Cari Blog Ini

Selasa, 10 Agustus 2010


PARADIGMA TEOLOGI PEMBEBASAN:
SUATU UPAYA REFORMULASI TEOLOGI ISLAM
Fawaizul Umam

A. Pendahuluan
Adalah fakta bahwa kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan,
ketertindasan, ketidakadilan, dan semacamnya hingga tingkat tertentu masih
merupakan realitas keseharian sebagian besar umat Islam di banyak belahan
dunia, tak terkecuali di Indonesia. Banyak hal bisa dituding sebagai sebab, baik
berupa anasir absolut maupun struktural-sistemik. Namun, terlepas apapun
prime cause dari realitas dimaksud, impotensi umat Islam menghadapi kenyataan
itu tentu ironis demi menyadari betapa sesungguhnya Islam sarat akan spirit
revolusioner, nilai-nilai moral yang membebaskan, yang mendorong ke arah
terciptanya tatanan hidup yang lebih baik, layak, dan manusiawi.
Banyak alasan yang bisa disebut mengapa ketakberdayaan itu tak kunjung
usai. Salah satunya ialah ketiadaan motivasi religius. Sejauh menyangkut élanvital
ajaran Islam sendiri, fakta ketakberdayaan umat itu memang berkait rekat
dengan ketiadaan motivasi religius yang mampu berperan sebagai motivator
perubahan, yang berperan transformatif dan menggerakkan mereka untuk
membebaskan diri dari serimpung realitas sosial tak mengenakkan. Di situ
kuncinya. Ketiadaan motivasi religius itu membuat apa yang disebut
transformasi sosial1 nyaris tak pernah berlangsung secara signifikan di dunia
Islam, termasuk Indonesia!
Dalam kerangka itulah studi ini bermaksud menggagas suatu reformulasi
paradigmatik dari apa yang dikehendaki di sini sebagai teologi Islam
transformatif-membebaskan. Studi ini sendiri merupakan sebuah library research
(penelitian kepustakaan). Ia dilangsungkan dengan desain library research
(penelitian kepustakaan). Data critically dipulung dari berbagai sumber, antara
lain teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengandung spirit pembebasan,
literatur yang berkait langsung dengan wacana teologi pembebasan Amerika
Penulis adalah dosen fakultas Dakwah IAIN Mataram
1Pengertian ‘transformasi sosial’ yang digunakan untuk menyemangati tulisan ini ialah
perubahan sosial yang terencana (planned social change), yakni proses perubahan yang didesain
secara sengaja, ada penentuan strategi dan penetapan tujuan. Less dan Presley menyebut
rekayasa sosial (social engineering), perencanaan sosial (social planning) oleh M.N. Ross, bahkan
secara agak berbeda Ira Kaufman mengistilahkannya manajemen perubahan (change
management). Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi? (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1999), 45-6.
Reformulasi Teologi Islam
2
Latin,2 aneka buku/kitab yang mengungkap realitas teologi Islam klasik (‘ilm alkalâm),
dan yang mengulas beragam discourse seputar sosialisme, kapitalisme,
dan marxisme. Proses akumulasi data dilakukan dengan penggunaan content
analysis (analisis isi) untuk selanjutnya, setelah terhimpun, didekati secara kritis
dengan metode hermeneutik3 dan deskriptik.
B. Mencari Motivasi Religius
Kebutuhan akan motivasi religius dimaksud secara khusus menunjuk
pada eksistensi teologi-teologi anutan umat―yang merupakan manifestasi
ajaran dasar Islam hasil derivasi para mutakallimûn dari teks-teks suci (al-Qur’an
dan al-Sunnah), yang sebagai wacana historis telah mengeras menjadi “ilmu”
tersendiri, ‘ilm al-kalâm (atau ‘ilm al-tawhîd, ‘ilm ushûl al-dîn, ‘ilm al-‘aqâ’id).
Penunjukan itu bukan hanya lantaran teologi (baca: tawhîd) merupakan alas
fundamental seluruh ajaran Islam, tapi lebih jauh karena konstrukparadigmatik
suatu teologi anutan pada dasarnya menentukan cara pandang
dan pola pemahaman umat atas realitas sekaligus juga pembacaan akan pesanpesan
ajaran. Dan itu artinya secara langsung bakal memberi impact pada
pilihan performa penyikapan mereka terhadap realitas di dataran praktis.
Dengan lain kata, suatu konstruk teologi tidak hanya memberi suatu cara
pandang eskatologis, melainkan juga memberi implikasi sosiologis.
Namun, apa hendak dikata, sejauh urgensi teologi sebagai motivasi
religius itu menunjuk pada teologi Islam klasik kita pun segera tahu betapa
warisan kalâm Abad Pertengahan itu secara paradigmatik tidak transformatifmembebaskan
dan karena itu inadequate sebagai suatu motivasi religius yang
revolusioner bagi kemanusiaan. Logis saja, karena apa yang secara
2Pilihan atas discourse teologi pembebasan Amerika Latin tersebut berkait rekat dengan
statusnya di penelitian ini sebagai pra-konsepsi―suatu hal niscaya dalam penghampiran
hermeneutik. Dalam hal ini beberapa karya jadi acuan utama, antara lain Antonio M. Pernia,
“The Kingdom of God in the Liberation Theology of G. Guti駻rez, L. Boff, and J.L.
Segundo,” dalam DIWA: Studies in Philosophy Theology, Vol. XIII No. 1 (Mei, 1988): 30-7;
Denis Carroll, What is Liberation Theology? (Sidney: E.J. Dwyer, t.th.); Gustavo Guti駻rez, A
Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (Maryknoll: Orbis Books, 1973); dan Hugo
Assmann, Practical Theology of Liberation (London: Search Press Limited, 1975).
3Secara metodologis, kerangka hermeneutik yang dipakai adalah hermeneutics theory
(dengan sedikit sentuhan pola hermeneutics philosophy) seraya menahan diri untuk tidak
melibatkan hermeneutics critique. Lihat relevansi pengenaannya, terkhusus pada Josef Bleichert,
Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy, and Critique (London: Routledge
and Kegan Paul, 1980). Karena itu, konteks penggagasan apa yang disebut di sini sebagai
(paradigma) teologi Islam transformatif-membebaskan lebih terfokus pada upaya reformulasi
doktrin-doktrin teologis berdasar produksi makna baru yang secara hermeneutis diderivasi
dari teks-teks suci (al-Qur’an dan/atau al-Hadits). Di situ, pemaknaan atas teks tidak
terutama diarahkan untuk mengkritisi dan/atau mendekonstruksi aneka produk pemahaman
interpretatif atas teks yang selama ini ada, tetapi untuk suatu pemaknaan baru (produksi
makna) sejalan dengan realitas kekinian yang teralami. Lebih lanjut lihat operasionalisai
pengenaan metode ini pada sub Hermeneutik sebagai Rangka Kerja di tulisan ini.
Antologi Tesis
3
paradigmatik dikembangkan teologi kalâm klasik itu adalah trend teosentris.4
Tuhan dan ketuhanan (theos) menjadi core teologis. Jadi wajar bila concern
utamanya adalah “bagaimana mengenal Tuhan untuk memahami
kenyataan”―dan bukan sebaliknya, “memahami kenyataan untuk mengenal
Tuhan”. Dengan pemusatan diskursus terutama pada Tuhan dan ketuhanan,
sudah barang tentu teologi semacam itu (hanya) relevan sebagai alas struktur
dari religiusitas yang “membela” Tuhan, bukan manusia. Untuk konteks zaman
pertengahan Hijriyah, ketika era formatif Islam masih berlangsung, boleh jadi
ia menuai signifikansinya. Namun, untuk konteks hari ini, tatkala aneka
“anomali” realitas umat kini lebih bersifat sosial daripada individual,5 masihkah
trend teologis semacam itu memadai untuk memotivasi umat guna
melangsungkan perubahan dan membalik kenyataan? Tampaknya, tidak.
Lalu bagaimana mungkin menyelenggarakan perubahan-perubahan
sosial-transformatif tanpa suatu kesadaran teologis yang secara paradigmatik
bersifat transformatif pula? Hubungan keduanya bersifat niscaya, mau tak mau.
“Tidak ada tindakan revolusioner tanpa teori revolusioner!” ujar Vladimir Ilyic
Ulyanov.6 Mustahil akan berlangsung suatu tindakan revolusioner tanpa
didukung oleh suatu teori revolusioner. Di sinilah teologi sebagai suatu refleksi
teoretis atas ajaran berperan determinan dalam mempengaruhi perubahan.
Maka tak pelak, untuk konteks Islam, teologi menjadi pintu utama bagi seluruh
rintisan ikhtiar transformasi sosial di dunia Islam.
Namun, itu bukanlah perkara gampang. Terlebih mengingat angan-angan
tentang kemajuan peradaban Islam selama ini tidak beranjak dari
kecenderungan idealisasi ke masa lalu. Fakta-fakta tempo doeloe, tepatnya era
Madinah pasca-Hijrah, cenderung didudukkan sebagai rujukan kebenaran
tunggal dalam berislam. Mengutip identifikasi Arkoun, di situlah letak
persoalan mengapa geliat pemikiran Islam nyaris tak pernah berlangsung
revolusioner. Sebab, tambahnya, apabila revolusi di mana-mana meniscayakan
pemisahan dengan masa lalu, revolusi Islam justru mengakomodasi dan
4Bila dipilah sekurangnya terdapat tiga paradigma dari teologi-teologi anutan umat
Islam hari ini yang pada prinsipnya sama berkecenderungan teosentris, yakni (1) tradisional,
(2) rasional, dan (3) “fundamentalis”. Secara umum ketiganya mendasarkan derivasi
keyakinan teologisnya pada khazanah kalâm klasik, yakni yang pertama pada Jabariyah,
As‘ariyah, dan Maturidiyah (sayap Bukhara); sedang yang kedua pada Qadariyah, Mu‘tazilah,
dan Maturidiyah (Samarkand); dan yang ketiga pada Khawarij. Bdk. dengan pemetaan
Mansour Faqih, “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad Suaedy (eds.), Spiritualitas Baru:
Agama dan Aspirasi Rakyat (Jogjakarta: Institut Dian/Interfidei, 1994): 203-42. Khusus untuk
relevansi pelekatan label neo-Khawarij terhadap kelompok-kelompok Islam “fundamentalis”,
lihat Said Agiel Siradj, Ahlussunnah wal Jama‘ah dalam Lintas Sejarah (Jogjakarta: LKPSM,
1997), 7-8.
5Untuk pemaknaan problem individual dan bedanya dengan problem sosial berikut
probabilitas aksi solutifnya, lihat Rakhmat, Rekayasa…, 54-82.
6Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiyawati Al Khattab (Jogjakarta: LKíS,
2000), 296.
Reformulasi Teologi Islam
4
menomorsatukan masa lalu.7 Ringkas kata, kelindan ghirah idealisasi ke masa
Islam awal dulu tersebut dengan ketiadaan motivasi religius yang revolusioner
tadi menjadi faktor utama pembuntu proses transformasi sosial umat.
Di konteks itulah tulisan ini merebahkan niat baiknya, yakni menggagas
suatu teologi yang secara epistemologis dapat digunakan sebagai suatu
paradigma8 untuk membaca sekaligus memaknai kenyataan, dan secara khusus
tentu saja sebagai suatu motivasi religius untuk mentransformasikannya. Ini
mendesak demi menyadari realitas faktual umat yang secara sosial umumnya
menyedihkan di satu sisi dan relatif minusnya motivasi religius mereka dalam
menyikapinya di sisi beriringan. Karena itu tawaran suatu cara baru berteologi
yang terutama “mengabdi” pada masalah kemanusiaan (antroposentris) “yang
di sini” ketimbang membela Tuhan (teosentris) “yang di sana” menjadi niscaya
sebagai suatu rangka pikir untuk memahami kenyataan sekaligus suatu motivasi
religius untuk membalik-mengubahnya menjadi lebih baik.
C. Menggeser Paradigma Teologi
Urgensi dari penghadiran suatu konstruk teologi yang secara
paradigmatik transformatif dan membebaskan bertolak dari postulat bahwa
élan-vital Islam pada dasarnya adalah revolusi kemanusiaan dan ide-ide
pembebasan merupakan salah satu major themes of Islam. Ide-ide dimaksud
berhulu terutama pada tiga gagasan revolusioner Islam, yakni al-‘adâlah9
(keadilan), al-musâwah10 (egalitarianisme; kesetaraan; persamaan derajat), dan alhurriyah11
(kebebasan). Tiga ide tersebut dalam konteks teologi yang
transformatif menghendaki perlunya redefinisi makna teologi.
Selama ini teologi lazim dimaknai sebagai suatu diskursus seputar
Tuhan.12 Namun, dalam kerangka paradigma transformatif, teologi semestinya
7Lihat Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Ushûlî wa Istihâlat al-Ta’shîl, Nahwa Târîkhin
Akhar li al-Fikr al-Islâmî (London: D穩 al-S穢・ 1999), 115.
8Yang dimaksud paradigma (paradigm) di sini ialah konstelasi teori, pertanyaan,
pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan/atau tema pemikiran.
Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan situasi sosial,
untuk memberi kerangka konsepsi dalam memaknai realitas. Kekuatan suatu paradigma
terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara melihat
sesuatu, apa yang dianggap masalah, apa masalah yang sekiranya bermanfaat untuk
dipecahkan, dan apa metode yang sepatutnya kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Selengkapnya, untuk ulasan seputar paradigma, lihat Thomas Kuhn, The Structures of Scientific
Revolution (Chicago: the University of Chicago Press, 1970).
9Pendasaran normatifnya, antara lain, Qs. al-Had禔 (57): 25; al-Nis’_ (4): 40; dan al-
Hujur穰 (49): 9.
10Lihat, misalnya, Qs. al-Isr’_ (17): 70.
11Bahkan kemerdekaan dalam memilih agama, Qs. al-Baqarah (2): 256.
12Dalam sejarah keilmuan Islam terungkap bahwa apa yang dimaksud ‘ilm al-kalâm
(baca: teologi Islam) tak lain adalah ilmu yang memusatkan pembicaraannya pada dan tentang
Tuhan dengan segala dimensinya. Taruh missal, soal wujudNya, sifat-sifatNya,
perbuatanNya, dan semacamnya; juga soal relasi Tuhan dengan alam semesta dan manusia,
seperti proses terjadinya atau penciptaan alam, kebijaksanaan dan keadilan Tuhan, qada’ dan
Antologi Tesis
5
tidak lagi dipahami (semata-mata) sebagaimana pemaknaan yang dikenal dalam
wacana kalâm klasik itu, yakni suatu diskursus tentang Tuhan yang sangat
teosentris, yang secara etimologis merujuk pada akar kata theos dan logos. Ia
seharusnya dimaknai dan dipahami sebagai sungguh-sungguh ‘ilm al-kalâm,
ilmu tentang perkataan. Tuhan dalam hal itu tercermin dalam kata logoly, sebab
person Tuhan tidaklah tunduk pada ilmu.13
Sebagai ilmu perkataan, teologi merupakan ilmu tentang analisis
percakapan, dan sebagai bentuk ucapan sekaligus sebagai konteks, ia adalah
pengertian yang mendasarkan diri kepada iman. Karena itu teologi,
sebagaimana antropologi, juga bermakna ilmu-ilmu tentang manusia,
merupakan tujuan perkataan sekaligus sebagai analisis perkataan. Alhasil,
teologi merupakan ilmu kemanusiaan dan bukan ilmu ketuhanan.14 Secara
filosofis, teologi yang beralih locus theologicus-nya ini menegaskan diri bahwa ia,
dalam kerangka hermeneutik, bukanlah suatu discourse yang sacred (sakral),
melainkan ilmu yang systematically tersusun secara kemanusiaan dan karenanya
profane. Di tingkat praktis ia merefleksikan aneka konflik sosial-ekonomipolitik,
dimana setiap kelompok sosial dalam komunitas yang berkeyakinan
teologis membaca interest-nya masing-masing dan mempertahankannya dalam
sistem kepercayaannya itu.
Pemaknaan teologi sebagai sungguh-sungguh ‘ilm al-kalâm memberi
alasan logis bagi pemindahan locus theologicus-nya dari ‘krisis iman’ menuju
‘krisis kemanusiaan’. Karena itu secara paradigmatik ia menjelma menjadi
teologi antroposentris, suatu teologi yang lebih bersifat praksis sosialtranformatif.
Pengalihan locus ini berangkat dari satu postulat bahwa wahyu
(teks al-Qur’an) pada dasarnya adalah “penjelmaan” Tuhan; melaluinya Tuhan
sesungguhnya sedang bercerita tentang entitas Dirinya dengan menjadikan
manusia (dan ide kemanusiaan) sebagai subyek cerita. Dan pada saat yang sama
Ia menjadikan manusi sebagai obyek, kepada siapa Tuhan bercerita. Itulah
mengapa ide kemanusiaan Tuhan merupakan gagasan dasar dari keseluruhan
ceritaNya (baca: agamaNya, Islam). Tegasnya, secara normatif pendasaran
teologis dari redefinisi ini kukuh berlandas pada ide-ide kemanusiaan (dalam
al-Qur’an juga praksis Muhammad saw [al-Sunnah]) yang sebenarnya
merupakan tema inti dan utama dari keseluruhan ajaran Islam.
‘Alâ kulli hâl, pengalihan locus itu bersifat harus, karena paradigma teologi
Islam klasik dengan lokus theos relatif masih bersifat mikro, mengutamakan segi
individual belaka. Padahal soal-soal kemanusiaan dewasa ini telah bersifat
makro, berkait rekat dengan berbagai penyelenggaraan struktur dan sistem
dalam masyarakat. Ini sejalan dengan motif dasar paradigma teologi berlokus
qadr; termasuk ke dalam konteks hubungan Tuhan dengan manusia adalah pengutusan para
rasul, penerimaan wahyu, dan berita-berita alam ghaib, misalnya tentang alam akhirat.
13Logika pemaknaannya mengekor Hassan Hanafi, Agama, Ideologi, dan Pembangunan,
terj. Shonhaji Sholeh (Jakarta: P3M, 1991), 7.
14Ibid.
Reformulasi Teologi Islam
6
anthropos dalam suatu tataran sosial praktis, yakni transformasi dunia dan/atau
masyarakat. Pada studium inilah shifting paradigm (pergeseran paradigma)
diharapkan berlangsung.15
Tuntutan selanjutnya dari redefinisi teologi ialah merumuskan ulang
konsep-konsep (doktrinal) teologis agar sejalan dengan semangat
pembebasannya. Pada prinsipnya, reformulasi ini merupakan suatu proses
reflektif-kritis secara teologis yang berlandaskan hasil pemaknaan teks (al-
Qur’an dan hadits) dan pemahaman konteks kekinian (realitas aktual-faktual).
Dalam hal ini, setidaknya, terdapat tiga konsep teologis yang mendesak untuk
dirumus-ulang dalam kerangka paradigma transformatif yang berpihak pada
kepentingan pembelaan dan pembebasan kaum mustdl‘afîn.16 Pertama, konsep
Tawhîd. Pada dasarnya konsep ini merupakan doktrin pokok dalam
keseluruhan teologi Islam klasik. Di sini ia merupakan sintesis dari dua
polaritas trend paradigmatik dari teologi klasik, tradisionalisme dan modernisme
(rasionalisme?). Terdapat dialektika antara kebebasan manusia (free will, free act)
seperti digagas teologi-teologi rasional dan ketentuan mutlak di luar manusia
(predestinasi Tuhan) sebagaimana diidekan teologi-teologi tradisional.
Dialektika itu menunjuk pada faktor di luar keduanya, yaitu sistem dan struktur
yang menindas. Manusia dengan segala potensinya sebagai pusat yang
mengendalikan rekayasa sejarah (historical engineering) dapat melakukan
perubahan dengan mendudukkan sejarah sebagai esensi dari seluruh proses
perubahan.
Oleh sebab itu tawhîd harus dipahami dan diyakini sebagai penggambaran
adanya unity of godhead (kesatuan ketuhanan). Keyakinan atasnya menurunkan
konsep penegas adanya unity of creation (kesatuan penciptaan). Dalam konteks
sosial-horisontal, kesatuan penciptaan itu memberi suatu keyakinan adanya
unity of mankind (kesatuan kemanusiaan). Kesadaran teologis akan kesatuan
kemanusiaan menegaskan bahwa tawhîd menolak segenap bentuk penindasan
atas kemanusiaan. Dalam konteks Islam, kesatuan kemanusiaan itu
menghendaki adanya unity of guidance (kesatuan pedoman hidup; al-Qur’an dan
hadits) bagi orang-orang Mukmin. Dengan demikian tawhîd secara konseptual
15Pengalihan locus teologis dimaksud pada dasarnya adalah menghindarkan teologi yang
melambari konstruk mentalitas umat dari kecenderungan ahistoris. Untuk itu, agar
berkesadaran historis, ia―dengan segenap anasir normatif-metafisisnya―musti dihadapkan
dan/atau didialogkan dengan persoalan-persoalan riil di dataran historis-lokal. Sebab,
mengutip Abdullah, selagi teologi tidak atau kurang memahami relasi dialektis antara
historisitas al-Qur’an dan normativitasnya, maka sulit diharapkan terjadi pergeseran
paradigma dalam the body of knowledge (bangunan pengetahuan) wacana teologi Islam klasik.
Lihat M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1995), 91.
16Untuk elaborasi lebih lanjut seputar reformulasi tiga konsep teologis tersebut, lihat
tesis penulis tepatnya di rentang halaman 91-108.
Antologi Tesis
7
memberi arahan kepada adanya unity of purpose of life (kesatuan tujuan hidup),
bergerak menuju muara tunggal, Allah swt.17
Pemahaman tawhîd sedemikian tidak hanya diarahkan secara vertikal
untuk membebaskan manusia dari ketersesatan dalam bertuhan (‘aqîdah
wahdaniyah), tapi juga secara sosial-horisontal dikehendaki berperan sebagai
‘aqîdah taharruriyah, teologi yang membebaskan manusia agar terlepas dari
seluruh anasir penindasan. Cita pembebasan manusia dari ketertindasan,
karena itu, merupakan salah satu ‘aqîdah ilâhiyah. Elaborasi lebih jauh dari
pemahaman tawhîd semacam ini menuntut pula redefinisi terhadap entitas
makna îmân, nilai kufr dan sebutan kâfir,18 dan pada akhirnya reposisi entitas
makna ‘Islam’ dan ‘Muslim’ searah dengan kepentingan praksis pembebasan.
Kedua, konsep Keadilan Sosial. Pengedepanan konsep ini bertolak dari
kesadaran bahwa ketidakadilan sosial (kemiskinan, keterbelakangan,
kebodohan, eksploitasi, diskriminasi, dan dehumaisasi) merupakan produk dari
suatu proses sosial via struktur dan sistem yang tidak adil, yang terjadi lantaran
proses sejarah manusia. Artinya, realitas sosial yang tidak adil bukanlah
predestinasi Tuhan (taqdîr), seperti umum diyakini teologi-teologi tradisional,
melainkan hasil dari proses sejarah yang by design, disengaja. Bukan pula belaka
akibat “ada yang salah dalam bangunan mentalitas-budaya manusia,” seperti
keyakinan teologi-teologi rasional, melainkan imbas langsung dari
diselenggarakannya sistem dan struktur yang tidak adil, eksploitatif, dan
menindas.
Dalam diskursus teologi Islam klasik tema tersebut cenderung
terkesampingkan. Wacana keadilan, misalnya, dalam teologi klasik cenderung
terfokus semata pada perbincangan soal-soal keadilan Tuhan (al-‘adl).
Sebaliknya, dalam teologi reformulatif ini, ia justru menempati posisi sebagai
prime theme (tema utama), menjadi satu bagian penting dari keseluruhan konsep
teologisnya.
Kemudian ketiga, konsep Spiritualitas Pembebasan. Konsep ini
merupakan konkretisasi dari proses refleksi kritis atas realitas manusia (umat)
di satu sisi dan atas élan-vital Islam sebagai agama pembebasan di sisi lain.
Proses reflektif itu bermuara pada satu titik: spiritualitas pembebasan. Ialah
yang sesungguhnya mewarnai seluruh bangunan paradigmatik teologi Islam
yang transformatif dan membebaskan ini. Pembebasan (liberation, tahrîr) dalam
kerangka spiritualitas tidak hanya diarahkan pada struktur-sistem yang
menindas, tapi juga secara terus-menerus pada upaya membebaskan manusia
dari hegemoni wacana tertentu berupa produk pemikiran keagamaan tertentu,
misalnya spiritualitas ini harus senantiasa mengambil tempat dan peran aktif
dalam proses kontekstualisasi teks-teks keagamaan atas konteks kekinian.
17Bdk. dengan pemaknaan senafas oleh M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula
Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan, 1998), 109-10.
18Lihat Farid Esack, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious
Solidarity against Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 114-25,134-44.
Reformulasi Teologi Islam
8
Pengenaan spiritualitas pembebasan itu secara khusus bertujuan agar
aspek religius dari gagasan teologi dimaksud tidak hilang sekaligus eternalitas
nilai-nilai transendensinya tak terabaikan. Oleh sebab itu, selain menumpukan
diri pada gagasan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar, ia juga menekankan
pada pemaknaan kontekstual dengan realitas kekinian (segenap bentuk social
malaise). Akhirnya di wilayah praksis, aktualisasi atau manifestasi teologi
reformulatif ini membutuhkan keterlibatan aktif dari kaum tertindas sendiri.
Tanpa itu, bisa dipastikan ia akan gagal menjadi motivasi religius yang betulbetul
transformatif dan berdaya membebaskan. Pelibatan aktif mereka itu
terlepas model manajemen gerakan apapun yang pada akhirnya diambil.
Dengan berteologi secara demikian kita bisa memulai berharap
munculnya realitas sosial kemanusiaan yang lebih menggembirakan. Dalam
pada itu Islam sebagai entitas nilai maupun agama (organized religion) akan
benar-benar hadir sebagaimana spirit genuine-nya sebagai agama yang
membebaskan. Sebab, di sana ia mengemuka lebih sebagai verb (fi‘l) daripada
sebagai noun (ism),19 yang bergerak dinamis-inspiratif mengarah pada upaya
perwujudan-pemenuhan keadilan sosial. Hal itu memungkinkannya hadir
sebagai entitas yang berdaya melakukan pembebasan dan tidak justru
memperkokoh diri sebagai institusi penindas, langsung maupun tidak. Melalui
rekonstruksi teologis sedemikian, Islam sebagai entitas ajaran niscaya
mengambil jalan “mengubah dunia untuk mengubah manusia” dan bukan
“mengubah manusia untuk mengubah dunia”.
D. Hermeneutik sebagai Rangka Kerja
Selanjutnya paradigma teologi Islam transfromatif-membebaskan yang
mewujud dalam refleksi teologis tersebut direbahkan ke tingkat praxis20 melalui
apa yang disebut lingkar hermeneutik (hermeneutical circle). Hermeneutik21
19Bdk. dengan redefining Esack atas ‘Islam’. Ibid., 126-34.
20Term praxis mengandung makna aksi (kiprah) manusia yang mencipta perubahan
teori (konsep) untuk kemudian mempengaruhi cara ber-aksi kembali. Disebut-sebut
diintroduksi mula-mula oleh Karl Marx. Lihat F. Wahono Nitiprawira, Teologi Pembebasan:
Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), 10.
21Ada aneka pengertian, tapi konsepsi dasarnya tersepakati sebagai suatu proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi ‘mengerti’. Lihat Richard E. Palmer,
Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer (Evanston:
Northwestern University Press, 1969), 3. Secara kategoris hermeneutik terpilah pada tiga,
yakni sebagai metode, filsafat, dan kritik. Kategori pertama memfokuskan bahasannya selaku
metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (geistesswissenchaften); yang kedua lebih menekankan
pada status ontologis ‘memahami’ itu sendiri; sedang yang terakhir, mengarahkan penyisiran
pada penyebab adanya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi. Lihat Josef Bleichert,
Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique (London: Routledge
and Kegan Paul, 1980), 1. Prinsipnya ia adalah ilmu dan/atau teori metodis tentang
penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciri-cirinya, baik secara objektif (arti
gramatikal kata-kata dan variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Teks-teks
yang dihampiri terutama berupa teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks kitab
suci (sacred scripture). Selengkapnya lihat Kurt F. Leidecker, “Hermeneutics,” dalam Dagobert
Antologi Tesis
9
dikendarai bukan cuma untuk membaca kenyataan, tapi sekaligus juga sebagai
titik tolak mengubah struktur kenyataan dalam suatu proses yang utuhintegral,
22 karena itu mau tak mau ia musti pula bersemangat pembebasan.23
Untuk kepentingan tersebut gagasan hermeneutik di sini membangun
nalar epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar24 (lihat
BAGAN 1). Seluruh proses dimulai dengan bertolak dari realitas yang dialami,
yang dihadapi―yang berada di “alas struktur” (fundamental structure). Melalui
cara mengalami yang baru, kaya, dan mendalam, proses tahap pertama
dilakukan dengan merumuskan realitas. Bagaimana wujud hasil perumusan
realitas akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami.
Hal itu sangat terkait dengan ketepatan analisis sosial yang dipilih untuk
membaca realitas dan keterlibatan penafsir (khususnya, para mustadl‘afîn
sendiri). Itulah mengapa, gerak melingkar tahap pertama ini sekurangnya
menegaskan keterlibatan dan/atau kedekatan penafsir dengan konteks realitas
sebagai syarat mesti. Penafsir (intelektual) yang baik adalah yang lebih jauh
aktif terlibat dalam proses-proses sosial. Proses refleksi teoretis menuntut aksi
sistematis. Sebab, mengutip Freire,25 refleksi tanpa aksi akan berujung pada
D. Runes, Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams & Co., 1976), 126.
Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud dengan exegesis―atau tafsîr dalam
khazanah Islam. Lihat Nasr Hamid Abu-Zayd, Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa Liyyât al-Ta’wîl (Al-D穩
al-Baydl’_: Al-Markaz al-Tsaq稠・al-‘Arab・ 1994), 13.
22Proses hermeneutis ini, pada saat yang sama, sebenarnya telah dilakukan pada tahap
pemaknaan teologi secara baru di atas, terkhusus dalam pembentukan kesadaran teologis di
level a postereori tentang kenyataan.
23Secara ontologis rangka hermeneutik pembebasan dimaksud disandarkan pada
pemerian Gadamer. Situasi hermeneutis, baginya, merupakan starting point ontologis dari
seluruh prilaku dan pemikiran manusia. Lihat Palmer, Hermeneutics..., 33, 42. Menurutnya,
proses hermeneutik sebagai suatu upaya interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli
yang diletakkan pengarang (the author) ke dalam teks (the text) bikinannya, tapi menampilkan
makna baru yang sesuai dengan kondisi kekinian penafsir (the reader). Tindak interpretatif
bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan sungguhsungguh
memproduksi makna (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. Sebab,
orang mustahil menghindar dari keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni
faktisitas ke-ada-annya di dunia. Tuntutan rekonstruksi makna teks adalah impossible, karena
tatkala teks itu dilepas, seketika itu pula teks menjadi otonom. Proses hermeneutik justru
menuntut dilibatkannya dimensi historis kekinian penafsir. Menanggalkan dimensi historis
diri saat menafsiri teks selain tidak mungkin juga tidak perlu, sebab justru dimensi itu yang
akan memperkaya penafsiran. Lihat Hans Georg Gadamer, Truth and Method (London: Sheed
& Ward, 1975), 264.
24Lingkar hermeneutik pembebasan ini diotak-atik gathuk dari beberapa tawaran
lingkaran dan konsep hermenuetik. Lihat dan bdk., Esack, Qur’an…, 82-6; Mohammed
Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S.
Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 15-29, 43-124; dan, John Goldingay, “The Hermeneutics of
Liberation Theology,” dalam Horizon in Biblical Theology, 11 (1989), 133-161.
25Freire menyebut kesatuan aksi dan refleksi itu sebagai praksis. Lihat Paulo Freire,
Pendidikan Kaum Tertindas, terj. Utomo Dananjaya, et. al. (Jakarta: LP3ES, 1985), 71-3.
Reformulasi Teologi Islam
10
verbalisme, dan sebaliknya, aksi tanpa disertai refleksi akan terjerembab pada
aktivisme.
Bagan 1: Lingkar Hermeneutik Pembebasan
Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya
didialogkan, dengan teks-teks suci (Qur’an dan/atau hadits) yang bertempat di
“puncak struktur” (superstruktur). Pada saat yang sama pendialogan itu harus
menghiraukan the world of the text, dunia teks (konteks dari eksistensi teks). Hal
itu, secara langsung ataupun tidak, akan menggerakkan suatu proses pemetaan
kategoris teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan realitas yang
telah dirumuskan. Dari situ gerak melingkar hermeneutis diteruskan pada
tahap interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yang telah terpetakan sejalan
dengan konteks kekinian dari realitas yang telah dirumuskan.
Pada tahap kedua tersebut interpretasi terhadap teks-teks terkait
dilakukan dengan prosedur hermeneutis berpola regresif-progresif.26 Gerak
regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa lalu. Namun,
bukan untuk memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar
teks-teks suci itu, melainkan untuk menemukan mekanisme dan faktor-faktor
historis yang melatari lahirnya teks-teks dimaksud dan memberinya
kebermaknaan kontekstual. Dalam hal itu proses pemunculan teks (baca:
pewahyuan al-Qur’an) di dalam konteks kemasyarakatan dikaji dan maknanya
di dalam konteks masa lalu yang khas dipahami. Akan tetapi, proses
pemahaman tersebut dijalankan di dalam sebuah konteks personal dan sosial
kekinian, yakni konteks realitas yang telah dirumuskan tadi. Inilah proses gerak
progresif.
Memroyeksikan interpretasi teks terhadap realitas (konteks) akan
otomatis melahirkan cara baru memahami dan menyikapi realitas teralami
26Istilah regresif-progresif ini dipinjam dan dikembangkan dari sodoran hermeneutik
Arkoun. Lihat dan bdk., Arkoun, Rethinking Islam (Washington, D.C.: Center for
Contemporary Arab Studies, 1987), 7.
Teks Suci (Qur’an-Hadits)
dan Dunianya
Realitas yang Dialami
Realitas
yang Dirumuskan
Interpretasi Teks
Regresif-Progresif
Antologi Tesis
11
secara kreatif-responsif. Ini menandakan gerak melingkarnya tidak mengenal
finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti pada setiap
proses hermeneutisnya. Alhasil, secara keseluruhan, gerak hermeneutik yang
dilangsungkan memiliki dua dimensi sekaligus, yakni objektif (teks; al-Qur’an
atau hadits) dan subjektif (konteks; realitas yang dirumuskan).
Prosedur regresif-progresif sendiri pada dasarnya adalah penerapan suatu
analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis)27 terhadap teks dan
konteks sekaligus (lihat Bagan 2).
Bagan 2: Analisis Tekstual-Kontekstual
Proses analisis tersebut bertolak dari kesadaran akan teks suci (wahyu: al-
Qur’an dan/atau hadits) dan keterikatannya pada konteks (sejarah, bagian dari
dunia teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis
timbal-balik―menandakan baik adanya hubungan dialektis pada keduanya
(yakni sejarah yang melatari kehadiran teks; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lazim
disebut asbâb al-nuzûl) ataupun tidak. Kemudian dilakukan teoretisasi dari dan
berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut untuk kepentingan
membangun suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general
theory). Penderivasian teoretis dari keduanya merupakan langkah pertama
analisis. Di tahap itulah analisis tekstual secara kritis dilakukan.
27Model penghampiran tekstual-kontekstual ini hasil bongkar-pasang beberapa ide dan
diadaptasi untuk kepentingan paradigmatik dari hermeneutik pembebasan. Bandingkan
dengan kontruksi analisis yang diajukan Louay Safi, The Foundation of Knowledge: A Comparative
Study in Islamic and Western Methods of Inquiry (Selangor Darul Ehsan: International Islamic
University Press, 1996), 196.
Teks Suci
(Qur’an-Hadits)
Konteks Sejarah
Kerangka Teoretis:
• Derivasi dari teks
• Derivasi dari sejarah
TEORI SOSIAL
REALITAS SOSIAL
Hipotesis
Amatan,
Pelibatan,
Perumusan
Reformulasi Teologi Islam
12
Seterusnya, langkah kedua, menghadapkan kerangka teori yang telah
terbangun dengan teori sosial.28 Ini adalah awal dari proses analisis
kontekstual. Berbagai teori sosial yang ada dipilah dan dipilih untuk
dimanfaatkan demi melihat dan memahami realitas sosial (kekinian) secara
kritis―kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu,
langkah ketiga, dalam rangka memahami secara kritis realitas sosial,
penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak
dari ajuan hipotesis itu, selanjutnya penafsir mengamati seraya melibatkan diri
dalam realitas sosial (kekinian) untuk kemudian berdasar bantuan teori-teori
sosial terpilih merumuskan realitas kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan
mendalam. Di situ, hasil perumusan bisa saja meneguhkan hipotesis (termasuk
teori sosial yang dipakai) atau justru meruntuhkannya.
Selanjutnya atas hasil pembacaan/perumusan kritis terhadap realitas yang
dialami-hadapi itu dilakukan upaya konfirmasi dan/atau klarifikasi29 kepada
kerangka teoretis yang telah disusun berdasar derivasi teks dan konteks
sejarahnya. Dalam proses ini teoretisasi baru terhadap teks (dan juga teori
sosial) dilakukan berdasar konteks kekinian. Di sinilah puncak proses
kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks realitas hari ini.
Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual
ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari konteks realitas kekinian
menuju teks (proses proyeksi) untuk kemudian kembali ke konteks kekinian
tadi (proses kontekstualisasi). Konteks, dengan demikian, tidak tersubordinasi
di bawah teks―sebagaimana lazim dalam tradisi tafsîr klasik. Dengan itu
diharapkan akan muncul bentuk penyikapan realitas yang tepat berdasar hasil
interpretasi kontekstual atas teks secara baru, kaya, dan mendalam.
Secara keseluruhan proses tekstual-kontekstual itu menenggang segenap
‘pengalaman’ (baca: penghayatan) yang bersemayam di diri dan menjadi
horison penafsir, karena itulah peran penafsir dengan horisonnya sangatlah
menentukan―suatu hal niscaya dalam hermeneutik, terutama yang bertarget
‘produksi makna’ ala Gadamer. Cara itu memungkinkan berlangsungnya
dialektika dinamis manusia dengan realitas di satu pihak, dan dialognya dengan
28Untuk membaca kenyataan (identifikasi problem) secara tepat, pelibatan
teori/analisis sosial adalah niscaya. Tanpa itu, upaya pengkajian hanya akan terjerembab pada
apa yang disebut Arkoun sebagai logosentrisme. Menurutnya, studi-studi Islam mutakhir
penuh dijejali trend logosentris. Hal itu telah menyebabkan kajian-kajian keislaman, doktrin
dan sejarahnya, mandul dan tidak produktif. Di antara ciri utama pemikiran logosentris,
selain kecenderungannya mendasarkan diri pada satu ‘ashl yang dipancang sebagai satusatunya
kriteria absahnya kebenaran, ialah pengalihan realitas dan fakta-fakta menjadi sebatas
retorika-retorika, permainan bahasa dan kata-kata, belaka. Realitas masa lalu di mana Islam
melalui masa “formatifnya” tidak lagi diperlakukan sebagai sekumpulan fakta yang terikat
oleh ruang dan waktu, tapi sebagai fiksi yang mengatasi kedua dimensi itu. Akibatnya, seluruh
ajaran Islam kehilangan dimensi historisitasnya. Lihat Mohammed Arkoun, “Logocentrisme
et V駻it・Religieuse dans la Pens馥 Islamique,” dalam Studia Islamica, No. 35 (1972): 5-51.
29Secara metodis-filosofis, upaya konfirmasi dan/atau klarifikasi ini dapat pula
bermakna proses verifikasi atau bahkan falsifikasi.
Antologi Tesis
13
teks di pihak lain―suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan
menumpukan diri. Di sisi lain, analisis sedemikian pada dasarnya tengah
berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya
untuk masa sekarang, sebagaimana teks-teks suci tersebut (pernah) relevan dan
memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu.
Demikianlah, melalui lingkar hermeneutik berspirit pembebasan sebagai
kerangka kerja, gagasan teologi Islam yang membebaskan dan transformatif di
atas dengan segera menanggalkan kesan “kelewat metafisis”-nya. Dus,
membuka kemungkinan secara lebih ‘operasional’ sebagai motivasi religius
bagi umat untuk melangsungkan proses-proses perubahan revolusioner di
tengah situasi sosial yang tidak “ramah” pada mereka. Rekonstruksi kesadaran
teologis yang transformatif-membebaskan dalam diri umat adalah pilihan
mendesak, mengingat kesadaran teologis lawas warisan kalâm Abad Tengah
kerap mengunci mereka untuk mengubah dan berubah. Maka, ia menjadi pintu
utama dan pertama yang harus mereka lalui untuk memulai transformasi sosial
secara total agar ironi panjang kemandulan Islam di tengah dinamika zaman
segera menemui ujung.
E. Penutup
Alhasil, menghadirkan bangunan teologi Islam yang secara paradigmatik
membebaskan sedemikian rupa adalah bersifat mendesak. Rekomendasi ini
niscaya demi menyadari kondisi faktual umat Islam saat ini yang terpuruk di
berbagai bidang kehidupan dan impotensi beragam paradigma teologi anutan
mereka untuk memotivasi brlangsungnya proses transformasi sosial. Dua
kenyataan inilah yang secara langsung mejadi basis historis mengapa
reformulasi teologi Islam itu perlu. Dalam pada itu kita bisa menarik simpulan
betapa Islam dalam proses sejarahnya telah semakin jauh dari rasionalitas
Tuhan ketika ia diturunkan.
Terkait itulah reformulasi terhadap teologi warisan Islam klasik ini
menjadi entry-point yang strategis guna memulai transformasi sosial umat secara
total. Dengan rangka kerja hermeneutiknya, teologi Islam yangs secara
paradigmatik transformatif-membebaskan ini akan memberi signifikansi bagi
pelahiran kesadaran teologis umat yang kritis dalam melihat teks
(Qur’an/hadits; ide-ide kemanusiaan Allah swt/Muhammad saw) dan konteks
(kekinian, situasi sosial yang menindas). Pada saat berbarengan ia berpotensi
pula menjadi motivasi religius bagi umat untuk melakukan transformasi atas
realitas ketertindasan yang mengungkung mereka―entah anasir penindasan itu
berwujud “institutionalized discourse”, seperti developmentalisme atau
kapitalisme, ataupun berwujud nilai-nilai yang mereka konseptualisasi sendiri,
termasuk “nilai-nilai agama”.
Dalam kerangka pembebasan, upaya pelahiran kesadaran teologis kritismembebaskan
itu sendiri penting, setidaknya disebabkan dua urgensi, yakni
pertama, di level wacana pemikiran keagamaan ia akan mengurai stagnasi
wacana intelektual Islam sejak pasca-Abad Pertengahan, khususnya di ranah
Reformulasi Teologi Islam
14
teologi. Di situ jargon-jargon semisal “membukan pintu ijtihad” di satu sisi visà-
vis “pintu ijtihad telah tertutup” di sisi beriringan akan menemukan
momentumnya dan intensitas persinggungannya. Kedua, di level praksis ia akan
memposisikan diri sebagai motivasi religius yang membebaskan bagi umat
dalam melakukan perlawanan terhadap struktur dan sistem penindasan yang
melahirkan ketidakadilan, kemikinan, keterbelakangan, diskriminasi,
dehumanisasi, dan sejenisnya. Pada saat yang sama ia akan mendorong (dengan
social analysis yang tepat) pada pemahaman bahwa realitas tidak manusiawi itu
berlangsung bukan lagi bersifat individual atau apalagi merupakan suatu yang
given dan taken for granted, melainkan sudah bersifat sosial―tercipta oleh
struktur-sistem yang memang menghendaki demikian.
Sekurangnya melalu dua level itulah eksistensi umat Islam ke depan akan
menemukan bentuknya, dan masa depan peradaban umat akan kembali
menjadi buah bibir di dunia Barat dan Timur

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya