Cari Blog Ini

Selasa, 29 Juni 2010


Propaganda
Propaganda adalah cara cuci otak pemerintah persis seperti Hitler dgn ganyang Yahudinya pemerintah kita mempergunakan Propaganda sebagai cuci otak Komunal. dulu kita mengenal" ganyang Malaysia" kemudian " ganyang PKI" sekarang "ganyang PRD" Propaganda ini sangat berbahaya. Bukan saja menyesatkan tapi bisa membakar emosi orang terhadap dan menimbulkan sikap brutal terhadap orang yg sudah diberi cap " ganyang".
Banyak orang yang melupakan sejarah, Bahwa PKI itu dulu adalah partai yang sah. Tetapi berkat program brain wash pemerintah yg bernama pelajaran PMP dan penataran P4, maka PKI tak ubahnya seperti hantu yang menakutkan. Maka coba lihat betapa image terhadap PKI sudah sedemikian jeleknya sampai anak dan cucu PKI sendiri masih diaanggap berbahaya oleh masyarakat. Kini giliran PRD pun tiba.Pemerintah dgn susah payah mencoba menghipnotis masyarakat bahwa PRD itu adalah PKI.Padahal perjuangan PRD itu sebenarnya perjuangan yang mewakili tuntutan perubahan kita semua.Dan kebanyakan dari mereka bukan generasi yang lahir pada saat PKI berkuasa. Suatu saat nanti mungkin semua orang yang ingin bekerja harus melampirkan surat bebas PRD agar bisa bekerja.
Propaganda Jerman dgn " Heil Hitler" nya di terjemahkan oleh pemerintah dgn gaya yg lain." Suharto Bapak Pembangunan". atau " "Suharto penyambung Lidah rakyat". Propaganda sangat membodohkan kita semua. Satu Satunya cara untuk melumpuhkan Propaganda adalah dengan Counter Attack. Cipatakan Counter Propaganda baru seperti" Down with Golkar" atau"Lengserkan Orde Baru" atau yang lebih radikal" Ganyang Suharto"
Apakah label komunisme yang dipakai pemerintah untuk menyapu
bersih gerakan pro-demokrasi masih cukup efektif?
* Sederhana saja, kalau kita belajar dari sejarah dan pelajari
teori-teori komunikasi dan propaganda, ada satu diktum yang
menyatakan bahwa informasi atau indoktrinasi yang terus-menerus
dijejalkan tanpa didukung oleh bukti empirik; lama kelamaan akan
membuat orang yang menerima menjadi mual dan muntah. Nah, demiki-
an halnya dengan 'hantu komunisme' yang dipakai pemerintah saat
ini. Masyarakat awam sudah kebal dan tidak percaya lagi, apalagi
kalangan aktivis pro-demokrasi. Lagipula 'teror' itu -- saya
gunakan istilah ini karena lebih tepat -- terbukti lebih banyak
digunakan untuk membungkam suara-suara kritis dan mengalihkan
perhatian dari masalah sosial yang ada. Kalaupun kemudian masya-
rakat takut akan pelabelan atau stigmatisasi komunis itu lebih
karena kekhawatiran mereka akan implikasi tindakan represi dari
pemerintah.
Anda percaya kekuatan pro-demokrasi akan kembali bangkit di masa
rezim Soeharto ini?
* Tentu saja kekuatan pro-demokrasi kembali akan bangkit. Selama
ada ketidakadilan, penyimpangan sosial, dan penyalahgunaan kekua-
saan; resultante-nya selalu muncul aktor-aktor yang menuntut dan
menginginkan reformasi dan demokratisasi. Semangat semacam itu
tidak bisa ditindas dengan kekerasan fisik. Apalagi pergerakan
selama ini, meskipun belum menunjukkan kinerja dan kualitas yang
optimal, tapi secara embriotik cukup prospektif.
Kapan mereka bangkit?
* Kalau ditanya kapan waktunya, sebetulnya sekarang inipun kelom-
pok-kelompok pro-demokrasi tetap melakukan aktivitas seperti
biasa, tapi mengapa tak terlihat dipermukaan? Jawabannya tergan-
tung pada isyu dan momentumnya apa yang menstimulusnya.
Apakah masyarakat juga optimis terhadap gerakan pro-demokrasi?
* Ini bukan persoalan optimis atau pesimis. Gerak sejarah memper-
lihatkan bahwa sebuah rejim otoriter pada saatnya akan mengalami
krisis. Krisis itu inheren pada rejim itu sendiri. Secara struk-
tural rejim otoriter akan mengalami kemandekan karena tidak mampu
untuk memperbaiki atau mereproduksi sistimnya sendiri. Akan
tetapi krisis itu tidak akan memuncak dan mengarah kepada trans-
isi menuju perubahan, kalau tidak aktor-aktor yang memfasilitasi-
nya. Nah, di sinilah fungsi gerakan pro-demokrasi. Perubahan akan
terjadi sebagai hasil dialektika dari ketegangan struktural dan
subyektivitas aktor pro-demokrasi.
Perselisihan di tingkat elit dan tekanan internasional, apakah
itu juga bisa jadi alasan optimis?
* Fragmentasi di kalangan elit politik/militer memang sedikit
memberi peluang atau keleluasaan ruang gerak kelompok pro-demok-
rasi melakukan manuver politik, demikian juga tekanan interna-
sional sedikit memberi perlindungan atau proteksi pada aktor pro-
demokrasi dari tekanan negara. Namun menurut hemat saya, faktor
yang paling signifikan bagi transisi menuju demokratisasi di
Indonesia adalah pergeseran struktur ekonomi dan gerak, mobilitas
modal. Perubahan di Indonesia kelak merupakan hasil dari konflik
kelas antara pemodal transnasional, pemodal domestik, dengan
pemodal yang selama ini menjalankan praktek rente-kapitalisme.
Mengenai Megawati, masihkah ia potensial setelah 27 Juli terjadi?
* Megawati tetap menjadi salah satu figur penting dalam transisi
dan demokratisasi di Indonesia. Sekarang saja ia sudah menjadi
simbol harapan rakyat Indonesia akan perbaikan sosial. Perform-
ance-nya yang sejuk dan cenderung non-konfrotatif tampaknya
menjadi obat bagi masyarakat Indonesia yang sakit, karena trauma
politik peristiwa 1965. Walaupun ia belum menunjukkan kapasitas
politik intelektual seperti yang diharapkan oleh kalangan terpe-
lajar kota dan sedikit banyak kepopulerannya juga didukung oleh
kharisma ayahnya, Bung Karno. Namun itu saja, sudah menunjukkan
bahwa gerakan pro-demokrasi tidak bisa mengabaikan Megawati,
perlu ada dialog lebih lanjut dan kerangka kerja yang lebih
konkrit dengannya.
Bila sedikit berefleksi, melihat peristiwa 27 Juli serta dampak-
nya, pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu? Apakah
gerakan pro-demokrasi saat itu overestimate?
* Persoalannya bukanlah gerakan pro-demokrasi yang terlalu overe-
stimasi atau terlalu percaya diri, tapi itu adalah konsekuensi
dari sebuah pilihan dan keberpihakan. Politik adalah seni mencari
kemungkinan. Lagipula gerakan pro-demokrasi memang mau tak mau
harus mendukung Megawati karena 'kekotoran' yang dilakukan pemer-
intah untuk menggeser Megawati. Adalah tindakan amoral dan tak
bertanggungjawab apabila kelompok dan individu yang mengklaim
ingin mewujudkan demokrasi di Indonesia, hanya berdiam diri atau
pasif melihat praktek abuses of power. Kalaupun kemudian yang
terjadi adalah reaksi keras dan represi dari pemerintah, yang
harus dilihat bukanlah akibatnya tapi apa sebabnya. Sejauh ini
yang dilakukan oleh PDI di bawah Megawati dan gerakan pro-demok-
rasi tetap berada dijalur yang konstitusional dan demokratik.
Demonstrasi turun ke jalan dan mimbar bebas adalah prosedur
demokratik yang sah.
Apa yang bisa dipergunakan untuk kembali mempersatukan, mengkon-
solidasikan kekuatan pro-demokrasi saat ini?
* Untuk soal ini, saya kira tak ada satupun yang bisa dengan jitu
menebak isyu apa yang bisa mempersatukan atau mengkonsolidasi
kekuatan pro-demokrasi. Begitu banyak isyu sosial, ekonomi, dan
politik yang problematik dalam masyarakat Indonesia. Yang manapun
bisa menjadi trigger. Persoalannya sekarang kembali kepada aktor-
aktor pro-demokrasi itu sendiri, apakah mereka mampu meningkatkan
pengorganisasian diri dengan baik dan disiplin. Tak hanya berali-
ansi sekedar karena reaksi terhadap satu kasus saja. Tapi memban-
gun aliansi yang permanen. Aliansi strategis. Dan yang paling
penting lagi bagaimana kekuatan pro-demokrasi mampu membangkitkan
resistensi, perlawanan rakyat.
Meski sekarang masih banyak yang 'tiarap'...
* Seharusnya kita lihat, peristiwa 27 Juli merupakan pendidikan
politik yang paling berharga bagi rakyat Indonesia. Kesadaran
politik rakyat jauh lebih baik dari apa yang selama ini kita
kira. Karena secara transparan rakyat melihat dengan jelas bagai-
mana praktek politik yang dijalankan pemerintah. Dan, kalau kita
mau melihat dengan jernih, boleh dikata kelompok-kelompok dalam
masyarakat tidak banyak terpengaruh peristiwa 27 Juli. Lihat saja
aksi protes buruh atau protes rakyat yang tanahnya mengalami
sengketa tetap muncul. Yang justru aktivitasnya menurun adalah
kelompok-kelompok yang selama ini mengklaim pro-demokrasi. Apa
artinya ini? Bagi rakyat yang menjadi korban 'pembangunan',
perubahan adalah suatu hal yang mendesak yang menyangkut keber-
langsungan hidup mereka sehari-hari, sedangkan bagi kelompok-
kelompok pro-demokrasi yang kebanyakan dari mereka masuk kategori
kelas menengah, pada dasarnya ada atau tidak perubahan, keber-
langsungan hidup mereka sehari-hari masih lebih terjamin
Propaganda Monyong

Peserta pemilu dengan berbagai ulah habis-habisan unjuk gigi. Mulai dari kampanye di ruang tertutup sampai di jalan-jalan dan lapangan terbuka mereka buka-bukaan menyampaikan ‘iklan’ dagang partai agar rakyat simpati dan mencoblosnya.
Meski sebutan era reformasi tapi propaganda di masa sekarang nyaris tidak ada bedanya dengan model kampanye di zaman Orde Baru. Gayanya, jahitannya, bahannya, apalagi potongan dan cara-cara bicara untuk meminang massa samimawon. Mereka masih menjual ‘konflik’ dan bukan program-program nyata memperbaiki nasib bangsa.
Hampir semua partai peserta pemilu masih mengobral ‘janji’ bukan ‘bukti’. Kalaupun ada partai yang melakukan kampanye dengan pendekatan dialogis, gregetnya nyaris kurang terasa. Boleh dibilang ibarat masakan kurang bumbu penyedap dan ”gizi”. Perang propaganda untuk masa sekarang, bukan hanya dengan menjual angin suara saja tetapi juga sudah sampai bicara berapa jumlah angpao yang harus dibagi-bagikan. Semua ini dilakukan untuk menjaring dan meraih simpati sebanyak-banyaknya. ltu sebabnya, kampanye melalui media massa dan media elektronik dianggap sangat menguntungkan dan dapat mempengaruhi massa begitu cepat.
Menariknya secara terbuka partai peserta pemilu bonek (bondo nekat) menyatakan dirinya sebagai partai yang siap membela dan mensejahterahkan rakyat. Padahal dagangan kecap nomor satu ini bukan hal yang baru, melainkan sudah dianggap kuno dan ketinggalan zaman.
Rakyat sudah muak dan bosan dengan janji-janji palsu, sebab pada prakteknya sejak pemilu pertama di gelar di Tanah Air hingga sekarang, hasilnya sama saja rakyat nasibnya tetap melarat. Kini tawaran berbagai merk itu secara kontinyu menyerbu di rumah rakyat melalui media televisi. Tujuannya tidak lain, partai peserta pemilu ingin mengajak rujuk nasional.
Propaganda ini ternyata cukup efektif bahkan dapat merayap sampai ke pelosok-pelosok tanah air. Mulai dari kakek-kakek, nenek-nenek serta anak-anak kecil sudah pandai mengeja pesan, ”Cong Tih” sambit menunjuk ke arah moncong - mulutnya.

Propaganda Semu
Bagi masyarakat majemuk seperti di Indonesia sekecil apapun informasi yang sampai ke telinga rakyat sudah dapat dipastikan penyebarannya begitu cepat dan mudah terprovokasi. Semua ini karena peran media cetak maupun elektronik yang telah menjadi kebutuhan masyarakat. Baru-baru ini - misalnya penyakit demam berdarah telah menjadi musibah nasional.Melalui media massa dan elektronik informasi itu dapat
dengan cepat diketahui oleh masyarakat luas. Begitupun dengan iklan layanan masyarakat agar menjaga lingkungan merupakan bukti pesan yang sangat jitu dan mujarab. Oleh karenanya dengan begitu banyaknya partai peserta pemilu mengadu ‘monyong’ di televisi, bukannya masyarakat bertambah cerdas untuk memilih partai mana yang akan dijadikan idolanya, tetapi justru kebingungan tujuh keliling mana yang musti dicoblos.

Adu Monyong
Menjual kebohongan merupakan pekerjaan yang tidak terlampau sulit. Seperti yang kita saksikan dipinggiran jalan trotoar, begitu banyak para pedagang yang ‘menyihir’ para konsumennya agar tertarik membeli sebuah produk. Pemasaran dengan kiat mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara berbohong, pasti tidak akan langgeng dan menjadi berkah. Begitu juga, kalau partai peserta pemilu dalam kampanye cuma adu monyong menjual ‘kebohongan’ , rakyat pasti akan ngacir kabur.
Pengalaman sudah membuktikan.Semestinya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu, tatanan kehidupan masyarakat bertambah baik bukannya bertambah sengsara.
Tetapi apayang terjadi? Inilah nasib yang menimpa di tanah air kita, pemilu justru mengundang persoalan baru. Bukannya menuju pada perbaikan nasib bangsa tetapi justru sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Market Of ideas will make it wonderfull mind

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya