Cari Blog Ini

Rabu, 23 Juni 2010

Sokrates dan Percakapan Dialektik


Sokrates dan Percakapan Dialektik
Kali ini kita akan membahas model Dialektika yang diungkapkan masih oleh salah satu filsuf terkenal dari masa Yunani Kuno, yaitu Sokrates dari Athena. Sokrates terkenal memang bukan karena metode Dialektika. Ia menjadi sangat terkenal karena ia memilih minum racun untuk mempertahankan prinsipnya dalam pengadilan kota Athena. Namun, sebenarnya, peristiwa ini terjadi justru sebagai akibat langsung dari metode Dialektika yang ia pakai. Kenapa demikian?

Metode Dialektika Sokrates agak sedikit berbeda dengan pola yang dipakai oleh Zeno. Ini karena Sokrates memang memaksudkan Dialektika justru pada asal katanya, yaitu bercakap-cakap atau berdialog. Ya, Sokrates memang adalah orang yang senang bercakap dengan orang lain yang bertemu dengannya di sepanjang jalan kota Athena. Ia selalu mengajak mereka diskusi untuk sesuatu yang ia anggap penting.

Tapi, tentu saja percakapan model diskusi yang dilakukan oleh Sokrates memang tidak selamanya disambut hangat. Apalagi bila dipandang dari kacamata kaum Sofis. Mereka ini adalah rival Sokrates. Ini karena kaum Sofis adalah sekelompok orang yang justru mengambil keuntungan dari masyarakat melalui kecakapannya berorasi atau berpidato. Nah, seringkali kaum Sofis ini dibuat jengkel oleh Sokrates karena mereka merasa dipermalukan di depan banyak orang dengan metode Dialektika. Lalu, seperti apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sokrates dengan Dialektika ini?

Berikut adalah ilustrasi yang dibuat untuk memberikan gambaran seperti apa kiranya metode Dialektika yang dipergunakan oleh Sokrates.
Suatu hari, Sokrates bertemu dengan Meno, sahabat lamanya, di kios ikan pasar Athena. Begitu senangnya, sehingga mereka lama berpelukan. Sokrates kemudian mengajak Meno untuk rehat di sebuah emperan rumah dekat pasar sambil sekaligus berteduh.
"Apa yang sedang kau lakukan saat ini, wahai Meno saudaraku?"
"Aku sedang menjajagi untuk membuka kios usaha di Megara, Sokrates. Makanya aku berkunjung ke Athena untuk melihat bagaimana mereka mengelola kiosnya dan barang-barang apa saja yang dapat ku ambil dari sini."
"Oh begitu. Bukankah engkau sudah punya ladang gandum yang begitu luas dari ayahmu? Apa itu tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhanmu?"
"Tidak Sokrates. Itu belum cukup bagiku. Aku ingin lebih dari ayahku. Ingin seperti Kranos, saudagar terkaya di Megara. Dia hidup sangat senang dengan semua kemewahan yang ia punya."
"Hidup sangat senang? Bisa kau berikan keterangan yang lebih jelas lagi wahai Meno?"
"Kau memang tidak tahu apa artinya hidup mewah Sokrates. Kranos itu punya segala-galanya. Budak yang ia punya lebih dari 40 orang. Perempuan pun suka padanya. Tidak kurang dari belasan perempuan hilir mudik datang ke rumah Kranos tiap harinya. Merayu untuk menjadi istrinya. Rumah itu amat megah. Berdiri kokoh dengan tiang granit dan lantai batu pualam. Tidak cukup sampai di situ, ia, Kranos, juga memiliki 4 kereta dan 10 ekor kuda. Itu hebat Sokrates. Itu baru namanya hidup."
"Terus, apa hubungannya antara hidup sangat senang dan hebat? Apakah kalau kita hidup dengan hebat maka akan hidup dengan sangat senang?"
"Itu betul Sokrates. Kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Makanya aku datang jauh-jauh ke Athena agar bisa belajar dan mendapatkan pengetahuan yang lebih daripada Kranos. Aku akan menjadi lebih hebat dari Kranos tentunya."
Di tengah percakapan ini, seorang anak kecil bersama ibunya lewat di depan mereka. Anak itu sangat senang sekali karena ibunya membelikan ia permen gula. Ia jalan berjingkat-jingkat kecil dengan satu tangan menggenggam permen gula dan tangan lainnya memegang tangan si ibu.
"Kau lihat anak kecil itu wahai Meno?"
"Ya Sokrates. Memangnya ada apa?"
"Tadi anak kecil itu begitu senangnya. Tidakkah itu juga hebat Meno?"
"Hebat apanya Sokrates? Menurutku, itu wajar saja. Setiap anak yang diberi permen gula tentu akan merasa sangat senang."
"Jadi, kau menganggap kalau hebat itu tidak identik dengan rasa senang?"
"Maksudmu apa Sokrates?"
"Tadi kau mengatakan kita akan hidup sangat senang kalau kita hidup dengan hebat. Bukankah itu sama dengan mengatakan bahwa rasa senang itu identik dengan hebat? Artinya, kalau kita hidup dengan hebat, itu akan membuat kita hidup senang. Bukankah begitu wahai Meno sahabatku?"
Meno bingung dengan pertanyaan dan kata-kata Sokrates. Ia mulai kehilangan kata-kata.
"Iya, mungkin, Sokrates."
"Kenapa mungkin? Kalau rasa senang itu identik dengan hebat, maka anak kecil yang tadi mendapat permen gula itu pun bisa kita bilang hebat Meno. Hanya dengan sebuah permen gula yang kecil, ia bisa merasa sangat senang."
Meno akhirnya tak mampu berkata-kata. Ia merasa terpojok dengan ucapan Sokrates. Hanya dengan contoh kecil saja, Sokrates telah membuat lamunannya yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi sia-sia.
"Aku tidak melarangmu menjadi hebat atau melebihi kehebatannya Kranos, wahai Meno. Aku ingin kamu menentukan tujuan hidupmu menjadi hebat bukan semata-mata karena melihat orang lain."
Setelah itu, Sokrates menepuk pundak Meno, lalu mengajaknya pergi bertandang ke rumahnya untuk sekadar bersantap ala kadarnya. Meno mencari temannya terlebih dahulu
dan mereka bertiga menuju rumah Sokrates.
Bahan III: Sekali Lagi, Tentang Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Dari kedua bahan pertama yang kita pelajari, kita mendapat hukum-hukum dasar logika formal; bagaimana dan mengapa mereka hadir; hubungan apa yang dimiliki dialektika terhadapnya; dan batas-batas apa yang kemudian menjadikan logika formal tak berguna lagi.
Kita akan melihat 5 kesalahan mendasar dalam elemen-elemen hukum identitas:
1. Tuntutan Logika Formal: Semesta Tidak Berubah
Pertama sekali, logika formal menolak suatu gerak, perubahan dan perkembangan dalam realitas. Penolakan tersebut tidak secara eksplisit ditujukan pada keberadaan realitas. Tapi, secara tak langsung, yakni, hukum-hukumnya menolak implikasi penting logika internalnya.
Seperti yang dikemukan oleh hukum identitas, jika setiap hal sama dengan dirinya maka, seperi yang ditunjukkan oleh hukum kontradiksi, tak ada yang tidak sama dengan dirinya, semuanya sama. Tapi ketidaksamaannya merupakan manifestasi dari perbedaan—dan, sebenarnya, perbedaan mengindikasikan operasional perubahan. Jika semua perbedaan ditolak maka tidak akan ada gerak dan perubahan itu sendiri, oleh karenanya tidak ada alasan menjadi berbeda.
Jika logika formal ingin mendapatkan sisa kebenaran dirinya, bukan lah dengan menolak keberadaan nyata dan rasionalitas gerak. Tak ada tempat bagi perubahan di dunia ini yang bisa diterima oleh atau digambarkan oleh logika formal. Tak ada gerak dalam dirinya. Tak ada ledakan logis dalam hukum-hukumnya yang dapat melewati dan masuk ke dunia nyata. Tak ada dinamika dari dunia luar yang mendorong segala hal keluar dari kondisinya yang sekarang guna menghasilkan formasi baru. Gerak digambarkan atau ditunjukkan sebagai realisme statistik, yang segalanya membeku di tempatnya masing-masing.
Mengapa formalisme tersebut memunggungi realitas? Karena gerak memiliki karakter kontradiksinya sendiri. Seperti kata Engels: ”…bahkan perubahan mekanis sederhana suatu tempat bisa berlangsung dalam sebuah tubuh dan, pada saat yang bersamaan, keduanya bisa berada di sebuah tempat lainnya, berada di suatu tempat atau tidak berada di suatu tempat lainnya pada saat yang bersaman.”[5] Segala yang bergerak memiliki kontradiksi dalam keberadaanya, di suatu tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan, dan bisa menundukkan atau keluar dari kontradiksi tersebut dengan menerjang satu tempat guna menuju ke tempat lainnya.
Perkembangan dan bentuk kompleks gerak, seperti perkembangan pohon dan tumbuhan, perkembangan spesies, perkembangan masyarakat dalam sejarah dan perkembangan sejarah filsafat, hadir bahkan lebih sulit bagi logika formal. Tahap sekarang, yang menggantikan setiap proses adalah serial kontradiksi. Pada pertumbuhan tanaman, contohnya, tunas keberadaannya diganti oleh bunga dan kemudian oleh buah.
Dimana pun mereka dikonfrontasikan dengan kontradiksi nyata, penganut logika formal selalu akan gagal. Apa yang akan mereka lakukan? Anak kecil sewaktu berhadapan dengan sesuatu yang asing, sesuatu yang menakutkan mereka, yang mereka tak mengerti dan tak dapat mereka kuasai, akan menutup mata mereka dan menutup mukanya dengan kedua tangannya, serta akhirnya melarikan diri dari ketakutan tersebut. Penganut formalis bereaksi dan terus bereaksi, sama seperti anak-anak berhadapan dengan kontradiksi. Ketika mereka tidak bisa secara komprehensif melihat kenyataan alamiahnya dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dengan semua hal yang mengerikan—itu lah yang menyedihkan dari dunia logika formal—maka, dengan ledakan kontradiksi, segera mereka akan menghancurkan logika formal mereka.
Dimana pun, saat otoritas reaksioner diancam oleh kekuatan subversif, mereka akan menekan, memenjara dan membuang kekuatan subversif tersebut. Penganut logika formal menjawab kontradiksi dengan cara yang demikian. Seperti yang dilakukan oleh Sir Anthony Absolute terhadap anaknya dalam lakon komedi Sheridan: “…Jangan masuk dalam ruanganku, jangan berani menghirup udara dan menggunakan lampu bersamaku, tapi carilah atmosfir dan matahari lain untuk dirimu! ...”
Hukum tersebut menunjukkan bahwa A tidak pernah menjadi Non-A. Itu bukan sebuah ekspresi nyata dari kontradiksi yang nyata, atau, terbaca: A bukan Minus A atau bukan Non-A.
Logika formal tidak dapat mentoleransi kontradiksi aktual dalam sistimnya sendiri. Logika formal akan menekan dan menghancurkan kontradiksi tersebut. Dalam usahanya untuk membebaskan dirinya dari kontradiksi, penganut logika formal memperketat kontradiksi absolut di atas kenyataan objektif. Dalam dunia yang direpresentasikan oleh logika formal, segala sesuatu berdiri dalam oposisi absolut terhadap yang lainnya. A adalah A; B adalah B; C adalah C, namun, sebenarnya, secara logis, mereka tidak ada yang sama
Kontradiksi dieliminasi dari sistim logika formal, kemudian bergerak naik menghindari semua kenyataan. Penganut logika formal menolak kontradiksi dalam sistimnya sendiri hanya demi merestorasinya, mengambil kekuasaan dari luar sistim mereka.
Kontradiksi nyata harus memasukkan kedua hal: kesamaan dan perbedaan di dalam dirinya. Penganut logika formal tak bisa melakukannya. Semua hukum logika formal sebenarnya tidak lain merupakan kesamaan-kesamaan dalam berbagai versi. Merka tak mengenal apa perbedaan-perbedaan.
Itu lah sebabnya hukum kategori yang pas bagi logika formal tidak dapat menjelaskan esensi gerak. Gerak adalah sangat lengkap, terang-terangan, bahkan kontradiksinya kasar. Dalam dirinya, ia memiliki dua sisi perbedaan waktu, unsur, fase dan lain sebagainya secara diametris. Pada saat yang bersamaan, benda yang bergerak adalah keduanya, disini dan disana, secara terus menerus. Jika tidak, dia tidak bergerak tapi diam. A tidak semata-mata Non-A. Diam adalah gerak yang berhenti; gerak adalah perhentian yang berurutan.
Logika formal tidak bisa mengetahui atau menganalisa kontradiksi alam nyata—yang di dalamnya terdapat gerak—tanpa melanggar dirinya sendiri, tanpa menjatuhkan hukum-hukumnya sendiri, tanpa menerjang dan masuk ke alam yang lain. Adalah mimpi mengharapakan logika formal menjadi dialektik. Itu tepatnya dengan apa yang terjadi pada logika dalam evolusi. Tapi, logika formal, dalam dirinya dan oleh dirinya, tidak dapat mengambil lompatan revolusioner, tidak bisa keluar dari kulitnya. Semua pemikir formal yang konsisten tetap bertahan pada azas jeneralitas identitas dan terus menolak—cukup logis menurut logika mereka, tapi tak logis menurut kenyataan-keberadaan objektif yang nyata, yakni kenyataan perbedaan diri atau kontradiksi.
Kategori identitas itu abstrak: hukum logika formal merupakan ekspresi langsung dari konsepsi dan persamaan logika ke-diam-an keberadaan objek. Oleh sebab itu, logika formal, secara esensial, merupakan logika kematian, hubungan yang dingin, sesuatu yang diam, pengulangan abadi dan kemandegan. Sejauh kita mengganggap bahwa sesuatu itu statis dan mandeg, maka adalah benar bahwa kita tidak bertentangan dengan kontradiksi. Kita mendapatkan kwalitas tertentu yang sebagian merupakan hal yang bias, terpisah, bahkan saling kontradiktif, tapi, dalam kasus ini (dalam sistim logika formal), kwalitas tersebar di antara objek yang berbeda dan tanpa kontradiksi.[6]
Bila melihat apa yang terjadi pada kasus lain, yang bergerak, ternyata tidak saja saling berhubungan, dan tidak saja secara eksternal tapi juga secara internal, sesuatu akan kehilangan identitas dan bergerak menuju sesuatu yang lain. Sungai Hudson mengalir dan bergabung dengan samudra Atlantik; Mark jerman merosot menjadi secarik kertas cetakan dan lainnya. Apa yang bisa dilakukan oleh sesuatu hal dapat dilihat saat ia kehilangan identitas. Hasil internal dan eksternal gerak benda-benda nyata terwujud secara kontradiktif. Tapi tetap ada benarnya juga bahwa: mereka berhubungan dengan realitas.
Tidak ada yang permanen. Kenyataan tidak pernah berhenti, selalu berubah, selalu fluktuatif (tidak stabil/naik turun). Proses universal, yang tak terbantahkan, membentuk landasan material bagi teori yang di ajarkan Engels ”…seluruh alam, dari unsur yang paling kecil sampai yang paling besar, dari debu hingga matahari, keberadaannya ada dalam keabadian, yakni menjadi dan melenyap, menghilang, kemudian bergolak dalam gerak yang tak berhenti…”[7] Dalam ilmu modern, tak ada jeneralisasi yang lebih aman selain berbasiskan pada percobaan, fakta, ketimbang memahami teori perkembangan universal pikiran manusia, yang bergerak maju dalam abad ke-19.
Hukum logika formal, yang berada di luar kontradiksi, mengabaikan kontradiksi dalam teori dan realitas perkembangan universal. Hukum identitas itu abstrak, tak melahirkan perubahan. Sebenarnya, dari dua preposisi yang bertentangan tersebut, yang mana yang benar dan yang salah? Itu lah pertanyaan dari penganut dialektika—yang melandasi pikirannya berdasarkan proses alamiah—kepada penganut logika formal yang berkepala batu. Persoalan pikiran ilmiah, yang sedang berhadapan dengan logika formal, tidak semata-mata merupakan persoalan yang terjadi dari akhir abad ini saja namun sejak zaman sebelumnya.
2. Logika Formal Mendirikan Benteng/Hambatan (di Antara Segala Hal) yang Tak Boleh Diterobos
Logika formal memiliki kesalahan-kesalahan karena dikepung oleh persoalan-persoalan material, ditelikung oleh ketidakmengertian terhadap fase perkembangan semua persoalan, dan tak bisa mengerti mengenai cerminan, refleksi, kenyataan objektif dalam jiwa kita. Antara kebenaran dan kesalahan tak ada fase antaranya, tak ada tahap transisi dan rantai penghubungnya.
Hegel bicara tentang hal tersebut: “Pikiran-Jiwa, mengabil posisi oposisi di antara kebenaran dan kesalahan, serta menjadi pas, terlebih-lebih setelah diterima entah sebagai perjanjian atau sebagai kontradiksi antara sistim filsafat. Dan hanya melihat alasan pada sesuatu yang ada dalam pernyataan-pernyataan sistim tersebut. Hal tersebut tidak lah menggambarkan perbedaan sistim filsafat sebagai evolusi progresif kebenaran; tapi harus lebih dilihat sebagai kontradiksi.”[8]
“Tunas menghilang setelah bunga berkembang, dan dapat kita katakan: yang awal ditolak keberadaanya oleh yang berikut; sama dengan setelah buah muncul, bunga bisa dijelaskan sebagai sesuatu bentuk yang salah (dari keberadaan tumbuhan) bagi kemunculan buah, dilihat sebagai kebenaran alamiah menggantikan bunga. Tahapan tersebut bukan berarti sekadar pembedaan; yang satu merupakan pengganti, tak tepat lagi, bagi yang lain. Aktivitas tanpa henti hakikat inherennya membuat mereka, pada saat yang sama, dan dalam seluruh momentumnya, memiliki kesatuan organik, yang bukan saja sekadar nmengkontradiksikan yang satu dengan dengan yang lainnya, namun yang satu merupakan keniscayaan bagi yang lainnya; dan keniscayaan (setara) seluruh momen tersebut lah yang menentukan kehidupannya secara keseluruhan. Tapi kontradiksi antar sistim filsafat tidak bisa diselesaikan dengan cara seperti itu; di lain pihak, pikiran-jiwa yang menerima kontradiksi tersebut bukan berarti, secara akal sehat, ia memiliki pengetahuan bahwa kebenaran merupakan hasil perbaikan dan pembebasan dari kesalahan bersatu-sisi, dan mengakui bahwa semua itu merupakan hasil dari kehadiran momen-momen selayaknya (niscaya) yang saling melengkapi atau berbalasan—walaupun kelihatannya saling bertentangan dan, secara inheren, antagonostik.”
Jika kita menggunakan logika formal sebagai nilai, maka kita harus mengakui bahwa semua hal, atau segala keadaan sesuatu, adalah mutlak independen dari segala hal atau dari segala keadaan. Dunia diperkirakan sebagai segala sesuatu yang eksis dalam kesendiriannya yang sempurna, terpisah dari segala hal.
Posisi filsafat yang menggambarkan logika tersebut mencapai hasil akhir berupa: filsafat idealis-subjektif, yang muncul dengan membawa asumsi bahwa tidak ada yang benar-benar eksis, kecuali dirinya sendiri. Itu bisa diketahui dari soligisme (dalam kata latin) solus ipse (aku sendiri).
Itu lah cerminan posisi absur dalam melihat sesuatu. Apapun teori yang dikemukakannya, ia hanya mengakui keberadaan dirinya. Lebih jauh lagi, jika kita mau sedikit lebih mendalam, bagaimanapun terisolasi dan independennya sesuatu hal, sebenarnya ia membutuhkan keberadaan yang lain.
Untuk berada dan menjadi dirinya, jika kita tidak menghubungkannya dengan sesuatu yang terkait dengan realitas, maka kita tidak akan pernah bisa mengerti secara tepat dan pas.
Segala sesuatu akan melaju dan mengubah dirinya menjadi sesuatu yang baru. Untuk mengerti hal tersebut, kita harus menerobos batasan-batasan formal yang memisahkan satu dengan yang lainnya. Sejauh ini, kita tahu bahwa tak ada benda yang diam.
“Preposisi fundamental dialektika Marxisme: semua batasan dalam alam dan masyarakat adalah konvensional dan bergerak, artinya: tak ada satu fenomena pun yang, ketika berada di bawah kondisi-kondisi tertentu, tidak berubah menjadi bertentangan,” kata Lenin.[9]
Dalam skala sejarah yang lebih luas, Trotsky berkata bahwa: ”kesadaran tumbuh dari ketidak sadaran, psikologi dari luar psikologi, dunia organik dari non-organik, sistim tata surya dari nebula.”[10]
Penghancuran batas-batas, perjalan sesuatu menjadi yang lainnya, ketergantugan bersamanya, tidak terlepas dari garis perkembangan sejarah itu sendiri; semuanya berjalan bersama kita. Kita bertindak berbasiskan ide, dan ide tersebut kehilangan karakter mental yang mendominasinya serta menjadi kekuatan aktif di dalam dunia lewat diri kita. Marx menunjukkan bahwa sebuah sistim ide, seperti sosialisme, menjadi sebuah kekuatan material ketika ia berada dalam pikiran massa kelas pekerja, dan akan bergerak dalam aksi-aksi untuk merealisasikannya—perjuangan menuju sosialisme.
Segalanya memiliki garis batas demarkasi, yang membatasi segala sesuatu. Bila tidak, ia tak akan menjadi sebuah tubuh yang memiliki identitas yang unik. Kita harus menemukan batasan-batasan tersebut dalam praktek dan menyusunnya dalam pikiran kita. Tapi batasan-batasan tersebut jangan menjadi kaku dan menelikung segala kondisi; batasan-batasan tersebut tak akan sama dalam setiap saat. Mereka berfluktuasai menurut proses perubahan. Batasan-batasan relatif, gerak dan cair dikenal namun ditolak oleh logika formal. Hukum tersebut menyimpulkan segalanya memiliki batasan-batasan tapi, yang lebih penting lagi, bahwa batasan-batasan tersebut memiliki pembatas-pembatas bagi dirinya.
3. Logika Formal Menolak Pembedaan Setiap Identitas
Kita telah melihat bahwa logika formal menggambarkan pembatasan tajam antara kesamaan, atau identitas (identity), dengan perbedaan (difference). Semuanya ditempatkan dalam pertentangan yang mutlak satu dengan yang lainnya. Jika terdapat hubungan antara keduanya, dianggap kebetulan dan eksternal serta tidak akan berdampak pada keberadaan internalnya.
Penganut logika formal melihat semua itu sebagai sebuah kontradiksi logis, dan merupakan sebuah horor yang mengerikan untuk mengatakan—seperti para penganut dialektika—bahwa identitas bisa menjadi perbedaan, dan perbedaan bisa menjadi identitas. Mereka yakin bahwa identitas adalah identitas dan perbedaan dalah perbedaan, dan tidak dapat sama pada saat yang bersamaan. Coba kita bandingkan kesimpulan-kesimpulan tersebut dengan fakta-fakta pengalaman yang diuji dari kebenaran semua hukum dan ide.
Dalam Dialectic of Nature, Engels mengatakan: “Tumbuhan, binatang, dan setiap sel, setiap saat dalam hidupnya adalah sama dengan dirinya dan menjadi berbeda dari dirinya, karena bergabung dan mengalir dalam substansi hidup, karena respirasinya[11], karena pembentukan sel dan karena kematian sel—lewat proses perputaran yang bergantian, dengan singkatnya bisa disebutkan: karena ada perubahan molekul yang membuatnya hidup. Dan karena kesimpulan dari setiap hasilnya merupakan bukti bagi mata kita bahwa mereka memiliki setiap fase kehidupan: fase embrio, remaja, kematangn seksual, proses reproduksi, usia lanjut dan kematian. Semua itu adalah bagian dari evolusi semua spesies di bumi. Fisiologi lebih lanjut menggamblangkannya: yang lebih penting adalah ia tidak berhenti, tidak selesai dan, yang lebih penting lagi, adalah bahwa semuanya tetap berbeda di dalam identitasnya. Namun pandangan abstrak-kuno indetitas formal memahaminya bahwa suatu organik berada seperti sebuah identitas yang sederhana dalam dirinya, konstan dan statis—menjadi ketinggalan jaman.
“Namun demikian, corak berpikir itu berbasiskan seperti itu, bersama dengan kategorinya, terus menerus bertahan. Tapi, bahkan dalam hakikat non-organik pun, identitas seperti itu tak terdapat dalam realita. Setiap orang terus menerus menunjukkan dan menerima pengaruh-pengaruh mekanik, fisika dan kimia, yang selalu merubah dan memodifikasi identitasnya.”
Hambatan/benteng absolut tak mungkin bisa didirikan oleh logika formal—misalnya dalam kasus antara dua hal yang saling berpenetrasi dalam realitas yang berlanjut, bergerak—karena telah dicuci oleh proses perkembangan sehingga kemudian perbedaan telah menjadi kesamaan. Sebelum kami datang ke gedung ini, kami adalah orang-orang New York yang berbeda-beda. Persamaan menjadi perbedaan: setelah pelajaran ini selesai, kita akan berpisah ke tempat yang berbeda-beda. Perubahan dari perbedaan menjadi persamaan dan persamaan menjadi perbedaan mengambil peran dalam semua hubungan. Tunas yang mekar menjadi bunga, bunga menjadi buah, sehingga setiap fasenya yang berbeda adalah menjadi bagian dari pohon yang sama.Tidak seperti hukum logika formal, kesamaan material yang nyata tidak menyingkirkan dari dirinya sendiri perbedaan-perbedaan yang ada tapi mengisi ke/di dalam dirinya sebagai bagian yang esensial. Perbedaan nyata tidak membuang kesamaan tapi memasukkannya sebagai elemen esensial di dalam dirinya. Kedua bentuk tersebut dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan membuat pembedaan dalam pemikiran, tapi itu tidak berarti—seperti dalam logika formal—bahwa, dalam realita, mereka bisa dipisah-pisahkankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Market Of ideas will make it wonderfull mind

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya