Cari Blog Ini

Jumat, 02 Juli 2010

PMII dan Tradisi Protes


PMII dan Tradisi “Protes”
Adalah Hariman Siregar (2001), salah seorang tokoh Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), menyatakan bahwa gerakan mahasiswa merupakan pilar ke-5 demokrasi setelah, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media massa (institusi pers sebagai pencipta opini publik). Salah satu alasan yang diajukannya adalah, realitas bahwa mahasiswa di dunia ketiga (khususnya Indonesia) yang selalu tampil menjadi benteng terakhir demokrasi. Ketika otoritarianisme negara memuncak, dan lembaga-lembaga demokrasi di atas tak lagi efektif memainkan perannya, maka mahasiswa mampu tampil sebagai kekuatan pendobrak yang menyedikan dirinya menjadi bumper perubahan. Apa yang terjadi pada angkatan ’66, ’74, dan ’98 kemarin adalah bukti tak terbantahkan.
Apa yang diungkapkan Hariman di atas, memang nyata adanya, dan sudah sering diungkapkan pula oleh para cendekia ataupun para tokoh gerakan mahasiswa itu sendiri. Namun, semuanya juga mengakui bahwa gerakan mahasiswa itu berhenti pada tataran pendobrakan saja, selebihnya selalu di take over oleh para politisi, parpol ataupun kekuatan politik-strategis lainnya, karena itu mahasiswa akan selalu ditinggalkan begitu saja. Puja-puji atas kiprah mahasiswa itu cukup dihadiahi dengan sanjungan bahwa mahasiswa adalah agent of change, suaranya mewakili jeritan hati terdalam dari masyarakat tertindas dan independen serta tidak memiliki tendensi politik (gerakan mahasiswa identik dengan gerakan moral). Ada juga yang kemudian memposisikan mahasiswa sebaiknya menjalankan fungsi kontrol saja atas sistem, karena itu posisi terbaik mahasiswa terhadap negara adalah “oposisi”, tak lebih dari itu. Jika kemudian mereka ingin terlibat lebih jauh dalam proses-proses pengambilan keputusan, maka cukuplah bagi mahasiswa ini menggabungkan diri dengan parpol-parpol yang ada, itupun kalau mahasiswa mau, kalau tidak ya kembali saja ke kampus, atau tetap aktif dalam pergerakan dengan melakukan advokasi serta terlibat kembali dalam proses pemberdayaan masyarakat, sudah sampai disitu saja diskursus tentang gerakan mahasiswa. Kalau masih saja penasaran, lalu apalagi kemudian yang menarik untuk diperbincangkan tentang mahasiswa, selain dari semua hal di atas ?.
Bagi mahasiswa, tentunya masih banyak hal-hal yang menarik diperbincangkan selain beberapa hal di atas, begitu pula dengan PMII. Ketika mahasiswa tak lagi “dibutuhkan perannya” untuk menangani persoalan besar berskala nasional, maka gerakan mahasiswa hanya akan disibukkan dengan isu yang case by case, bernuansa lokal dan tidak ada lagi isu sentral yang sanggup mengerakkkan seluruh elemen mahasiswa kembali turun jalan. Sehingga, aksi-aksi mahasiswa itu hanya bersifat melempar persoalan itu ke permukaan agar menjadi opini publik tanpa ada upaya serius untuk menindaklanjuti hal tersebut. Lihat saja, demo mahasiswa masalah dugaan KKN-nya Jaksa Agung M.A Rahman, Demo kasus BPPN, dan lain sebagainya.
Ada kegamangan dalam diri PMII, antara turun gelanggang dan berdiam diri, sembari menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga (internal) organisasi, padahal masyarakat tidak ada hentinya menuntut pertanggungjawaban atas sebuah perjuangan yang belum usai. Ini terjadi, karena masyarakat hanya tahu bahwa mahasiswalah (PMII include didalamnya) yang telah mengawali semuanya (reformasi). Sementara itu, di sisi lain, PMII masih terdisorientasi dalam memposisikan diri di tengah-tengah gelanggang yang sekarang ini sudah sangat politis dengan kekhawatiran akan dipolitisir menjadi “helen of troy” berbagai kekuatan politik, baik nasional, regional maupun internasional.
Jika, PMII terus menerus dalam kondisi ‘demam’ yang tak berkesudahan di antara dua pilihan tersebut dengan reasoning bahwa PMII mesti belajar dari para pendahulunya, dari angkatan ’66, ’74, ‘77-78, ’98, bisa jadi PMII akan terjebak pada situasi lebih buruk, seperti yang menimpa semua angkatan tersebut. Oleh karena itu, ke depan, PMII harus selalu memerankan 2 karakter gerakan dalam konstelasi lokal ataupun nasional, yakni; sebagai agent of change, sebagai kekuatan pelopor perubahan, atupun peruntuhan otoriterianisme kekuasaan dan director of change, sebagai salah satu pengendali utama perubahan. Dus, demi menjamin konsistensi dan keberlangasungan untuk memerankan hal itu, maka PMII harus selalu berdiri di atas kepentingan rakyat, ditengah-tengah rakyat, dan menjadi pusat keluh kesah rakyat, sehingga hal ini akan memudahkan PMII menyuarakan hal tersebut kepada para elit politik dan tokoh bangsa yang memiliki peran membentuk wajah negeri. Oleh karena itu, “posisi antara”, merupakan pilihan paling strategis (balancing of power) yang akan terus bisa PMII mainkan, agar tetap dalam centrum percaturan dan perubahan nasional. Disamping itu, PMII harus tetap meneguhkan jati dirnya sebagai organisasi ‘protes’ dan ‘student movement’ sesuai dengan apa yang selama 43 tahun telah dilakoni PMII.
Akar dan tradisi ‘protes’ di PMII bisa kita telusuri dari sejak tahun 17 April 1960 hingga sekarang. PMII lahir dari sebuah keyakinan bahwa kekuatan mahasiswa itu pada kekuatan daya penalarannya (student power of the reason), namun bukan berarti mahasiswa hanya menjadi pekerja otak (knowledge worker) semata, atau terjerumus pada aksi-aksi temporer (berorientasi kekuasaan dan vested interest) tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan, melainkan harus memiliki keteguhan untuk tidak pernah bosan mengabdikan dirinya kepada masyarakat langsung, demi tegaknya keadilan, kebenaran, kejujuran, kemakmuran, penegakan hak asasi manusia, dan demokrasi. Karena itu, PMII dilahirkan untuk menerapkan prinsip; ilmu untuk diamalkan bukan ilmu untuk ilmu itu sendiri. Tak heran jika diawal kelahirannya, PMII memprotes keras keangkuhan gelar kesarjanaan sebagai ukuran superiortas mahasiswa atas kelas sosial lainnya
…penguasaan lmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu agama, filsafat, eksakta, sosial maupun ekonomi. Kesarjanaan belumlah dengan sendirinya merupakan nilai yang selesai, bilamana tidak disertai dengan tindakan-tindakan riil bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat…’ (Effendi Choiri; 1991).
Implementasi PMII sebagai organisasi ‘protes’ akan semakin terlihat dalam beberapa kebijakan organisasi di bawah ini. Pertama, Deklarasi Tawang Mangu, Desember 1961, tentang sosialisme religius, nasionalisme dan sosialisme Indonesia. Menurut PMII Islam tidak berseberangan dengan sosialisme dan revolusi Indonesia, sebab sosialisme bagi PMII merupakan :
“…tidak lain daripada sosialisme yang berdiri secara khidmat di atas Pancasila, berikap dan bertindak menurut garis tuntutan Allah SWT., dan cenderung pada pembagian kenikmatan hidup secara adil dan merata serta meninggalkan taraf hidup rakyat miskin, sebagai suatu kewajiban moral yang amat tinggi nilainya dan tidak mungkin ditangguhkan lagi… PMII insyaf dan yakin pula bahwasannya keadilan hanya bisa dicapai dengan berpegang teguh kepada moral agama Islam, mengganti segala rupa penipuan dengan kebenaran, kejujuran dan keadilan….PMII dengan sifat patriotisme nasional yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam dan sifat taqwa kepada Allah SWT., dan keharusan cinta kepada tanah air, telah bertekad dan berdaya upaya membangun sosialisme Indonesia pengejawantahan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta di atas runtuhan kemiskinan rakyat yang tak terhingga, di atas runtuhan daripada kebohongan-kebohongan dan penipuan, di atas runtuhan daripada ketakutan dan ketidak adaan jaminan hukum, di atas runtuhan daripada kebohongan dan dekadensi moral…”.
Sosialisme religius yang dikembangkan PMII dalam konteks struktur (Deklarasi Tawang Mangu, point ke-3 tentang Sosialisme Indonesia), tak lain dan tak bukan adalah
“….sosialisme Indonesia dalam artian struktur tidak bisa lain daripada adanya pemerintahan yang stabil dan berwibawa sebagai pemimpin segala kerja dan daya cipta seluruh rakyat Indonesia dengan berpedoman kepada pengabdian rakyat banyak, berpegang teguh pada penghormatan mutlak hak-hak asasi manusia, demokrasi dalam bentuk hikmah kebijaksanaan musyawarah, tidaklah bisa lain daripada penyusunan tata perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan gotong-royong atau ta’awun, dimana cabang produksi yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, termasuk bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat itu sendiri, sedangkan cabang produksi dan ekonomi yang bersifat menengah ringan diserahkan kepada pihak masyarakat sendiriuntuk melaksanakannya sambil dibebani pertanggungjawab sosial yang maksimum…”.
Jauh sebelum kader PMII bersentuhan dengan pemikiran Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Arkoun, dan beberapa kelompok pemikir “kiri” dalam dunia Islam lainnya, sosialisme Indonesia yang berbasiskan religiusitas Islam telah diterima di PMII dan diperjuangkan dalam ranah struktur ataupun kultur. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan sejenis masih berkutat dalam politisasi Islam dan kecenderungan menolak Pancasila sebagai dasar negara, serta kehendak menggantikannya dengan Piagam Jakarta. Ini sungguh sikap “protes” yang luar biasa PMII atas kehendak Islamisasi negara, “…Sebagai angkatan baru, PMII insaf dan yakin sepenuhnya akan pertanggungjawab terhaap agama Islam, Negara dan Bangsa serta kesetiaan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta…”. PMII bahkan mengklaim dirinya sebagai “nasionalisme sejati” dan “pembela kaum mustadl’afin”, jauh sebelum masalah nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat tertindas di gugat habis oleh banyak kelompok Islam modernis ataupun kelompok lainnya di Indonesia, “…adalah sifat dan tanggung jawab terpuji bertindak menurut dan mengembangkan ajaran agama Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati dan berpihak kepada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta pembelaan terhadap mereka…”
Sikap non-kooperatif anti dengan kekuatan global (internasional) yang kerap sekarang ini disebut sebagai “imperialisme ekonomi”, justru telah PMII tetapkan sejak 1961, bukan saja imperialisme-kolonialisme fisik (militer) saja yang PMII tolak, bahkan imperialisme ekonomi, sosial dan budaya juga tidak PMII tolerir terjadi seluruh dunia. Jauh sebelum, para organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, kepemudaan, dan parpol-parpol Islam hari ini begitu “kencang” melakukan aksi sosial-jalanan menolak penghancuran Afghanistan dan penyerangan AS atas Irak ataupun dunia Islam lainnya, PMII justru telah menyuarakan hal itu sejak tahun ’60 an,
“…menjadi pertanggungjawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imperialisme-kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak asasi dan demokrasi yang luhur, menyokong pengembangan persahabatan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain demi untuk perdamaian dunia, berusaha keras tidak jatuhnya dunia ke kancah peperangan, melawan penindasan terhadap rakyat Indonesia dengan dalih apapun dan oleh siapapun, mendukung gerakan kemerdekaan tanah air oleh bangsa-bangsa yang masih terjajah di dunia…”.
Tak heran, jika para aktifis PMII di era ’80 dan ’90 an tidak begitu tertarik dengan wacana Islam modernis seperti, pemikir-pemikir Pan-Islamisme, Jamaluddin Al Afghani, Bduh, Rasyid Ridha, ataupun Sayyid Qutb. Justru PMII malah menceburkan dirinya dengan pergulatan Hassan Hanafie, Abed Al Jabiri, Mahmoud Toha dan pemikir Islam yang agak ke-kiri-kiri-an. Akar radikalitas pemikiran aktifis PMII sudah tertanam benar di tubuh PMII bahkan telah menjadi kultur intelektualnya. Oleh karena itu, PMII hampir tidak mengalami kesulitan cukup berarti mengadaptasikan dirinya dengan perubahan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan internasionalisasi.
Kedua, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan dan Penegasan Yogyakarta pada Kongres II dibulan Desember tahun 1963. PMII menginstruksikan kepada para kadernya harus berjiwa sosialis, demokratis, nasionalis, pejuang anti penindasan, dan revolusioner, serta meng’haram’kan kadernya apatis, isolasionis, kompromistik murahan, cepat puas, dan cepat putus asa. Implikasinya, kader PMII tidak boleh menyerahkan dirinya ‘mentah-mentah’ kepada kehendak penguasa, sekaligus tidak juga terseret pada sikap ekstrim yang mampu menggoyahkan sendi-sendi keutuhan NKRI. Keputusan ini diambil sebagai bentuk counter represifitas rezim Orla pada saat itu yang akan membabat para mahasiswa kontra (tak sepahaman dan menentang) revolusi serta menguatnya manufer-manufer politik PKI yang semakin tidak memberi ruang bagi kelompok agamis.
Dalam ranah eknomi, segala bentuk hegemoni negara atas pos-pos ekonomi (produksi) ditolak oleh PMII, padahal ketika itu presiden Soekarno semakin yakin dengan konsep NASAKOM-nya dan begitu membuka ruang yang sangat lebar buat PKI untuk menguasai posisi-posisi strategis di berbagai departemen penting negara. PMII menyerukan bahwa penumpukan bahan pokok kebutuhan rakyat sangat bertentangan dengan Islam, monopoli perekonomian, pemerasan dan mengingatkan negara bahwa cabang dan sektor produksi yang dikuasainya harus digunakan untuk kemakmuran (sepenuhnya) rakyat, bukan sebaliknya. (lihat hasil Kongres Ke-II PMII di Yogyakarta pada tahun 1963). Rupanya hal ini juga merupakan sebuah kritik atas beberapa elit partai NU yang memiliki previlige-previlige tertentu di kekuasaan untuk menumpuk kekayaan pribadi.
Dalam konteks internasional, PMII telah mengajukan kepada pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan Konperensi Islam Internasional Asia-Afrika (KIAA). Artinya, PMII tidak sepenuhnya ‘sekuler’ dalam memandang agama dalam korelasinya dengan negara dan dunia. Hal ini semakin menunjukkan, bahwa PMII tidak hanya memprotes ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga memiliki perhatian tinggi atas ‘internasionalisme’, khususnya keterbelakangan umat Islam di dunia, dimana kebanyakan mereka adalah warga masyarakat dunia ketiga.
Ketiga, Gelora Mega Mendung bulan April 1965, yang meliputi ‘gelora’ pemikiran dan gerakan PMII mengenai 5 (lima) butir masalah, yakni : ukhuwwah Islamiyyah, watak umum organisasi, berpengetahuan dan berkesadaran politik, partisipasi organisasi dalam tahap-tahap revolusioner dan tentang pondok pesantren. Disini kita bisa menilai radikalitas pemikiran organisasi kemahasiswaan yang katanya kelas intelektual masyarakat tradisional itu, bahwa watak umum organisasi mahasiswa itu adalah “…kecuali harus berpihak kepada ke-Tuhan-an, kepada sosialisme, membela buruh dan tani, mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan Nekolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk manifestasinya…”.
Begitupula dengan masalah pondok pesantren, PMII memandang bahwa pondok pesantren merupakan basis gerakan anti kolonialisme, dan tempat penggemblengan serta pendidikan untuk mensukseskan usaha nation and character building. Sosialisme Indonesia yang dimaksud PMII di era Orde Lama, tidaklah sama, berbeda dengansosialisme yang orang nasionalis, komunis ataupun aliran politik lain definisikan. Sosialisme Indonesia bagi PMII adalah “… tidak ada lain daripada masyarakat adil dan makmur, materiil dan spirituil dan diridlai Allah SWT., selian dia merupakan tujuan agama Islam.. pengejawantahan daripada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta…”. Apa yang diputuskan NU di tahun 1982 untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang final, harus diakui ada andilnya (terinspirasi) oleh pemikiran PMII di atas.
Keempat, PMII menjadi motor gerakan mahasiswa, pencetus perjuangan Ampera, dan Tritura di sepnajang tahun 1966 dan 1967. Dimulai dengan terpilihnya Zamroni (salah satu ketua PB PMII) sebagai ketua presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), PMII terlibat aktif dan menjadi motor gerakan mahasiswa membubarkan PKI, meminta penurunan harga, bubarkan kabinet, bersihkan serta parlemen dari unsur/gerakan PKI. Dari pusat hingga daerah, aktifis PMII menduduki posisi pertama di KAMI. Salah satu kredo terkenal KAMI yang banyak disitir oleh gerakan mahasiswa setelah itu adalah “Hitam kata rakyat, hitam kata PMII. Putih kata rakyat, putih kata KAMI”. Sebuah prestasi spektakuler bagi organisasi yang masih belia (lahir 1960), PMII mampu menjadi motor penumbangan Orde Lama untuk digantikan Orde Baru.
Organisasi kemahasiswaan ekstra instituter, kepemudaan, Ormas ataupun partai politik, bahkan Soekarno sendiri tentunya sangat mengenal siapakah Zamroni (Salah satu ketua PB PMII) yang dengan kekuatan orasinya mampu menggerakkan mahasiswa, pelajar dan masyarakat kecil untuk segera memaksa pemerintah membubarkan PKI, menuntut perubahan besar-besaran pada tatanan sistem pemerintahan dan politik Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945. Tak salah pak Subhan (politisi ulung NU) memilih Zamroni menjadi ketua KAMI, yang saat itu di’amini’ oleh Mahbub Djunaidi (Ketua Umum PB PMII), Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI) dan kawan-kawan.
Kelima, pengakuan akan kesetaraan gender, yang selama ini sangat digandrungi dan diperjuangkan oleh hampir seluruh organisasi perempuan di Indonesia, sudah terlebih dahulu PMII suarakan pada tahun 1966 melalui “Panca Norma PMII Putri”, hanya saja PMII menamakan gerakan kesetaraan itu dengan emansipasi bukan perjuangan gender,
“…emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada kaum wanita sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria….tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan, baik politik, sosial-ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang mendorong manusia berkeinginan, berkehendak, dan berbuat sebagai realisasi dan manifestasi daripada ajaran Islam…PMII sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa dan revolusi..”.
PMII putri juga menyerukan kepada seluruh civitas akademika diseluruh Indonesia, agar jurang pemisah antara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak, dan menempatkan organisasi kemahasiswaan sebagai jembatan emas penghubung antara keduanya. Bahkan secara kongkrit PMII putri akan mendharmabaktikan dirinya dalam seluruh bentuk kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial ekonomi, pendidikan maupun dalam perkembangan kebudayaan.
Keenam, Deklarasi Murnajati ditahun 1972, sebagai tonggak Independensi PMII terhadap partai dan organisasi apapun. Ini mungkin bentuk ‘protes’ paling besar PMII terhadap NU, ataupun dunia perpolitikan nasional di era Orde Baru. Sejak itu, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independent, tidak terikat, baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya commited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Polemik cukup tajam terjadi antara aktifis PMII yang membela ‘mati-matian’ independensi (karena tidak semua aktifis PMII setuju independensi) dan alumni PMII atau elit NU yang menyayangkan PMII ‘keluar’ dari NU. Pendewasaan dan dinamika organisasi merupakan alasan utama, diambilnya kebijakan teresbut, tetapi saya melihat bahwa independesi PMII dalam konteks dimana NU masih menjadi partai, sebenarnya tidak lebih dari rekayasa Ali Moertopo (Opsus), yang bertujuan melemahkan kekuatan NU, sebab dengan memisahkan PMII dari partai NU, maka partai NU kehilangan resources dan salah satu kaki politik yang cukup bisa diandalkan untuk mengemban amanat, nilai-nilai, dan membesarkan partai NU. Namun, terlepas pro-kontra yang melingkupinya, independensi PMII itu telah terasa benar manfaatnya bagi PMII dewasa ini, berbagai capaian strategis dan kemajuan organisasi justru terjadi secara massif dan progresif dengan PMII independen dari organisasi manapun.
Ketujuh, Pernyataan Ciloto tahun 1973. Ada beberapa hal yang cukup berani disuarakan PMII sebagai kritik atas Orde Baru. Dalam ranah ekonomi, PMII meminta agar kebijakan pemerintah mengundang modal asing untuk masuk ke dalam negeri harus berorientasi pada penciptaan (memperluas) lapangan kerja bagi pribumi dan bukan sebaliknya, perlindungan bagi pengusaha pengecer pribumi di pelosok-pelosok daerah, serta perlunya membatasi modal asing agar tidak bersifat subtansial, melainkan bersifat komplementer saja. Sedangkan dalam ranah politik, PMII memprotes perombakan struktur politik yang dijalankan pemerintah masih jauh (menyimpang) dan belum mencerminkan sepenuhnya asas-asas yang terkanung dalam UUD 1945. PMII juga mendesak pemerintah menjamin kebebasan mimbar di perguruan tinggi se-konsekwen mungkin, menghilangkan kecurigaan berlebihan terhadap aktifitas (mahasiswa) perguran tinggi dan menghindari penggunaan security approach terhadap setiap masalah (sosial-politik) yang muncul.
Meletusnya kerusuhan Malari 1974, bukanlah sesuatu yang tidak diprediksikan oleh PMII. Apa yang dimaksud dengan “Statement Ciloto”, akhir Desember 1973, adalah bentuk antisipasi PMII atas kebijakan negara yang semakin melupakan nasib pribumi, serta kecenderungan menguatnya konsolidasi para aktifis mahasiswa untuk melakukan gerakan besar menentang kebijakan itu dalam bentuk aksi-aksi jalanan seperti di tahun 1966 yang lalu. Apa yang dikhawatirkan PMII di Ciloto menjadi kenyataan, dengan meletusnya peristiwa Malari yang melahirkan Hariman Siregar sebagai salah satu tokoh utamanya.
Kedelapan, Protes PMII atas tradisi berpikir (sebagian) orang NU yang masih kolot, menolak diberlakukannya SK Menteri P dan K No. 028, yang berisi keharusan agar dalam melaksanakan kegiatannya, mahasiswa harus meminta izin rektor terlebih dahulu, memfasilitasi berbagai pertemuan almuni PMII untuk mengawali Kebangkitan NU dengan melakukan pribumisasi Islam, penyebar pluralisme dan toleransi, mengembalikan NU pada khittah-nya, ‘motor’ menerima Pancasila sebagai asas tunggal, serta memprotes hutang luar negeri pemerintah yang semakin menggunung,. Di era ‘80 an memang tidak banyak gerakan mahasiswa yang mampu bersinar terang dalam panggung-panggung ‘mitologi’ politik nasional. Sebab, sepanjang dasa warsa ini, Orde Baru telah mampu mencengkeramkan kuku kekuasaannya dengan kuat, hampir di seluruh entias politik dan sosial (masyarakat).
Namun, PMII masih melakukan hal-hal strategis yang sangat penting bagi proses radikalisasi-liberasi pemikiran dan gerakan di sepanjang dasa warsa ’90 an. Beberapa hal di atas merupakan cerminan agar PMII mulai lagi membangun kritisisme, dan mulai menjadi corong perluasan ide-ide besar Gus Dur, baik ke dalam masyarakat Islam tradisional sendiri, ataupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pada paruh terakhir dasa warsa ‘80 an, radikalisasi pemikiran aktifis PMII sudah semakin berkembang jauh, tidak hanya terbatas pada domain pemikiran keagamaan saja, tetapi semakin luas ke dalam pemikiran filsafat, dan social humaniora. Hal ini salah satunya didorong oleh semakin banyaknya kader PMII yang berasal dari perguruan tinggi umum (tak lagi terpusat di IAIN atau perguruan tinggi Islam lainnya). Begitu pula, kehadiran LkiS di akhir era ’80 an, turut mendorong liberalisasi pemikiran aktifis PMII.
Kesembilan, di sepanjang dasa warsa ’90 an, PMII meneguhkan dirinya sebagai “organisasi protes”. Sejak kepemimpinan sahabat Iqbal, jumlah pemikir muda di PMII semakin bertambah banyak. Gerakan aksi jalanan sebagai bentuk kritik atas jalannya kekuasaan mulai sering dilakukan. Aksi jalanan ini dimulai dengan gerakan sahabat Effendy Choiri (waktu itu masih menjabat Ketua Umum PMII DKI Jakarta), di bulan Juli, tahun 1990, bersama 30 aktifis PMII lainnya, melakukan demo menuntut pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas terjadinya “Tragedi Mina”, di Kedutaan Besar Arab Saudi. Aksi ini sebagai tindak lanjut dari “pernyataan dan sikap terbuka PB PMII” yang menuntut Menteri Agama RI, Munawir Sadzali mengundurkan diri dari jabatannya, karena Menag dianggap terlalu pasif, tidak responsif, tidak tegas dan terlalu lamban dalam mengambil keputuan mengenai ‘kecelakaan’ yang menimpa ribuan umat Islam Indonesia itu. Keberanian berdemonstrasi PMII ini ditunjukkan kembali saat PMII bersama Kelompok Cipayung mendatangi Kedutaan Besar Amerika, untuk menentang ‘kebrutalan’ AS dalam Perang Teluk (1991). Bahkan, Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah pada saat itu) mengomentari gerakan jalanan PMII itu dengan sebutan “Halilintar PMII”.
Di paruh awal dasa warsa ’90 an ini PMII mulai menceburkan dirinya secara aktif dalam gerakan pemberdayaan ‘wong cilik’ dan perlawanan atas rezimentasi Orde Baru, misalnya, mendemonstrasi kesewenang-wenangan birokrat kampus, penggusuran tempat tinggal rakyat, pembebasan tanah, upah buruh yang minim, tuntutan hak asasi manusia, pembubaran SDSB, tuntutan demokratisasi, keadilan, dan sebagainya. Gerakan jalanan PMII ini semakin bersinar, apa yang menimpa sahabat kita di UMI Ujung Pandang, kerusuhan Tasik, kasus Situbondo, kerusuhan etnik di Kalimantan Barat, semuanya itu tidak luput dari perhatian PMII dan disuarakan secara terus-menerus lewat aksi-aksi jalanan. Puncaknya, ketika terjadi pelengseran Soeharto dari kekuasaannya di pertengahan tahun 1998, dan lahirnya “reformasi”, PMII menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan mahasiswa tersebut.
Dalam konteks gerakan pemikiran, booming intelektual PMII mulai terjadi sejak tahun 1980 akhir sampai sekitar akhir 1990- an, dan patut dicatat bahwa, kebangkitan pemikir muda PMII itu tidak lagi dimonopoli oleh lulusan IAIN semata. Inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai era kebangkitan kelas santri terpelajar, bahkan Cak Nur (dedengkotnya HMI) meyakini bahwa Indonesia 2025 adalah milik NU (baca; PMII), ia memprediksikan bahwa saat itu, anak muda NU telah mampu menduduki pos-pos strategis bangsa, baik politik, ekonomi, maupun dalam institusi-institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Pada fase inilah, PMII mampu merumuskan sebuah paradigma gerakan (sekitar akhir 1997), yang akhirnya dibakukan di Kongres Medan (2000) menjadi Paradigma Kritis-Transformatif. Dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran Islam, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme, kritik wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan melalui jalur sosio-kultural, open society, masyarakat komunikasi, post-tradisionalisme Islam Indonesia, Islam sebagai etika sosial, Islam liberal, Islam emansipatoris, merupakan beberapa produk pemikiran yang tumbuh subur (terlahir) dari para pemikir muda (ataupun alumni) PMII.
Awal 1997, PMII menilai bahwa Kelompok Cipayung sudah tidak relevan lagi dipertahankan eksistensinya, sebab HMI sebagai salah satu anggotanya telah menjadi bagian terpenting dari kekuasaan rezim Orde Baru. Oleh karena itu, PMII bersama dengan GMNI, PMKRI, GMKI, GAMKI, Pemuda Demokrat, IPNU dan IPPNU membentuk Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI). FKPI menilai bahwa Kelompok Cipayung telah ditinggalkan sejarah, dan tak lagi mampu mengkritisi (melakukan counter gerakan) atas etatisme negara dan politisasi agama. FKPI lahir sebagai jawaban atas kehendak bersama dalam upaya menciptakan (mendorong terbentuknya iklim kondusif) revitalisasi wacana dan wawasan kebangsaan Indonesia yang selama ini telah dimonopoli oleh rezim Orde Baru. Tafsir tunggal penguasa Orde Baru atas rasa, semangat dan wawasan kebangsaan Indonesia inilah yang dinilai oleh FKPI sebagai ‘biang kerok’ terjadinya konflik SARA di beberapa daerah (Situbondo, Tasik dan Sambas) Indonesia, ‘mandulnya’ gerakan demokrasi politik dan ekonomi, hilangnya kepastian hukum, dan sebagainya.
Begitu pula dalam ranah pluralitas kehidupan keagamaan Indonesia, PMII dinilai berperan penting bagi pembumian ‘teologi toleransi’ yang memayungi keharmonisan hubungan antar agama dalam kaitannya mengikis hegemoni negara atas agama. Hampir di seluruh forum komunikasi antar agama di Indonesia, selalu terdapat didalamnya aktifis PMII yang terlibat intens di berbagai pertemuan, aktifitas kemanusiaan, dan dalam setiap upaya pencarian model keberagamaan yang paling ideal (sesuai) dalam konteks keindonesiaan. Tak terbilang jumlahnya kader PMII yang begitu karib dengan para romo, pendeta, bunsu, biksu serta para tokoh agama lain untuk bersama-sama menyuarakan keadilan, toleransi, keterbukaan, demokrasi, pemberdayaan civil society, dan sebagainya diberbagai kesempatan dan aktifitas bersama.
Akhirnya, paparan di atas sebenarnya sudah cukup modal bagi PMII untuk mendeklarasikan dirinysa sebagai “organisasi protes”. Tidak hanya protes sosial, melainkan juga seluruh bangunan pemikiran, kebudayaan, ekonomi, keagamaan, sisem kenegaraan, maupun kapitalisme global yang tidak humanis, menindas, membungkam kebebasan (kemerdekaan) individu, mengingkari nilai-nilai kebenaran dan keadilan universal, anti perubahan (jumud), dan terlalu mendewakan materi (capital). Oleh karena itu, semuanya diserahkan kepada publik luas, apakah kritisisme (pemikiran maupun gerakan), dan tradisi ‘protes’ itu masih terus ‘menyala’ di PMII ataukah justru telah mengalami titik balik menuju degradasi besar-besaran ?. wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Free Market Of ideas will make it wonderfull mind

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya