum didalam adat . Sejalan dengan pendapat Koesnoe, Haryono mengatakan bahwa dikenal beberapa ciri dari Hukum Adat dan salah satu ciri penting adalah asas-asas hukum adat dirumuskan dalam bentuk seloka, pribahasa (perumpamaan) ataupun cerita . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturan-aturan yang bersifat ‘non-statutair’, adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.

Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralisme
Masyarakat adat telah menjadi salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan selama tiga dekade ini. Walaupun masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia, dalam pembuatan kebijakan nasional eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasi, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat secara gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "perambah hutan", "masyarakat primitif", dan sebagainya. Pengkategorian dan pendefinisian semacam itu membawa implikasi pada percepatan penghancuran sistem dan pola masyarakat adat.
Dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: "Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, me-ngembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. 88 Selama ini para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia menganggap nilai-nilai budaya adat sebagai keterbelakangan. Bertolak dari anggapan tersebut, berkembanglah sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-budaya. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian digantikan dengan nilai-nilai lain, dalam hal ini "nilai-nilai modern (barat)", agar pembangunan dapat mencapai tujuan utamanya: kesejahteraan masyarakat.
Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produk-produk hukum itu bersifat sentralistik dan seragam. Misalnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa. Aturan tersebut menjadi awal disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan "memisahkan tokoh" di kalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi penguasa tunggal yang memperhatikan kepentingan pemerintah di atasnya. Ia bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Di pihak lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan masyarakat.
Buntut dari dualisme kepemimpinan ini adalah dengan tersingkirnya kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat dipercaya untuk mengatur pelaksanaan upacara adat. Upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada ketua adat itu bukan merupakan bukti penghormatan dari masyarakat adat, melainkan untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi adat itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus marjinalisasi menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi.

Pentingnya Hukum Adat
Kita semua tahu bahwa hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional.
Sebaliknya penerapan hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, dengan kata lain menggunakan pola pikir adat, demikian pula rakyat Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan atau bersifat komunal dan religio-magis.
Kondisi di atas mempunyai kontribusi terhadap kesemrawutan hukum, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal seharusnya hukum yang baik itu menurut ahli hukum perlu memenuhi tiga syarat yaitu : filosofis, yuridis dan sosiologis, bahkan mungkin perlu ditambah harus mengakar dan bersumber pada budaya bangsa sendiri.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat. Jadi hukum nasional yang harus dapat diterima oleh semua pihak, maka itu perlu dirumuskan dalam rumusan yang bersifat umum. Hal-hal yang bersifat operasional harus diserahkan pengurusannya atau penyelesaiannya berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masing-masing suku yang terdapat di Indonesia. Kepada setiap suku harus diberi kewenangan untuk menjabarkan lebih lanjut apa yang diatur dalam ketentuan umum yang bersifat nasional tersebut.

Keterkaitan Hukum Adat dengan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Hak seharusnya kata yang tidak asing bagi umat manusia, di benua manapun. Karena "hak" merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya. "Hak" telah terpatri sejak manusia lahir. "Hak" memang untuk siapa saja. Di antaranya hak yang bernama kemerdekaan, yang bernama hak makhluk dan harkat martabat kemanusiaan, hak yang bernama cinta kasih sesama, hak yang bernama indahnya kesejahteraan, baik yang bernama keterbukaan, dan kelapangan, hak yang bernama bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tenteram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk menolak, hak untuk me-minta, hak untuk berbicara, hak untuk diam, hak untuk berani, hak untuk menghindar, hak untuk berkumpul, hak untuk dilindungi, hak untuk melindungi dan sebagainya.
Pada perkembangannya, "hak" mengalami perubahan, distorsi makna dan fungsi, hal ini disebabkan berbagai kepentingan kekuasaan manusia yang menyangkut interaksi antarmanusia sendiri, dan manusia dengan makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya di sepanjang sejarah peradaban manusia yang teraktualisasi dalam sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam sejarah modern, HAM berkembang pesat menjadi pembicaraan internasional sejak PD II di pertengahan abad ke-20. Sejak itu HAM menjadi bahan pembicaraan yang luar biasa, baik dalam konsep maupun dalam jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya. Dari istilah Fundamental Human Right (yang secara harfiah berarti Hak Asasi Manusia), sekarang kita lebih mengenal istilah human rights. Apa yang dulu dikenal sebagai the right of man di abad ke-18, dalam perkembangnnya telah bergeser men-jadi human rights. Di akhir abad ke-20 ini hampir seluruh dunia, masalah hak asasi manusia diangkat sebagi hal penting dalam negara demokrasi. Hak asasi manusia dianggap sebagai konsep etika modern dengan gagasan intinya adalah: adanya tuntutan moral yang menyangkut moral itu secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. Jadi HAM bukan hanya suatu konsep, karena pada dasarnya HAM mengarah pada penghormatan terhadap kemanusiaan.
Definisi hak asasi manusia yang dimuat dalam piagam HAM yang meupakan bagian yang tak terpisahkan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang HAM adalah : "Hak Asasi manusia adalah hak-hak dasar yang universal yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun".
HAM dapat digolongkan terdiri atas:
1. Hak individu yang merupakan hak-hak yang dimiliki masing-masing orang.
2. Hak kolektif, yakni masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi kebebasan yang dilanggar.
3. Hak sipil dan politik (dimuat dalam international covenant on civil and political rights dan terdiri dari 27 pasal), antara lain memuat hak-hak yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia seperti: a). Hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi yang kebebasannya dilanggar. b). Hak atas hidup, hak atas kebebasan dan keaman-an pribadi, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. c). Hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan hak politik, hak seseorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebe-basaam berekspresi.
4. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (dimuat dalam international covenant on economic, sosial, and cultural rights dan terdiri dari 13 pasal) antara lain memuat hak untuk menikmati kebebas-an dari rasa ketakutan dan kemiskinan, larangan atas diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati ekonomi, sosial, dan budaya; hak untuk mendapatkan peker-jaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perem-puan; hak untuk membentuk serikat tani/buruh, hak untuk mogok, hak atas pendidikan, hak untuk bebas dari kelaparan.
HAM bersifat universal, yang berarti bahwa seseorang berhak atas hak-hak tersebut karena ia adalah manusia. Jadi setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu, dan merupakan sarana etis dan hukum untuk melin-dungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan yang menin-das hak itu dalam masyarakat modern. Deklarasi Wina (1993) menyebutkan adalah kewajiban negara untuk mene-gakkan HAM dan menganjurkan peme-rintah-pemerintah untuk menegakkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan instrumen HAM inilah yang disebut sebagai ratifikasi.
Dalam konteks negara modern, HAM telah menjadi alat anggota masyarakat untuk menghadapi kekuasaan dominan dan cenderung menindas (seperti aparatus atau alat-alat negara baik birokrasi sipil maupun militer). Soal HAM memang berkaitan erat dengan soal demokrasi. Justru, di negara-negara demokrasi inilah HAM itu mendapat perlindungan yang paling kuat. Dengan adanya parlemen yang efektif, kehakiman independen, partai-partai politik yang mapan, lembaga pers yang bebas dan sebagainya, maka sama sekali tidak mudah bagi pemerintah untuk melanggar hak-hak asasi rakyatnya.
Dalam era reformasi kita temukan beberapa ketentuan MPR yang secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap hukum adat antara lain:
1. TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini menyatakan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindingi selaras dengan perkembangan jaman. Dengan adanya penegasan ini, maka hak-hak dari masyarakat adat yang ada (masyarakat tradisional) ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati. Pemaknaan terhadap ketentuan ini lebih jauh perlu dikaitkan dengan pasal 18 B (2) dan pasal 28 1 (3) UUD 1945 setelah di amandemen.
• Pasal 18 B (2) UUD 45: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan RI.
• Pasal 28 1 (3) UUD 45: Identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 6 secara tegas menyatakan: a). Dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. b). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa Hak Adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

KESIMPULAN
Hukum adat merupakan hukum yang hidup, secara kuat dan mengakat ditengah-tengah masyarakat. Eksistensi hukum adat ini, berupa nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis, sehingga walaupun hukum adat tersebut tidak ditetapkan oleh Negara (positifisasi), tetap berlaku ditengah-tengah masyarakat. Oleh Karena itu, hukum adat sebagai hukum yang berlaku tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran, sehingga hukum adat lebih menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan (hukum positif) yang dalam pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan kompleksitas persoalan globalisasi. Sebab hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dan tuntutan masyarakat sebenarnya adalah kebenaran dan keadilan, bukan berlakunya hukum secara prosedural.

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya