Cari Blog Ini

Selasa, 20 Juli 2010

Runtuhnya Sosialisme-Komunisme, Awal Kejayaan RKapitalisme Global


Runtuhnya Sosialisme-Komunisme, Awal Kejayaan RKapitalisme Global
•Resesi dunia (malaise) pasca perang dunia I, banyak negara-negara imperialisme-kapitalisme mengalami kebangkrutan akibat membiayai perang.
•Konsolidasi kapitalisme, di bidang ekonomi; restrukturisasi sektor moneter dan sektor riil, bidang sosial; proses social engiinering (teori sturkturalisme-fungsional Talcott Parsons) yang diberlakukan di negara-negara jajahan.
•Munculnya blok-blok imperialisme baru, imperialis-komunis (Soviet), imperialis-kapitalis (AS-Inggris), imperialis-rasis (Jerman), imperialis-totaliter (Jepang).
•Polarisasi negara-negara imperialis dalam 2 blok besar. Imperialis komunis dan imperialis-kapitalis mendirikan blok sekutu/Allies (AS, Uni Soviet, Inggris dll), berhadapan dengan gabungan imperialis-rasis dan imperialis-fasis yang bernama blok Axis (Jerman, Jepang, Itali dan Spanyol).
•Pecah Perang Dunia (PD) II antara blok Allies dengan blok Axis.
•Konsolidasi kapitalisme tahap II, Imperialis-kapitalis bertemu di Bretton Woods membentuk World Bank dan IBRD (mulai beroperasi 1946) fungsinya memberi pinjaman kepada negara-negara baru merdeka atau hancur akibat PD II agar melakukan pembangunan menurut model kapitalisme.
•Pendirian IMF (1947) berfungsi memberi pinjaman untuk negara-negara yang kesulitan dalam neraca pembayaran luar negeri dengan memasukkan disiplin financial tertentu. Kemudian mendirikan GATT (1947) berfungsi mengatur dan memajukan perdagangan dunia agar seirama dengan kepentingan kapitalis.
•Marshall plan dijalankan di Eropa.
•Pendirian PBB dan declaration of Human Rights (1945), sementara itu blok komunis membentuk pakta kerjasama ekonomi COMECON.
•Penjajahan fisik berakhir digantikan model penjajahan ekonomi dan politik. Lembaga-lembaga politik internasional dari blok kapitalis maupun komunis memperluas pengaruh. Perang pengaruh ini dikenal dengan era cold war antara blok timur yang komunis (dikomandoi Soviet) dengan blok barat yang kapitalis (dikomandoi AS).
•1948 Presiden AS, truman, menetapkan ideologi developmentalisme sebagai strategi membendung komunisme. Developmentalisme ini menandai era baru lahirnya kapitalisme-modernisme.
•Terjadi pergeseran geo-politik terutama di Eropa dan kapitalisme berubah menjadi sosial demokrat (kasus Jerman), lahir konsep Welfare State dengan sistem ekonomi socialmarkt wirstchaft (pasar yang masih mengakomodasi etika sosial).
•Munculnya dan berkembangnya jaringan ekonomi global, perusahaan-perusahaan besar meluaskan jaringannya ke negara berkembang, yang dikenal dengan istilah MNC (Multinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation) dan berpusat di negara kapitalis.
•1989 berakhirnya perang dingin dengan runtuhnya Uni Sovyet. Relasi antara Amerika dengan negara-negara Dunia Ketiga berubah menjadi sebatas kepentingan pasar. Muncul istilah National Corporation (bangsa perusahaan), dan State of Market (negara pasar).
•Munculnya neoliberalisme sebagai tata dunia ekonomi politik baru yang tertuang dalam kesepakatan yang dikenal dengan The Neoliberal Washington Konsensus yang intinya adalah reformasi ekonomi dengan kebijakan pasar bebas.
•GATT merubah bentuk menjadi WTO (World Trade Organisation) pada tanggal 5 April 1994 di Marrakesh, Maroko, sebagai hasil dari putaran perundingan Uruguay, munculnya lembaga ini karena akselerasi yang cepat dari perubahan struktural bagi pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia, WTO merupakan hasil dari perjuangan para penganut pasar bebas yang ingin lepas dari kontrol negara.
•Tanggal 1 Januari 1995 semua anggota wajib secara bertahap membuka pasarnya dan menetapkan jadual komitmennya (schedule of commitment) sampai pasarnya seluruhnya terbuka bagi perusahaan-perusahaan asing.
•Putaran Perundingan GATT. 1) Konferensi GATT tahun 1947 dengan topik perundingan perumusan perjanjian GATT dan perundingan yang mencakup 45.000 item tarif dengan nilai $ 10 Milyar, diikuti oleh 23 negara. 2) Prundingan Annecy tahun 1949 topik pembicaraan mencakup 5000 item tarif diikuti oleh 33 negara. 3) Perundingan Torquay tahun 1950-51 topik pembicaraan 5500 item tarif diikuti oleh 34 negara. 4) Perundingan Jenewa tahun 1955-56 dengan topik pembicaraan perundingan tarif mencakup nilai dagang $ 2,5 Milyar dan diikuti oleh 22 negara. 5) Dillon Round tahun 1960-61 dengan topik 4400 item tarif dan nilai dagang $ 4,9 Milyar yang diikuti oleh 45 negara. 6) Kennedy Round tahun 1964-67 topik perundingan tarif nilai $ 40 Milyar serta perundingan anti-dumping yang diikuti oleh 48 negara. 7) Tokyo Round tahun 1973-79 topik mengenai tarif dan non-tarif dengan nilai $ 155 Milyar diikuti oleh 99 negara. 8) Uruguay Round dari bulan September 1986 sampai bulan April 1994 dan diadakan beberapa kali perundingan yang menghasilkan perluasan akses, penyempurnaan aturan (rules) GATT, penyempurnaan kelembagaan GATT, dan masalah-masalah baru.
•Kolonialisme baru muncul dengan melalui aneksasi, eksploitasi, dan penaklukan. Bentuk baru dari neokolonial merupakan penjajahan melalui ilmu ilmu pengetahuan yang diciptakan barat dengan demikian lebih simbolik.
•Pada sektor kultural, neokolonial (globalisasi) cenderung menghasilkan diaspora kultural. Komunitas yang memiliki selera, kebiasaan dan keyakinan juga sering dipisahkan dari batasan bangsa. Diaspora kultural memiliki ciri standarisasi budaya seperti dalam gaya pakaian, musik, film atau bahkan agama.
•Munculnya ikon-ikon baru Amerika seperti terorisme sebagai strategi melawan penentangnya

Sabtu, 10 Juli 2010

Dalam Khotbah Jum’at dengan Bahasa Arab


Dalam Khotbah Jum’at dengan Bahasa Arab

Banyak dikalangan umat Islam di Indonesia yang mempertentangkan penggunaah khotbah Jum’at dengan Bahasa Arab, ada sebagian berpendapat harus menggunakan bahasa Arab dan sebagian lagi ada yang berpendapat harus bahasa Indonesia. Sebenarnya manakah yang benar ? Apakah menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Indonesia ?

Al-fiqhu ala Madzhabi Arba’ah yang dikutib dari Kitab Ta’lif Abdurrahman Al-Juzairi. dari kitab tersebut menerangkan khotbah Jumat menurut 4 Madzhab yaitu:

Menurut Madzhab Hanafi atas permasalahan “bagaimana penyampaian Khotbah dengan bahasa Arab?”. Ia berpendapat “boleh Khotbah dengan selain bahasa Arab meskipun mampu berbahasa Arab. Ketentuan ini berlaku untuk orang Arab maupun selain orang Arab”.

Menurut Madzah Hambali atas permasalahan “Bagaimana penyampaian Khotabah dengan Bahasa Arab?”. Ia berpendapat “tidak syah Khotbah dengan selain Bahasa Arab apabila masih ada yang mampu berbahasa Arab”.
Menurut Madzhab Safi’i atas permasalahan “bagaimana penyampaian Khotbah dengan bahasa Arab?”. Ia berpendapat “disyaratkan rukun-rukun Khotbah menggunakan Bahasa Arab apabila masih ada yang mampu berbahasa Arab. Ketentuan ini berlaku khusus untuk orang Arab saja adapun selain orang Arab tidak disyaratkan”.
Menurut Madzhab Maliki atas permasalahan “bagaimana penyampaian Khotbah dengan bahasa Arab ?”. Ia berpendapat “disyaratkan Khotbah harus menggunakan bahasa Arab meskipun qoum A’jam yang tidak mengerti bahasa Arab”.
Dari ke empat madzhab tersebut di atas semuanya memperbolehkan Khotbah dengan Bahasa Arab, jadi dengan menggunakan bahasa Arab Khotbah tersebut tidak salah atau syah.
Bacaan dan Rukun Khatib Jumat
Tata cara pelaksanaan shalat Jum’at, yaitu :
1. Khatib naik ke atas mimbar setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur), kemudian memberi salam dan duduk.
2. Muadzin mengumandangkan adzan sebagaimana halnya adzan dzuhur.
3. Khutbah pertama: Khatib berdiri untuk melaksanakan khutbah yang dimulai dengan hamdalah dan pujian kepada Allah SWT serta membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian memberikan nasehat kepada para jama’ah, mengingatkan mereka dengan suara yang lantang, menyampaikan perintah dan larangan Allah SWT dan RasulNya, mendorong mereka untuk berbuat kebajikan serta menakut-nakuti mereka dari berbuat keburukan, dan mengingatkan mereka dengan janji-janji kebaikan serta ancaman-ancaman Allah Subhannahu wa Ta’ala. Kemudian duduk sebentar
4. Khutbah kedua: Khatib memulai khutbahnya yang kedua dengan hamdalah dan pujian kepadaNya. Kemudian melanjutkan khutbahnya dengan pelaksanaan yang sama dengan khutbah pertama sampai selesai
5. Khatib kemudian turun dari mimbar. Selanjutnya muadzin melaksanakan iqamat untuk melaksanakan shalat. Kemudian memimpin shalat berjama’ah dua rakaat dengan mengeraskan bacaan.

Adapun rukun khutbah Jumat paling tidak ada lima perkara.
1. Rukun Pertama: Hamdalah

Khutbah jumat itu wajib dimulai dengan hamdalah. Yaitu lafaz yang memuji Allah SWT. Misalnya lafaz alhamdulillah, atau innalhamda lillah, atau ahmadullah. Pendeknya, minimal ada kata alhamd dan lafaz Allah, baik di khutbah pertama atau khutbah kedua.

Contoh bacaan:

إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ

Innal hamdalillahi nahmaduhu wa nasta’iinuhu wa nastaghfiruhu wa na’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa wa min sayyiaati a’maalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalahu wa mayyudhlilfalaa haadiyalahu

2. Rukun Kedua: Shalawat kepada Nabi SAW
Shalawat kepada nabi Muhammad SAW harus dilafadzkan dengan jelas, paling tidak ada kata shalawat. Misalnya ushalli ‘ala Muhammad, atau as-shalatu ‘ala Muhammad, atau ana mushallai ala Muhammad.

Contoh bacaan:

اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن.

Allahumma sholli wa sallam ‘alaa muhammadin wa ‘alaa alihii wa ash haabihi wa man tabi’ahum bi ihsaani ilaa yaumiddiin.

3. Rukun Ketiga: Washiyat untuk Taqwa
Yang dimaksud dengan washiyat ini adalah perintah atau ajakan atau anjuran untuk bertakwa atau takut kepada Allah SWT. Dan menurut Az-Zayadi, washiyat ini adalah perintah untuk mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sedangkan menurut Ibnu Hajar, cukup dengan ajakan untuk mengerjakan perintah Allah. Sedangkan menurut Ar-Ramli, washiyat itu harus berbentuk seruan kepada ketaatan kepada Allah.
Lafadznya sendiri bisa lebih bebas. Misalnya dalam bentuk kalimat: “takutlah kalian kepada Allah”. Atau kalimat: “marilah kita bertaqwa dan menjadi hamba yang taat”.

Contoh bacaan:

يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

yaa ayyuhalladziina aamanuu ittaqullaaha haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna ilaa wa antum muslimuun

Ketiga rukun di atas harus terdapat dalam kedua khutbah Jumat itu.
4. Rukun Keempat: Membaca ayat Al-Quran pada salah satunya
Minimal satu kalimat dari ayat Al-Quran yang mengandung makna lengkap. Bukan sekedar potongan yang belum lengkap pengertiannya. Maka tidak dikatakan sebagai pembacaan Al-Quran bila sekedar mengucapkan lafadz: “tsumma nazhar”.
Tentang tema ayatnya bebas saja, tidak ada ketentuan harus ayat tentang perintah atau larangan atau hukum. Boleh juga ayat Quran tentang kisah umat terdahulu dan lainnya.

Contoh bacaan:


فَاسْتبَقُِوا اْلخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونوُا يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلىَ كُلِّ شَئٍ قَدِيرٌ

Fastabiqul khairooti ayna maa takuunuu ya’ tinikumullahu jamii’an innallaaha ‘alaa kulli syaiin qodiiru (QS. Al-Baqarah, 2 : 148)

أَمّا بَعْدُ

ammaa ba’du..

Selanjutnya berwasiat untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT, lalu mulai berkhutbah sesuai topiknya.
Memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun, atau ma’asyiral muslimin rahimakumullah, atau “sidang jum’at yang dirahmati Allah”.

……. isi khutbah pertama ………

Setelah di itu menutup khutbah pertama dengan do’a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat.

Contoh bacaan:


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

barakallahu lii wa lakum fill qur’aanil azhiim wa nafa’nii wa iyyaakum bima fiihi minal aayaati wa dzikril hakiim. Aquulu qowlii hadzaa wa astaghfirullaaha lii wa lakum wa lisaa iril muslimiina min kulli danbin fastaghfiruuhu innahu huwal ghafuurur rahiimu.

Lalu duduk sebentar untuk memberi kesempatan jamaah jum’at untuk beristighfar dan membaca shalawat secara perlahan.
Setelah itu, khatib kembali naik mimbar untuk memulai khutbah kedua. Dilakukan dengan diawali dengan bacaaan hamdallah dan diikuti dengan shalawat.

Contoh bacaan:
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ الصَّالِحِينَ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّابعد,

Innal hamdalillahi robbal’aalamiin wa asyhadu an laa ilaaha illahllaahu wa liyyash shalihiina wa asyhadu anna muhammadan khaatamul anbiyaai wal mursaliina allahumma shalli ‘alaa muhammadan wa ‘alaa aali muhammadin kamaa shollayta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.Wa barok ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali muhammadin kamaa baarokta ‘alaa ibroohiima wa ‘alaa alii ibroohiim, innaka hamiidum majiid.
Ammaa ba’ad..

Selanjutnya di isi dengan khutbah baik berupa ringkasan, maupun hal-hal terkait dengan tema/isi khutbah pada khutbah pertama yang berupa washiyat taqwa.

……. isi khutbah kedua ………

5. Rukun Kelima: Doa untuk umat Islam di khutbah kedua
Pada bagian akhir, khatib harus mengucapkan lafaz yang doa yang intinya meminta kepada Allah kebaikan untuk umat Islam. Misalnya kalimat: Allahummaghfir lil muslimin wal muslimat . Atau kalimat Allahumma ajirna minannar .

Contoh bacaan do’a penutup:

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ.
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين.

Allahummagh fir lilmuslimiina wal muslimaati, wal mu’miniina wal mu’minaatil ahyaa’I minhum wal amwaati, innaka samii’un qoriibun muhiibud da’waati.
Robbanaa laa tuaakhidznaa in nasiinaa aw akhtho’naa. Robbanaa walaa tahmil ‘alaynaa ishron kamaa halamtahuu ‘alalladziina min qoblinaa.Robbana walaa tuhammilnaa maa laa thooqotalanaa bihi, wa’fua ‘annaa wagh fir lanaa war hamnaa anta maw laanaa fanshurnaa ‘alal qowmil kaafiriina.
Robbana ‘aatinaa fiddunyaa hasanah wa fil aakhiroti hasanah wa qinaa ‘adzaabannaar. Walhamdulillaahi robbil ‘aalamiin.

Selanjutnya khatib turun dari mimbar yang langsung diikuti dengan iqamat untuk memulai shalat jum’at. Shalat jum’at dapat dilakukan dengan membaca surat al a’laa dan al ghasyiyyah, atau surat bisa juga surat al jum’ah, al kahfi atau yang lainnya.

Demikian bacaan khutbah semoga bermanfaat bagi kita semua.

[khutbah jumat haRus bahasa aRab?]

Sudah ada ketentuan bahwa saat khatib sedang berkhutbah, maka tidak boleh ada orang yang berbicara, menyela, berkomentar atau apapun pembicaraan lainnya. Meksipun tujuannya untuk menterjemahkan isi khutbah kepada orang yang tidak mengerti isinya.
Memang ada sedikit polemik di masa lalu tentang keharusan berkhutbah Jumat dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kalangan bersikeras bahwa khutbah Jumat itu harus dilakukan dalam bahasa Arab. Namun sebagian lagi menolaknya.
Dapat pula di ambil jalan tengah yaitu mereka yang mewajibkan bahasa Arab dalam khutbah, sesungguhnya hanya mewajibkannya pada rukun khutbah saja. Tidak pada semua bagian khutbah. Di luar kelima rukun itu, boleh saja seorang khatib berbicara dalam bahasa yang dipahami oleh kaumnya. Bahkan kelima rukun tadi boleh diterjemahkan juga ke dalam bahasa mereka, asalkan bahasa Arabnya tetap dibaca.
Seorang khatib boleh menambahi khutbahnya dengan bahasa lainnya, asalkan pada kelima rukun itu dia menggunakan bahasa Arab, walau hanya sepotong saja.
[ingin bisa khutbah dan ceRamah]

Kemampuan, potensi, dukungan dan jerih payah apa saja yang dimiliki oleh umat Islam ini, bisa dan harus disumbangkan untuk dakwah, sesuai dengan daya dukung masing-masing.
Seorang dai, secara kauni seperti umumnya manusia lainnya, ia akan terus belajar dan berlatih. Dan secara syar’i, ia memang diwajibkan (bahkan dalam bahasa hadits: di-fardhu-kan) untuk menuntut ilmu, ilmu syar’i, ilmu kaun (alam), ilmu madani-hadhari (kemajuan-peradaban) dan pengembangan potensi.
Kalau selama ini Anda berkeinginan untuk bisa berceramah secara massal, berkhuthbah dan semacamnya, keinginan seperti ini adalah wajar dan bahkan Anda diperintahkan untuk mempelajarinya. Dan jika Anda telah mempelajarinya, berusaha secara maksimal, dan sampai wafat Antum tetap belum menguasainya, maka tanggung jawab Anda untuk belajar hal ini sudah terpenuhi, insya Allah dan insya Allah, Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan meminta pertanggungjawaban dari Anda.
Belajarlah mulai dari yang kecil dan sederhana. Misalnya, menyampaikan taushiyah (pesan) atau mau’izhah di hadapan teman-teman Anda, bisa 2 orang, 3 orang atau 5 orang dalam tempo 2-3 menit. Lalu, secara gradual, periodik dan terus menerus Anda melakukan peningkatan. Baik dari sisi tempo waktu yang Anda sampaikan, maupun dari sisi jumlah pendengar yang mengikuti taushiyah atau mau’izhah Anda itu.
Jaga kebersihan hati (tazkiyatun-nafs), khususnya yang terkait dengan ikhlash dan shidiq: Sebab, apa yang keluar dari hati yang ikhlash dan shidiq akan masuk dan diterima oleh hati para pendengarnya dan akan memberikan pengaruhnya di sana.
[menyusun khutbah jum'at]

Khutbah jum’at memiliki kedudukan penting dalam islam. Bagaimana tidak,karena ia merupakan penopang utama dalam penyebaran dak’wah islam di seluruh dunia. ia juga merupakan salah satu sarana penting guna menyampaikan pesan dan nasehat kepada orang lain atau suatu kaum. Hal ini sebagaimana kaidah yang ada dalam islam : “menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran”.
Khutbah jumat dilakukan sebelum salat jum’at. Maka diantara syarat sahnya salat jum’at adalah khutbah, yang dilakukan saat waktu dzuhur. Dengan maksud tujuan pembelajaran dan pemberi peringatan atas segala ni’mat Allah swt. Semua ini adalah keutamaan islam yang slalu menjunjung tinggi peranan ilmu dan para ulama. Karena dengan ilmu kita mengetahui agama serta mengetahui hukum-hukumnya. Sehingga tidaklah seorang muslim melakukan sesuatu kecuali atas dasar ilmu.
Sesungguhnya tujuan utama dari khutbah juma’at adalah saling menasehati dalam kebaikan dan memberi peringatan, selain memberi peringatan juga memberi solusi atas problematika yang ada di tengah masyarakat. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat terdahulu. Mereka berkhutbah di depan kaumnya. Menyeru mereka untuk senantiasa mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Ada 4 fese penyusunan khutbah: [1]. fase pemilihan judul. [2]. fase penyusunan kerangka pembicaraan. [3]. fase pemilihan dalil yang tepat sesuai dengan judul dan jalannya pembicaraan. [4]. fase untuk mulai berlatih atau mengaplikasikan apa yang telah di susun.
Aspek yang menjadi pertimbangan sebelum menentukan judul: [1]. Hendaknya seorang khatib melihat standar akal pikiran masyarkat setempat. [2]. Hendaknya seorang khatib memperhatikan psikologi para pendengar.
Kerangka pembicaraan dilakukan agar pembahasan khutbah lebih terfokus dan tidak terlalu melebar. Sehingga pembicaraan tidak keluar dari judul yang telah ditentukan. Dan semua unsur-unsur yang ada dalam kerangka pembicaraan berhubungan satu sama yang lainnya tidak terpisah.
[pengeRtian shalat jum'at, hukum, syaRat, ketentuan, hikmah dan sunah sOlat jumat]

Shalah Jum’at memiliki hukum wajib ‘ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.
Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat: [1]. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. [2]. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum’at adalah 40 orang. [3]. Shalat Jum’at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut : [1]. Mengucapkan hamdalah. [2]. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW. [3]. Mengucapkan dua kalimat syahadat. [4]. Memberikan nasihat kepada para jamaah. [5]. Membaca ayat-ayat suci Al-quran. [6]. Membaca doa.
Sunat-Sunat Shalat Jumat: [1]. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at. [2]. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan memotong kuku. [3]. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol). [4]. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat. [5]. Memperbanyak doa dan salawat nabi. [6]. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
[khatib jumat banyak salahnya]

Imam yang memimpin shalat haruslah bacaan ayat-ayatnya baik dan benar. Jika bacaannya keliru khususnya Alfatihah maka shalat yang dipimpinnya menjadi tidak sah. Dalam hal ini, makmun harus mengulangi shalat Jumatnya – atau melakukan shalat dzuhur sebagai pengganti shalat Jumat yang tidak sah itu.
[bab shalat jum'at]

Menghadiri Shalat Jum’at adalah fardhu ‘ain atas setiap muslim, kecuali lima orang: budak, perempuan, anak kecil, orang sakit, dan musafir.
Khutbah Jum’at, hukumnya wajib, karena Rasulullah selalu mengerjakannya dan tidak pernah meninggalkannya.
Dari Jabir bin Abdullah r.a., ia berkata, “Adalah Rasulullah saw. apabila berkhutbah, merah kedua matanya, meninggi suaranya, dan memuncak marahnya, lalu beliau menyampaikan peringatan kepada pasukan, yaitu beliau berkata “Awas musuh akan menyerang kalian pada waktu pagi, dan awas musuh akan menyerbu kalian diwaktu sore!” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir 4711, irwa-ul Ghalil no: 611, Muslim II: 591 no: 866, dan Tirmidzi II: 9 no: 505).
Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zaadul Ma’ad I: 116, menulis, “Barang siapa memperhatikan semua khutbah Nabi saw. dan khutbah para sahabatnya, niscaya ia mendapatkan materi khutbah meliputi penjelasan perihal hidayah, tauhid, sifat-sifat Rabb Jalla Jalaluh prinsip-prinsip pokok keimanan, dakwah (seruan) kepada Allah, dan penyebutan tentang aneka ragam nikmat Allah Ta’ala yang menjadikan dia cinta kepada makhluk-Nya dan hari-hari yang membuat mereka takut kepada adzab-Nya, menyuruh jama’ah agar senantiasa mengingat-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya yang menyebabkan mereka cinta dengan tulus kepada-Nya. Kemudian para sahabat menjelaskan tentang keagungan Allah, sifat dan nama-Nya yang menyebabkan dia cinta kepada akhluk-Nya, dan menyuruh jama’ah agar ta’at kepada-Nya, bersyukur kepada-Nya dan mengingat-Nya yang membuat mereka dicintai oleh-Nya sehingga seluruh jama’ah ketika meninggalkan masjid mereka telah berada dalam keadaaan cinta kepada Allah dan Allah pun cinta kepada mereka. Dan adalah Rasulullah senantiasa berkhutbah dengan menyebut banyak ayat Qur’an, terutama surah Qaaf.”
Shalat jum’at adalah dua raka’at secara berjama’ah. Karenanya, siapa saja yang tidak mengerjakan shalat jama’ah jum’ah dari kalangan orang-orang yang tidak wajib shalat Jum’ah, atau berasal dari kalangan orang-orang yang berudzur, maka hendaklah mereka shalat dzuhur empat raka’at. Dan barang siapa yang mendapatkan satu raka’at dengan (bersama) Imam berarti ia mendapat shalat jama’ah jum’at.
Barangsiapa datang ke masjid sebelum khatib berkhutbah, hendaklah ia shalat sunnah (intidzar) semampunya, tanpa ada batasnya sampai khatib hendak naik mimbar. Adapun shalat sunnah yang dewasa ini dikenal dengan sebutan shalat sunnah qabliyah jum’at, maka termasuk amalan yang sama sekali tidak mendasar yang kuat. Adapun sesudahnya, maka kalau mau shalatlah empat raka’at atau dua raka’at.
Yang Dianjurkan Dibaca Pada Hari Jum’at: [1]. Memperbanyak shalawat dan salam kepada Nabi saw. [2]. Membaca Surat al-Kahfi. [3]. Memperbanyak Do’a Demi Mendambakan Ketepatannya Dengan Waktu Istijabah (terkabul).
Apabila hari raya jatuh pada hari Jum’at, maka gugur kewajiban shalat jama’ah Jum’at dan orang-orang yang sudah mengerjakan shalat jama’ah.’”(Fiqhus Sunnah I : 267)
Dari Abul Ja’d adh-Dhamri r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena mengabaikannya, niscaya Allah menutup hatinya.” (Hasan Shahih: Shahih Abu Daud no: 923, Abu Daud III: 377 no: 1039, Tirmidzi II: 5 no: 498, Nasa’i III: 88 dan Ibnu Majah I:357no: 1125).
[gROgi, jamaah tertawa]

Para ulama semua mazhab sepakat bahwa paling tidak untuk sebuah khutbah jumat itu harus terpenuhi 5 rukun. Dan kelima rukun tersebut harus diucapkan dalam bahasa arab. Selebihnya, boleh digunakan bahasa yang sesuai dengan bahasa hadirin yang ikut dalam khutbah tersebut. Seandainya salah satu dari kellima hal itu tidak terpenuhi, maka khutbah itu tidak sah. Maka jamaah diwajibkan untuk melakukan shalat Dzhuhur dengan 4 rakaat, atau harus ada seseorang yang menyelematkan khutbah itu dengan memenuhi kelima rukunnya.
Khusus rukun yang keempat dan kelima, ada perlakuan khusus. Untuk khutbah yang pertama, rukunnya adalah nomor 1, 2, 3 dan 4. Untuk khutbah kedua, rukunnya adalah nomor 1, 2, 3 dan 5. Berarti pada khutbah pertama, tidak perlu mengucapkan doa. Sedangkan pada khutbah kedua tidak perlu membaca lafadz ayat Al-Quran.
Takmir masjid harus tanggap dalam mengantisipasi keadaan. Seandainya terjadi kasus di mana khatib tidak mampu menyemprnakan rukunnya, entah karena tidak tahu atau karena tidak mampu mengucapkan dalam bahasa arab yang benar, maka harus ada seorang dari takmir yang ‘menyelamatkan’. Sesudahnya khatib turun mimbar, dia harus naik mimbar dan berkhutbah dua kali, cukup rukunnya saja dan bisa dilakukan dalam satu helaan nafas.
[adzan jumat dua kali]

Adzan shalat pertama kali disyari’atkan oleh Islam adalah pada tahun pertama Hijriyah. Di zaman Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar bin Khathab mengumandangkan adzan untuk shalat Jum’at hanya dilakukan sekali saja. Tetapi di zaman Khalifah Utsman bin Affan RA menambah adzan satu kali lagi sebelum khatib naik ke atas mimbar, sehingga adzan Jum’at menjadi dua kali. Ijtihad ini beliau lakukan karena melihat manusia sudah mulai banyak dan tempat tinggalnya berjauhan. Sehingga dibutuhkan satu adzan lagi untuk memberi tahu bahwa shalat Jumat hendak dilaksanakan.
Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat.
Terdapat perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.

Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi-


Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi-

Merupakan suatu kenikmatan tersendiri, bagi sesorang ketika bisa belajar tentang ilmu-ilmu ushul (dasar) dari agama ini. Banyak sekali manfaat yang bisa didapat dari pelajaran-pelajaran tersebut. Hendaklah seorang tholibul ilmi untuk bersemangat dalam belajar ilmu ini. Salah satu pembahasan dalam pelajaran ushul fiqh adalah pembahasan makna majaz dan haqiqi.

Makna haqiqi dan majazi

Dalam ilmu bahasa, kita mengenal adanya makna kata haqiqi dan makna majaz dalam suatu kata tertentu. Semisal kita katakan sebuah kata tertentu dan kita ambil contoh kata “singa”. Dari kata singa ini kita bisa pahami dua makna. Secara haqiqi singa berarti salah satu jenis hewan buas, sebagaimana yang sudah dipahami oleh kita. Namun secara majaz, kata “singa” bisa kita artikan sebagai orang laki-laki yang pemberani.

Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Sedangkan makna majaz adalah kata yang digunakan pada makna yang bukan makna aslinya. Semisal contoh yang telah kami sampaikan di atas.

Sekilas tentang keberadaan majaz dalam bahasa, khususnya bahasa Arab, adalah suatu perkara yang diperselisihkan oleh para ulama. Ada ulama yang mengingkari keberadaan majaz secara mutlak. Para ulama yang berpendapat demikian, mengingkari keberadaan majaz, baik dalam Al Quran maupun dalam bahasa Arab. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayim Al Jauziyah rahimahumallahu. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115). Bahkan Ibnul Qayim mengatakan bahwa majaz adalah thaghut yang ketiga (Ath thaghut Ats Tsalits), karena dengan adanya majaz, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang.[1]

Ulama lain, ada yang menetapkan bahwa ada majaz dalam bahasa arab, tetapi tidak ada majaz dalam Al Quran. Ada juga yang mengatakan bahwa ada majaz dalam bahasa Al Quran dengan memberi batasan, tidak ada majaz pada ayat-ayat yang menunjukkan tentang sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala dan ada majaz pada ayat-ayat selain itu.

‘Ala kuli haal, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullahu, bahwa perbedaan pendapat para ulama tersebut adalah sebatas perbedaan lafadz semata, dan bukan perbedaan ushuliyah, tidak ada faidah untuk mempermasalahkan masalah ini. (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115)

Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa pemahaman tidak adanya majaz pada ayat-ayat yang menunjukkan sifat-sifat Allah adalah ijma’ ahlis sunnah, yang menyelisihi firqah mu’tazilah.

Berkaitan dengan pembahasan tentang makna haqiqi dan makna majaz, terdapat suatu kaidah : “Hukum asal suatu kata adalah dimaknai dengan makna haqiqi, bukan majazi”. Artinya: tidaklah kita memaknai suatu kata dengan makna majaz, kecuali terdapat dalil yang shohih dan alasan yang kuat sehingga bisa menghalangi kita untuk memaknai kata tersebut dengan makna aslinya

Definisi Majaz

Pada penjelasan di atas sudah dijelaskan secara ringkas tentang definisi majaz. Berikut akan kami bawakan definisi majaz yang lebih lengkap.

المجاز هو نقل الكلام من الوضع الأول إلى الوضع الثاني للقرينة مع وجود العلقة

“Majaz adalah berpindahnya makna perkataan dari makna pertama menjadi makna kedua, karena adanya qarinah dan adanya ‘alaqah”

Dari definisi ini, maka dapat kita simpulkan bahwa pada majaz terdapat 4 rukun, yaitu :

1. Al Wadh’u Al Awwalu (makna pertama)
2. Al Wadh’u Ats Tsani (makna kedua)
3. Al Qorinah (sebab yang menghalangi makna pertama dan mengharuskan dimaknai dengan makna kedua)
4. Al ‘Alaqah (hubungan antara makna pertama dan makna kedua)

Semisal kita katakan : “Aku melihat singa naik kuda, sambil menghunuskan pedang”

Maka pada kalimat tersebut, dapat kita katakan rukun-rukun majaz :

- Makna pertama : makna singa, sebagai makna salah satu jenis hewan buas.
- Makna kedua : makna lelaki yang pemberani.
- Al Qorinah : akal sehat mengatakan tidaklah mungkin ada singa yang bisa mengendarai kuda sambil menghunus pedang.
- Al ‘Alaqah : hubungan antara singa dan laki-laki yang pemberani, adalah kekuatan dan keberanian.

Maka berdasarkan hal ini, tidak bisa kita katakan suatu majaz yang tidak memiliki ‘alaqah. Semisal kita katakan : “Aku makan meja di waktu pagi” (yang dimaksud adalah makan roti). Tidak ada hubungan antara meja dan roti, maka kalimat tersebut tidak bisa kita pakai sebagai majaz.

Kesesatan Mu’tazilah

Firqah Mu’tazilah telah sesat pada penggunaan majaz dalam aqidah mereka, dimana mereka menggunakan majaz ketika menafsirkan ayat-ayat tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika Allah berfirman :

قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ

“Allah berfirman, Wahai Iblis, apakah yang menghalangimu untuk sujud kepada (Adam), yang Aku ciptakan dengan kedua Tangan-Ku, Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu merasa termasuk golongan yang (lebih) tinggi. (Shad : 75)”

Mereka (mu’tazilah dan yang sejalan dengan meraka), memaknai kata “Tangan Allah” dengan “Kekuatan Allah”. Mereka mengatakan bahwa ada ‘alaqah (hubungan) antara kata “tangan” dan “kekuatan”. Dan mereka juga menetapkan adanya qarinah (penghalang untk memaknai makna haqiqi), yaitu mereka takut untuk menyamakan Allah dengan makhluk-Nya, ketika kata tersebut dimaknai dengan makna haqiqi. Sehingga lengkaplah syarat majaz yang mereka tetapkan, dan terpenuhilah syarat majaz dalam penafsiran meraka.

Maka kita katakan : Memang antara makna tangan dan makna kekuatan memiliki hubungan (Al ‘Alaqah) dan hubungan kedua kata ini lazim digunakan. Akan tetapi qarinah yang mereka jadikan sebagai alasan tahriif (penyimpangan makna) mereka adalah qarinah yang tidak bisa diterima. Mengapa? Karena menetapkan adanya Tangan bagi Allah subhanahu wa ta’ala, bukan berarti menyamakan Tangan Allah dengan tangan makluk-Nya. Kesamaan nama tidak melazimkan kesamaan hakikat.

Berdasarkan hal ini, maka jelaslah bagi kita kesesatan orang mu’tazilah dan orang-orang yang sepemikiran dengan mereka. Mereka telah menetapkan majaz bagi sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, padahal pada majaz yang mereka tetapkan tidak terpenuhi syarat-syarat majaz.

Definisi Haqiqi

Makna haqiqi adalah suatu lafadz yang digunakan pada makna aslinya. Dijelaskan oleh para ulama ushul bahwa makna haqiqi ada tiga macam :

1. Haqiqi secara bahasa (lughoh), yaitu kata yang digunakan dalam makna aslinya dari sudut pandang bahasa. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة) berarti doa/ad du’aau (الدعاء).
2. Haqiqi secara syari’at, yaitu suatu lafadz yang digunakan pada makna sebenarnya dari tinjauan syar’iat. Semisal kata sholat/as sholatu (الصلاة), berarti gerakan dan ucapan yang tertentu diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, demikian makna sholat secara syariat.
3. Haqiqi secara adat-istiadat (‘urfiyah), adalah kata yang digunakan pada makna yanga sebenarnya dari tinjauan ‘urfiyah. Semisal kata al waladu (الولد) yang secara bahasa artinya anak kecil baik laki-laki maupun perempuan, tetapi makna al waladu secara ‘urfiyah adalah anak kecil laki-laki.

Maka dari pembagian jenis-jenis haqiqi ini, dapat kita ambil suatu faidah. Hendaklah kita meletakkan makna-makna tersebut pada tempatnya masing-masing. Artinya jika kita sedang berbicara dalam permasalahan bahasa, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara bahasa. Jika kita sedang berbicara tentang masalah agama/syari’at, maka hendaklah kita memaknai kata tersebut dengan haqiqi secara syari’at. Begitu pula dengan haqiqi urfiyah.

· Mengapa Hal Ini Perlu Dibahas ???
Ketahuilah, bahwa permasalahan ini (yaitu penempatan makna jenis-jenis haqiqi) merupakan titik kesalahan orang-orang liberal yang menyebabkan mereka jatuh kepada kekufuran. Wal‘iyadzubillah.
Orang liberal tidak menempatkan makna-makna haqiqi tersebut pada tempatnya masing-masing, sesuai konteks pembicaraan. Ketika mereka berbicara pada konteks pembicaraan syari’at, mereka mengartikan kata Al Islam (الإسلام), dengan makna al islam secara bahasa yang artinya adalah pasrah dan berserah diri. Maka setiap orang yang pasrah dan berserah diri sudah dikatakan sebagai orang yang Islam, baik dia orang Nashrani, Yahudi, penyembah berhala atau yang lainnya, Wal’iyadzubillah. Dan jelas ini adalah bentuk kekafiran berdasarkan ijma’ para ulama, dimana mereka tidak mengakui kekafiran orang-orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasulullah. Nas’alullaha assalamata min afkaarihim.

Demikianlah pembahasan tentang makna-makna majaz dan haqiqi. Semoga bisa memberi manfaat kepada kita semua. Allahu ta’ala a’laamu bishowab, wal ilmu ‘indallahi.

Abu Fauzan Hanif Nur Fauzi,

Jumat, 09 Juli 2010

Hukum Adat


LATAR BELAKANG
Banyak orang berpendapat bahwa hukum adat adalah hukum peninggalan masa lampau yang selalu berorientasi pada masa lalu, sehingga kurang cocok dengan kehidupan modern seperti sekarang ini, yang memasuki era globalisasi. Pendapat demikian, barangkali, tidak keliru tapi juga tidak seluruhnya benar. Dikatakan benar, karena diakui bahwa hukum adat bersifat tradisional, sementara kehidupan pada era globalisasi menuntut segala sesuatu yang bersifat modern. Tidak seluruhnya benar, karena ternyata terdapat beberapa peraturan perundang-undangan terbentuk, yang diintroduksi dari hukum adat. Selain itu, hukum adat juga dinamis sesuai dengan dinamika manusia yang menganut hukum adat tersebut.
Dalam lapangan hukum, substansi pembahasan bukan terletak pada 'apakah hukum itu tradisional karena warisan masa lampau atau bukan', melainkan pada makna keadilan yang terkandung dalam hukum tersebut. Acap kali dalam membahas masalah hukum, kita terjebak pada pemahaman hukum dalam arti prosedural, bukan hukum dalam arti substantif-yang memenuhi rasa keadilan. Sehingga tidak disadari, terjadi pereduksian makna dari hukum secara substantif (yang memenuhi rasa keadilan) menjadi hukum secara prosedural. Terutama ketika kehidupan manusia memasuki era globalisasi yang bercirikan modern, sekaligus sarat dengan tantangan dan persoalan kontemporer.
Globalisasi, pada umumnya orang memahaminya adalah adanya proses pada kehidupan umat manusia menuju masyarakat yang meliputi seluruh bola dunia. Proses ini dimungkinkan dan dipermudah oleh adanya kemajuan dalam teknologi khususnya teknologi komunikasi dan transportasi . Pemahaman demikian tidak jauh beda dengan pemahaman globalisasi sebagai suatu proses yang merujuk pada “a single interdependent world in which capital, technology, people, ideas, and cultural influences flow across borders ...” . Dengan pemahaman yang demikian, berarti kita ini berangsur-angsur akan hidup dalam satu dunia (one world) di mana individu, kelompok dan bangsa (nation) menjadi lebih saling tergantung atau “interdependent” . Dalam masyarakat umat manusia yang global itu akan terjadi pola-pola hubungan sosial yang berbeda dengan sebelumnya . Dan yang demikian juga merupakan sebuah potret kehidupan sosial yang tidak dijumpai sebelumnya.
Proses globalisasi itu pada perjalanan berikutnya ditandai dengan pesatnya perkembangan paham kapitalisme, yakni kian terbuka dan mengglobalnya peran pasar, investasi, dan proses produksi dari perusahaan-perusahaan transnasional, yang kemudian dikuatkan oleh ideology dan tata dunia perdagangan baru di bawah suatu aturan yang ditetapkan oleh organisasi perdagangan bebas secara global. Proses globalisasi dengan paham kapitalisme itu, kemudian menemukan sebuah "teori" yang terpenting dari perjalanan kapitalisme, yaitu "modernisasi" dan "pembangunan".
Teori modernisasi dan pembangunan pada dasarnya merupakan sebuah gagasan tentang perubahan sosial . Modernisasi sebagai gerakan sosial ini bersifat revolusioner (perubahan cepat dari tradisi ke modern). Selain itu, modernisasi juga berwatak kompleks (melalui banyak cara dan disiplin ilmu), sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia, melalui melalui proses yang bertahap untuk menuju suatu homogenisasi (convergensi) dan bersifat progresif . Maka konsep modernisasi meliputi bidang-bidang yang majemuk, ada yang disebut modernisasi politik, modernisasi ekonomi, modernisasi teknologi, modernisasi pendidikan, termasuk moderniasasi hukum, dan sebagainya. Namun bidang-bidang yang majemuk itu sebenarnya dalam rangka menuju homogenisasi.

Singkatnya, modernisasi adalah menyangkut (orientasi) kehidupan yang lebih baik, dimana ilmu pengetahuan modern memainkan peranan penting. Dengan demikian Globalisasi ini bukanlah semata-mata suatu fenomena ekonomi (banyak yang merujuk pada peranan perusahaan-perusahaan raksasa transnasional-TNCs), tetapi merupakan gejala yang dibentuk oleh pengaruh bersama faktor-faktor politik, sosial, kultural dan ekonomi .
Dalam konteks yang demikian, rasionalisme dan empirisisme menjadi pendekatan yang dominan yang diterapkan dalam menghadapi atau menyelesaikan setiap persoalan. Segala sesuatu yang tidak rasional dan tidak empirik dianggap sebagai entitas yang tidak ada dalam kehidupan masyarakat. Rasionalisme dan empirisisme selanjutnya menjadi tolok ukur kebenaran. Sebagai contoh, pendekatan rasional dalam segenap kebijakan pemerintah dan pembangunan untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan. Begitu pula pemerintah menganggap kebijakan yang tidak didasarkan pada ketentuan empiris, akan menghambat mobilitas faktor-faktor pembangunan.
Selain hal tersebut diatas, harus diakui bahwa globalisasi dengan modernisasinya dan dengan sekian banyak teori yang mendukungnya, ternyata memunculkan permasalahan kemanusiaan: moral, etika, kesusilaan, HAM dan lain-lain. Hal ini terjadi, antara lain, karena globalisasi, modernisme dan rasionalisme, cenderung mengabaikan "nurani", sehingga "pembangunan" menafikan keberadaan manusia sebagai makhluk yang memiliki nurani, harkat dan martabat yang tidak bisa diukur dengan materi. Dan sehingga pembangunan justru menimbulkan permasalahan kemanusiaan disana-sini.
Globalisasi, pada perjalanannya juga membutuhkan dan akan menjadikan hukum sebagai alat untuk memuluskan sekian banyak “produk” globalisasi dan modernisasi. Paradigma hukum yang match dengan kebutuhan tersebut adalah “hukum positif”. Hukum positif, melalui azas legalitasnya mengharuskan adanya jaminan kepastian, dan kepastian itu hanya bisa didapat melalui pemikiran-pemikiran yang rasional dan bukti-bukti yang empiric.

PERMASALAHAN
Pemaparan diatas menggambarkan, bahwasanya globalisasi dengan ciri modern, yang menuntut serba rasional dan empiric akan bertentangan dengan segala sesuatu yang tradisional. Sementara hukum adat (diakui atau tidak) adalah bersifat tradisional (terlepas dari perkembangannya) dan merupakan hukum yang ada (hidup) pada masa dahulu kala, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka.
Atas dasar hal tersebut, terdapat permasalahan yang memerlukan pembahasan dalam tulisan ini yaitu : Apakah hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan globalisasi?

PEMBAHASAN
Pelembagaan Hukum Adat di Indonesia
Hukum adat menurut Van Vollenhoven adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu disebut “hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu disebut “adat”) . Sedangkan ketentuan hasil seminar Hukum adat di Yogyakarta Tahun 1975 tentang definisi hukum adat adalah sebagai berikut: "Hukum adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam perundang-undangan RI dan disana-sini mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat menjadi salah satu sumber penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada unifikasi hukum (penyamaan hukum)" .
Tiap-tiap hukum merupakan sebuah sistem yaitu “peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan kesatuan alam pikiran”. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar–dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional, adalah sebagai salah satu bagian dari hukum positif yang secara konstitusional “diakui” oleh Negara. Istilah diakui (pengakuan) mengandung makna atau pengertian yang berbeda dengan istilah ditetapkan (penetapan).
Berlakunya hukum adat di Indonesia, bukanlah karena ditetapkan oleh Negara, sebab penetapan diperlukan apabila hukum adat merupakan suatu system hukum yang baru yang belum ada sebelumnya. Tetapi kiranya harus diketahui bahwa keberadaan hukum adat di Nusantara ini telah ada sebelum Republik ini berdiri. Dalam UUD’45 (Ps. 18 B ayat 2) dinyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan RI yang diatur dalam undang – undang”. Ketentuan Ps. 18 B(2) UUD’45 tersebut diatas, dapat dipahami mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
• Negara mengakui dan menghormati hukum adat, ini artinya Negara bukan hanya sekedar mengakui kebenaran dari hukum adat tersebut, tetapi lebih dari itu harus pula berperan aktif dalam proses pembangunan hukum adat, misalnya pemberdayaan kembali lembaga-lembaga hukum adat yang telah lama memudar sebagai akibat dari dominasi sistem perundang - undangan dan sistem ketatanegaraan kita di masa lalu. Negara mengakui eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, ini berarti Negara berkewajiban untuk mendorong dan jika perlu berperan aktif untuk memberdayakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sebagai bagian penting dari komponen bangsa dan menghormati serta memelihara segala ciri has yang ada sebagai bagian dari asset bangsa.
• Pembangunan hukum dan pemberdayaan lembaga-lembaga adat harus memberikan dampak positip sehingga mampu berpungsi dan berperan aktip sebagai pilter yang dapat menangkal segala dampak negatip dari arus globalisasi.
• Kesatuan-kesatuan masyarakat dalam hukum adat memelihara dan menggunakan hak-hak tradisionalnya dengan tetap menyadari keberadaannya dalam bingkai Negara Kesatuan RI.
Di dalam Undang-Undang No. 25 Th. 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) ditentukan bahwa garis kebijaksanaan pembangunan dibidang “Kebudayaan, Kesenian dan Parawisata” antara lain sbb:
1. Mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa, budaya nasional yang mengandung nilai-nilai universal termasuk kepercayaan terhadap Tuhan YME dalam rangka mendukung terpeliharanya kerukunan hidup bermasyarakat dan membangun peradaban bangsa.
2. Merumuskan nilai-nilai kebudayaan Indonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas prilaku kehidupan ekonomi, politik, hukum dan kegiatan kebudayaan dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional dan peningkatan kwalitas berbudaya masyarakat.
Kiranya dimaklumi bahwa Pembangunan nasional hanya mungkin dilakukan dengan benar dan baik bila bertumpu kuat pada hakikat dari pembangunan hukum nasional. Dalam konteks pembangunan hukum nasional, menjadi penting mengkaji aktualitas, relevansinya, mempelajari maupun meneliti perkembangan hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang terdapat di Indonesia pada umumnya. Hukum Adat adalah bagian penting dari strategi kebudayaan, maka dengan memahami hukum adat akan membantu mengembangkan lebih jauh nilai-nilai budaya yang tersimpan dalam hukum adat mereka. Oleh karena itu diperlukan pengamatan yang cermat dan seksama atas nilai-nilai, perkembangan nilai-nilai, norma-norma yang tumbuh, dan berkembang.
Sehingga pemahaman mengenai eksistensi hukum adat dalam hal ini secara substantif, bukan terletak pada apakah hukum adat tersebut telah ditetapkan oleh Negara atau tidak. Lebih dari itu adalah, nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis. Moh. Koesnoe dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif) tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan (menurut penulis termasuk ‘ungkapan–ungkapan simbolik bermakna’) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran .
Jadi hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain (Vollenhoven, Ter Haar, Kusumadi Pujosewojo) yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum (hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya akan membawa kekecewaan didalam menentukan apa yang hukum didalam adat . Sejalan dengan pendapat Koesnoe, Haryono mengatakan bahwa dikenal beberapa ciri dari Hukum Adat dan salah satu ciri penting adalah asas-asas hukum adat dirumuskan dalam bentuk seloka, pribahasa (perumpamaan) ataupun cerita . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturan-aturan yang bersifat ‘non-statutair’, adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.

Penguatan Hukum Adat, HAM, dan Pluralisme
Masyarakat adat telah menjadi salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan selama tiga dekade ini. Walaupun masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara-bangsa (nation-state) Indonesia, dalam pembuatan kebijakan nasional eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasi, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari agenda politik nasional. Perlakuan tidak adil ini bisa dilihat secara gamblang dari pengkategorian dan pendefinisian sepihak terhadap masyarakat adat sebagai "masyarakat terasing", "peladang berpindah", "masyarakat rentan", "perambah hutan", "masyarakat primitif", dan sebagainya. Pengkategorian dan pendefinisian semacam itu membawa implikasi pada percepatan penghancuran sistem dan pola masyarakat adat.
Dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyatakan bahwa: "Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, me-ngembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya; sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka. 88 Selama ini para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia menganggap nilai-nilai budaya adat sebagai keterbelakangan. Bertolak dari anggapan tersebut, berkembanglah sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial-budaya. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian digantikan dengan nilai-nilai lain, dalam hal ini "nilai-nilai modern (barat)", agar pembangunan dapat mencapai tujuan utamanya: kesejahteraan masyarakat.
Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perundang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produk-produk hukum itu bersifat sentralistik dan seragam. Misalnya Undang-Undang No.5 Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa. Aturan tersebut menjadi awal disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan "memisahkan tokoh" di kalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi penguasa tunggal yang memperhatikan kepentingan pemerintah di atasnya. Ia bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Di pihak lain ada kepala adat yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan masyarakat.
Buntut dari dualisme kepemimpinan ini adalah dengan tersingkirnya kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat dipercaya untuk mengatur pelaksanaan upacara adat. Upacara adat yang dipercayakan pelaksanaannya kepada ketua adat itu bukan merupakan bukti penghormatan dari masyarakat adat, melainkan untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi adat itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus marjinalisasi menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi.

Pentingnya Hukum Adat
Kita semua tahu bahwa hukum yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak hukum warisan Belanda atau masih dipengaruhi oleh hukum Belanda. Dalam penerapannya oleh para penegak hukum ternyata tidak sebagaimana di negeri asalnya, yang lebih mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu (ini tidak sama artinya dengan mementingkan diri sendiri) serta lebih berpikir rasional.
Sebaliknya penerapan hukum di Indonesia, diterapkan oleh para penegak hukum dengan pola pikir orang Indonesia, dengan kata lain menggunakan pola pikir adat, demikian pula rakyat Indonesia sebagai penerima, sebagian besar masih dengan mengutamakan kebersamaan atau bersifat komunal dan religio-magis.
Kondisi di atas mempunyai kontribusi terhadap kesemrawutan hukum, diskriminatif, dan tidak adil. Padahal seharusnya hukum yang baik itu menurut ahli hukum perlu memenuhi tiga syarat yaitu : filosofis, yuridis dan sosiologis, bahkan mungkin perlu ditambah harus mengakar dan bersumber pada budaya bangsa sendiri.
Keanekaragaman hukum yang berlaku di Indonesia merupakan kebutuhan hukum dari suatu masyarakat yang majemuk. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan yang dalam pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat. Jadi hukum nasional yang harus dapat diterima oleh semua pihak, maka itu perlu dirumuskan dalam rumusan yang bersifat umum. Hal-hal yang bersifat operasional harus diserahkan pengurusannya atau penyelesaiannya berdasarkan hukum adat yang berlaku bagi masing-masing suku yang terdapat di Indonesia. Kepada setiap suku harus diberi kewenangan untuk menjabarkan lebih lanjut apa yang diatur dalam ketentuan umum yang bersifat nasional tersebut.

Keterkaitan Hukum Adat dengan Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Hak seharusnya kata yang tidak asing bagi umat manusia, di benua manapun. Karena "hak" merupakan intisari yang paling karib dengan kebenaran dan keadilan dalam konteks dinamika dan interaksi kehidupan manusia beserta makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya. "Hak" telah terpatri sejak manusia lahir. "Hak" memang untuk siapa saja. Di antaranya hak yang bernama kemerdekaan, yang bernama hak makhluk dan harkat martabat kemanusiaan, hak yang bernama cinta kasih sesama, hak yang bernama indahnya kesejahteraan, baik yang bernama keterbukaan, dan kelapangan, hak yang bernama bebas dari rasa takut, hak nyawa, hak rohani, hak kesadaran, hak untuk tenteram, hak untuk memberi, hak untuk menerima, hak untuk menolak, hak untuk me-minta, hak untuk berbicara, hak untuk diam, hak untuk berani, hak untuk menghindar, hak untuk berkumpul, hak untuk dilindungi, hak untuk melindungi dan sebagainya.
Pada perkembangannya, "hak" mengalami perubahan, distorsi makna dan fungsi, hal ini disebabkan berbagai kepentingan kekuasaan manusia yang menyangkut interaksi antarmanusia sendiri, dan manusia dengan makhluk dan ciptaan Tuhan lainnya di sepanjang sejarah peradaban manusia yang teraktualisasi dalam sistem sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
Dalam sejarah modern, HAM berkembang pesat menjadi pembicaraan internasional sejak PD II di pertengahan abad ke-20. Sejak itu HAM menjadi bahan pembicaraan yang luar biasa, baik dalam konsep maupun dalam jumlah perangkat (hukum) yang mengaturnya. Dari istilah Fundamental Human Right (yang secara harfiah berarti Hak Asasi Manusia), sekarang kita lebih mengenal istilah human rights. Apa yang dulu dikenal sebagai the right of man di abad ke-18, dalam perkembangnnya telah bergeser men-jadi human rights. Di akhir abad ke-20 ini hampir seluruh dunia, masalah hak asasi manusia diangkat sebagi hal penting dalam negara demokrasi. Hak asasi manusia dianggap sebagai konsep etika modern dengan gagasan intinya adalah: adanya tuntutan moral yang menyangkut moral itu secara potensial amat kuat untuk melindungi orang dan kelompok yang lemah dari praktek kesewenangan mereka yang kuat, baik karena kedudukan, usia, status, jenis kelamin dan lainnya. Jadi HAM bukan hanya suatu konsep, karena pada dasarnya HAM mengarah pada penghormatan terhadap kemanusiaan.
Definisi hak asasi manusia yang dimuat dalam piagam HAM yang meupakan bagian yang tak terpisahkan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang HAM adalah : "Hak Asasi manusia adalah hak-hak dasar yang universal yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun".
HAM dapat digolongkan terdiri atas:
1. Hak individu yang merupakan hak-hak yang dimiliki masing-masing orang.
2. Hak kolektif, yakni masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi kebebasan yang dilanggar.
3. Hak sipil dan politik (dimuat dalam international covenant on civil and political rights dan terdiri dari 27 pasal), antara lain memuat hak-hak yang telah ada dalam perundang-undangan Indonesia seperti: a). Hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi yang kebebasannya dilanggar. b). Hak atas hidup, hak atas kebebasan dan keaman-an pribadi, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. c). Hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan hak politik, hak seseorang untuk diberitahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebe-basaam berekspresi.
4. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (dimuat dalam international covenant on economic, sosial, and cultural rights dan terdiri dari 13 pasal) antara lain memuat hak untuk menikmati kebebas-an dari rasa ketakutan dan kemiskinan, larangan atas diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati ekonomi, sosial, dan budaya; hak untuk mendapatkan peker-jaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perem-puan; hak untuk membentuk serikat tani/buruh, hak untuk mogok, hak atas pendidikan, hak untuk bebas dari kelaparan.
HAM bersifat universal, yang berarti bahwa seseorang berhak atas hak-hak tersebut karena ia adalah manusia. Jadi setiap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu, dan merupakan sarana etis dan hukum untuk melin-dungi individu, kelompok dan golongan lemah terhadap kekuatan-kekuatan dan kekuasaan-kekuasaan yang menin-das hak itu dalam masyarakat modern. Deklarasi Wina (1993) menyebutkan adalah kewajiban negara untuk mene-gakkan HAM dan menganjurkan peme-rintah-pemerintah untuk menegakkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen HAM internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan instrumen HAM inilah yang disebut sebagai ratifikasi.
Dalam konteks negara modern, HAM telah menjadi alat anggota masyarakat untuk menghadapi kekuasaan dominan dan cenderung menindas (seperti aparatus atau alat-alat negara baik birokrasi sipil maupun militer). Soal HAM memang berkaitan erat dengan soal demokrasi. Justru, di negara-negara demokrasi inilah HAM itu mendapat perlindungan yang paling kuat. Dengan adanya parlemen yang efektif, kehakiman independen, partai-partai politik yang mapan, lembaga pers yang bebas dan sebagainya, maka sama sekali tidak mudah bagi pemerintah untuk melanggar hak-hak asasi rakyatnya.
Dalam era reformasi kita temukan beberapa ketentuan MPR yang secara eksplisit memberikan pengakuan terhadap hukum adat antara lain:
1. TAP MPR No. XVII/MPR/1989 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini menyatakan identitas budaya masyarakat tradisional, termasuk hak atas tanah ulayat dilindingi selaras dengan perkembangan jaman. Dengan adanya penegasan ini, maka hak-hak dari masyarakat adat yang ada (masyarakat tradisional) ditetapkan sebagai salah satu hak asasi manusia yang wajib dihormati. Pemaknaan terhadap ketentuan ini lebih jauh perlu dikaitkan dengan pasal 18 B (2) dan pasal 28 1 (3) UUD 1945 setelah di amandemen.
• Pasal 18 B (2) UUD 45: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip negara kesatuan RI.
• Pasal 28 1 (3) UUD 45: Identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia Pasal 6 secara tegas menyatakan: a). Dalam rangka Penegakan Hak Asasi Manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. b). Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dan dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa Hak Adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan. Sedangkan dalam penjelasan pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

KESIMPULAN
Hukum adat merupakan hukum yang hidup, secara kuat dan mengakat ditengah-tengah masyarakat. Eksistensi hukum adat ini, berupa nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat, sekalipun tidak tertulis, sehingga walaupun hukum adat tersebut tidak ditetapkan oleh Negara (positifisasi), tetap berlaku ditengah-tengah masyarakat. Oleh Karena itu, hukum adat sebagai hukum yang berlaku tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi, akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran, sehingga hukum adat lebih menjamin rasa keadilan yang dibutuhkan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak peraturan (hukum positif) yang dalam pelaksanaannya kurang atau tidak diterima oleh masyarakat.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum adat masih dibutuhkan dalam menjawab tuntutan kompleksitas persoalan globalisasi. Sebab hukum adat merupakan nilai-nilai (kebenaran dan keadilan) yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Dan tuntutan masyarakat sebenarnya adalah kebenaran dan keadilan, bukan berlakunya hukum secara prosedural.

MELIHAT KENYATAAN YANG SEBENARNYA GERAKAN PMII


MELIHAT KENYATAAN YANG SEBENARNYA

Pendahuluan
Sebuah gerakan yang rapi dan massif harus mengandaikan terbentuknya faktor-faktor produksi, distribusi dan wilayah perebutan. Tanpa mengunakan logika ini maka gerakan akan selalu terjebak pada heroisme sesaat dan kemudian mati tanpa meninggalkan apa-apa selain kemasyuran dan kebanggaan diri belaka. Katakanlah kita sedang akan membangun sebuah gerakan maka dimana wilayah perebutan yang akan kita temui dan oleh karena itu apa yang harus kita produksi dan mengunakan jalur distribusi seperti apa agar produk-produk gerakan kita tidak disabotase di tengah jalan. Rangkaian produksi-distribusi-perebutan ini adalah sebuah mata rantai yang tidak boleh putus, karena putusnya sebuah mata rantai ini berati matinya gerakan atau setidak-tidaknya gerakan hanya akan menjadi tempat kader-kadernya heroisme-ria. Dan yang lebih penting bahwa gerakan semacam ini akan lebih mudah untuk di aborsi.
Yang pertama-tama perlu di kembangkan di PMII adalah bahwa sejarah itu berjalan dengan masa lalu, bukan karena semata-mata masa lalu itu ada, tetapi karena masa lalu telah membentuk hari ini dan hari esok. Artinya capaian tertinggi dari sebuah gerakan adalah ketika satu generasi telah berhasil mengantar generasi berikutnya menaiki tangga yang lebih tingi. Visi historis inilah yang akan menjadikan PMII sebagai organisasi besar yang berpandangan kedepan dan universal, karena PMII tidak didirikan hanya untuk bertahan selama sepuluh atau dua puluh tahun, tetapi PMII didirikan untuk melakukan perubahan tata struktur dan sistem. Dengan demikian paradigma menempati posisi yang sangat vital dalam membangun gerakan PMII ke depan, bukan semata-mata karena kita membutuhkan paradigma, tetapi karena paradigma itu seharusnya memandu gerakan PMII dalam longue duree dalam bingkai dunia.
Selama ini, perdebatan paradigmatik di PMII hanya bersifat reaksioner, bukan sebuah inisiatif yang didasarkan pada gerak maju yang terencana. Kondisi seperti inilah yang kemudian membatasi ruang lingkup gerakan PMII yang hanya melingkar di orbit internal NU dan tidak mampu melakukan pendudukan dan perebutan sektor-sektor setrategis yang memiliki resonansi luas kepada publik. Sejauh berkaitan dengan perubahan struktural yang dicitakan PMII, maka pendudukan dan perebutan sektor-sektor publik adalah suatu keniscayaan. Masalahnya selama ini yang di puja-puja oleh sebagaian besar aktifis PMII adalah gerakan kultural an sich yang mengabaikan segala sesuatu yang bersifat struktur. Katakanlah dikotomi gerakan kultural-struktural yang menjadikan PMII sebagai penjaga gerbang kultural sementara organisasi kemahasiswaan yang lainnya, misalnya sebagai pemain struktural telah menimbulkan kesesatan berfikir sedari awal tentang gerakan yang dibayangkan (imagined movement) oleh kader-kader PMII, bahwa PMII cukup hanya bergerak di LSM-LSM saja dan tidak perlu berorientasi di kekuasan. Jadi paradigma merupakan suatu keniscayaan yang di bangun berdasakan atas pandangan PMII tentang dunia dalam realitas globalisasi dan pasar bebas yang saat ini sedang berjalan.

Indonesia Dalam Globalisasi Dan Pasar Bebas Sebagai Relitas dan Modal Gerakan
Dalam peradapan baru dunia global, kemajuan tekhnologi dan informasi menjadi infrastruktur penopang bergeraknya globalisasi dan liberalisasi ekonomi (baca neoliberal). Sebagai contohnya keberadaan pasar maya yang merupakan sistem dan tatanan baru bagi keuangan internasional yang kemudian banyak disebut dengan disebut dengan pasar modal dan pasar uang. Kemajuan elektronik global, membuat para pemegang modal diberbagai sektor seperti keuangan, perbankan, investasi langsung dan lain-lain, dengan mudahnya dapat memindahkan modalnya dalam jumlah besar dari negara yang lain ke negara yang lainnya hanya dengan memencet mouse kompiuter dengan jaringan internet yang terakses langsung disemua negara di dunia. Sehingga dengan mudahnya mereka malakukan intervensi terhadap perekonomian satu negara bahkan satu kawasan. Karena pergerakan aliran lalu lintas modal global sangat mempengaruhi pasar modal dalam satu negara. Selain itu terpakunya standar pertukaran internasional hanya pada dollar AS, mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi perputaran dan pergerakan pasar uang global.
Sistem dunia akan terus bergerak dan mempunyai kecenderungan untuk bergerak linier yang akan berproses secara kompleks serta akan selalu memunculkan kontradiktif atau pertentangan. Sistem dunia juga akan merasuki semua aspek kehidupan manusia dan negara, sehingga ada kecenderunagn suatu negara tak terkecuali Indonesia akan kehilangan sebagian kekuatan ekonominya. Dilain pihak globalisasi akan mendorong kekuatan-kekuatan lokal (baca kearifan lokal) untuk mampu bertahan dalam dunia yang menglobal ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Anthony Giddens, “Globalisasi tidak hanya berkaitan dengan sistem-sistem besar, seperti tatanan keuangan dunia, globalisasi bukan sekedar apa yang ada diluar sana terpisah, dan jauh dari orang perorang. Ia juga merupakan fenomena di sini yang mempengaruhi aspek-aspek kehidupan kita yang intim dan pribadi. Perdebatan mengenai nilai-nilai keluarga yang tengah berlangsung di banyak negara misalnya, mungkin terkesan sangat jauh dari pengaruh globalisasi. Tidak demikian halnya, dibanyak belahan dunia, sistem keluarga tradisional kian berubah atau terdesak khususnya setelah kaum perempuan menuntut kesetaraan yang lebih besar. Sepanjang yang kita ketahui dari catatan sejarah, belum pernah ada masyarakat yang kaum perempuannya hampir setara dengan pria. Ini sunguh merupakan revolusi global dalam kehidupan sehari-hari yang konsekwensinya dirasakan diseluruh dunia , dari wilayah kerja hingga wilayah politik”. (Anthony Giddens : 2001)
Keberadaan Indonesia tidak lepas dari pergerakan di luar apalagi dalam dunia yang menglobal. Dinamika perpolitikan internasional yang akan mendorong semakin menguatnya trend global kedepan dan trend ini tentunya akan terus berubah mengikuti irama pasar. Sistem dunia yang didukung sepenuhnya negara-negara di dunia pertama, sehingga mereka memainkan peran setrategis setiap pengambilan kebijakan mengenai aturan-aturan internasional melalui lembaga-lembaga tertentu. Sebagai contoh adalah adanya ISO (international Standart Organisation) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam perdaganan barang lintas negara. Cara pandang penetapan aturan dengan mengunakan cara pandang barat, yang sudah barang tentu berbeda dengan cara pandang, kondisi dan potensi yang dimiliki oleh negara-negara di dunia ketiga. Aturan seperti ini sudah barang tentu akan mengalalahkan daya saing negara-negara ketiga, karena aturan ISO memiliki kecenderungan untuk menghadapkan pada hokum besi mekanisme pasar.
Mekanisme pasar sejauh membuka kesempatan kepada semua pihak untuk berinteraksi secara setara dapat di terima. Tetapi dalam sistem neoliberal seperti yang sekarang kita temui ini, dijumpai sebuah kondisi dimana prinsip kesetaraan tidak ada, atau terjadi interaksi yang asimetris. Prinsip perdagangan bebas yang dipandu dengan sistem monetarisme hampir-hampir tidak menyisakan ruang bagi ekonomi kecil untuk survive. Para pemilik modal besarlah yang memiliki kesempatan emas untuk bermain dalam sistem ini.
Keterlibatan Indonesia dalam perdagangan bebas dengan diresmikannya AFTA, tetapi jika di analisis lebih dalam Indonesia tidak akan dapat berbuat banyak dihadapan modal-modal asing raksasa. Kita dapat membayangkan bagaimana seandainya sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak akan di kuasai oleh segelintir individu yang dengan laluasa akan dapat memainkannya untuk kepentingan pribadinya. Negara yang seharusnya mengabdi demi hajad hidup orang banyak telah di pereteli kekuasaanya oleh pasar, sehingga tidak lebih hanya akan bertindak sebagai agen pasar berhada[an dengan masyarakat sendiri.
Dengan agenda payung privatisasi misalnya kita telah dan akan melihat bagaimana banyak BUMN di privatisasi demi memenuhi budget pemerintah yang telah mengalami defisit. Yang menarik adalah privatisasi itu terjadi atas desakan IMF yang merupakan kepanjangan tangan negara-negara core dalam moneter dunia. Ini secara gamblang menjelaskan bagaimana pemerintah (baca : negara) tidak berdaya di hadapan sistem pasar yang telah mapan (neoliberalisme).
Yang sangat ironis, ditengah kencangnya gerak maju neoliberalisme justru tidak ada struktur lokal yang mampu menghadapinya. Struktur lokal telah terfragmentasi sedemikian rupa sehinga neoliberalisme dapat menjebol benteng Indonesia tanpa perlawanan sama sekali. Dalam hubungan antar negara bangsa, pemerintah dan rakyat yang sama sekali tidak saling terkait kita menyaksikan bahwa Indonesia telah benar-benar terkunci dalam gerak sejarah. Jika hari ini adalah lima puluh tahun yang silam dan kita telah memiliki keawasan seperti hari ini, niscaya kita akan memilih Mao Tse Tung atau Tan Malaka yang memilih kemerdekaan sepenuh-penuhnya, bukan negociated independence seperti yang kita alami. Seandainya kita memiliki kesempatan untuk berbenah diri ke dalam tanpa harus mengintegrasikan diri dalam interaksi global yang asimetris ini, maka politik isolasi mungkin adalah pilihannya. Resikonya adalah seperti apa yang telah di alami Cina (RRC), selama beberapa dekade sibuk berbenah diri melakukan reformasi struktur internal dan kemudian dalam hitungan dekade kelima telah mampu bersaing dengan hegemon dunia. Tentu Cina memiliki kekhasan yang tidak bisa disamakan dengan Indonesia, tetapi paling tidak ia merupakan gambaran bahwa there in (an) Alternative (TIA) selain blue-print AS yang harus di ikuti oleh negara pery-pery.
Konsolidasi politik negara-negara Eropa dan Amerika yang banyak menganut demokrasi liberal pasca perang dunia ke-2, untuk menciptakan format baru penjajahan dari kolonialisme dan imperalisme lama. Konsolidasi yang menghasilkan adanya pertukaran politik global sehingga memunculkan imperium global yag diikuti dengan perkembangan diplomasi multerateral dan regulasi internasional dan pembentukan instritusi-institusi politik global, seperti PBB dan institusi regional seperti Uni Eropa, NAFTA dan lain-lain. Institusi politik internasional inilah yang akan menciptakan aturan main percaturan politik global berskala internasional khususnya yang menyangkut isu-isu perdagangan, perang dan perdamaian. Perkembangan politik internasional yang ditopang dengan aturan internasional tersebut akan menghilangkan sekat-sekat batas negara sehingga akan memunculkan rezim internasional yang mempunyai pengaruh cukup signifikan dan memiliki otoritas untuk menentukan masa depan negara-negara yang lain. Perkembangan internasionalisasi dan transnasional politik yang mempunyai kecenderungan hilangnya peran negara atas warganya, dan kecenderungan untuk membangun satu pemerintahan rezim global yang berlapis dengan kekuasaan mayanya, tetapi mampu mengerakkan struktur sosial dan politik dari sebuah negara. Konsekwensi dari politik transnasional ini adalah miunculnya hukum-hukum internasional yang kosmopolitan.
Posisi Indonesia yang merupakan bagian dari dunia, tidak akan mungkin lagi terhindar dari proses internasionalisasi politik tersebut apalagi dengan kondisi geo-geografis Indonesia yang strategis. Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya menjadi bagian kecil dalam pentas dunia. Pemerintah Indonesia dan negara-negara ketiga lainnya akan semakin kehilangan kontrol atas arus informasi, teknologi, penyakit, migrasi, senjata, dan transaksi finansial baik legal maupun ilegal yang melintasi batas-batas wilayahnya. Aktor non-negara, mulai dari kalangan bisnis hingga organisasi-organisasi non-profit akan semakin memainkan peranan penting dalam lingkup nasional maupun internasional. Kualitas pemerintahan nasional dan internasional akan ditentukan oleh tingkat keberhasilan negara dan masyarakat dalam mengatasi kekuatan-kekuatan global di atas.
Oleh karena itu, kita perlu melihat Indonesia dalam gambar dan ruang lebih besar lagi yaitu dunia. Dengan melihat Indonesia sebagai bagian dari sebuah sistem dunia yang sedang berjalan, kita dapat mengenali relasi apa yang sedang terjadi dalam sebuah peristiwa. Dengan mengenali relasinya kita dapat melihat pola-pola yang di gunakan oleh sistem tersebut untuk beroperasi, katakanlah kita perlu melihat dengan perspektif sistem dunia ini, lalu bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan internal Indonesia dengan sistem dunia ini ?
Adalah Emanuel Wellerstain dan teman-temannya di Fernan Broudell Center Binghamton University yang mencoba memperkenalkan perspektif sistem dunia ini sebagai alat baca. Dalam pandangan para world sistemizer dunia ini terbagi ke dalam tiga wilayah kerja (internasional divisiopn of labour) yaitu
1. Core, terdiri dari negara yang memiliki proses-proses produksi yang cangih, didaerah ini borjuis indigenous memiliki industri otonom yang memproduksi komoditas manufaktur untuk pasar dunia. Pola-pola kontrol buruh yang dominan adalah wage labour dan self-employment, negara-negara core biasanya dengan strong state machinesries. Negara core pada umumnya Northwest Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia.
2. Periferi, terdiri dari negara-negara yang memiliki proses produksi yang sederhana. Biasanya produk-produk negara periferi ikut menyumbang proses akumulasi kapital dinegara-negara core karena dagang memerlukan pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang. Kontrol buruh juga dijalankan dengan kekerasan, dengan struktur negara yang lemah. Negara periferi menurut Wallerstain’s tidak cukup kuat untuk mengintervensi lajunya komoditas, kapital dan buruh antar zona ini denfgan zona yang lainnya dalam system dunia. Tetapi cukup kuat untuk memfasilitasi flows yang sama.
3. Semi Periferi, mempunyai kompleksitas kegiatan ekonomi, modus kontrol buruh, mesin negara yang kuat dan sebagainya. Fungsi politik periferi adalah sebagai buffer zone antara dua kekuatan yang saling berlawanan. Secara historis, semi periferi terdiri dari negara-negara yang sedang naik atau turun dalam system dunia.

Sabtu, 03 Juli 2010

ANALISA SOSIAL FOR BEGINNER1


ANALISA SOSIAL FOR BEGINNER1
Sebuah Pengantar Memahami Realitas Sosial2

STRUKTUR SOSIAL
Lebih dahulu perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan struktur sosial. Kita ketahui, bahwa orang-orang yang hidup dalam masyarakat saling berinteraksi. Interaksi ini didasari dan terus diarahkan pada nilai-nilai kebersamaan, norma-norma yaitu standar tingkah laku yang mengatur ineraksi antar individu yang menunjukkan hak dan kewajiban tiap-tiap individu sebagai sarana penting agar tujuan bersama tercapai, dan akhirnya oleh sanksi, baik sanksi yang negatif dalam arti mendapat hukuman kalau melanggar norma maupun sangat positif yaitu mendapat penghargaan karena telah mentaati norma yang ada. Dasar dan arah umum interaksi inlah yang kita mengerti sebagai kultur.
Kecuali itu, interaksi antar individu juga diantur sesuai dengan tujuan-tujuan khusus interaksi itu. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keakraban diatur dalam institusi keluarga. Interaksi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup diatur dalam institusi ekonomi. Interaksi orang dalam hubungannya dengan Illahi diatur dalam institusi agama. Sedangkan agar keseluruhan interaksi dalam masyarakat umumnya bisa bisa terjamin dan pasti diadakan institusi politik. Institusi-institusi ini saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Bagaimana kadar saling hubungan dan saling mempengaruhi, serta mana institusi yang paling berpengaruh harus dilihat langsung dalam masyarakat yang ada. Karl Marx umpamanya berpendapat, bahwa institusi ekonomislah yang merupakan landasan di mana institusi-institusi lain berdiri. Dengan kata lain semua institusi lainnya dipengaruhi dan ditentukan oleh institusi ekonomi. Tidak ada pengaruh timbal balik.
Perlu diingat, bahwa dalam setiap institusi juga ada nilai-nilai, norma-norma dan sanksi-sanksi, karena tujuan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi memang untuk mengatur interaksi. Keseluruhan institusi serta saling berhubungan satu sama lain, itulah yang disebut stuktur sosial. Kata stuktur menunjukkan saling adanya hubungan antara bagian keseluruhan. Maka dapat dikatakan stuktur sosial adalah interaksi manusia yang sudah berpola dalam institusi ekonomi, politik, agama, keluarga, budaya. Dengan kata lain struktur sosial adalah pengorganisasian masyarakat yang ada atau keseluruhan aturan permainan dalam berinteraksi.

KEADILAN PERSONAL, KEADILAN SOSIAL
Selanjutnya perlu juga dimengerti perpindahan antara keadilan personal dan keadilan sosial. Dalam keadilan personal sering mudah diketahui siapa yang bertanggungjawab. Si pembeli A membeli barang dengan kualitas tertentu, ternyata dia mendapat barang dengan kualitas rendah. Penjual barang tersebut jelas langsung bisa dimintai pertanggungjawabannya. Jelaslah mengenai keadilan personal, pelaksanaannya tergantung pada kehendak individu yang bersangkutan. Keadilan personal manuntut agar kita memperlakukan setiap orang yang kita hadapi dengan adil. Sebaliknya mengenai ketidak adilan sosial tanggung jawab atas perbuatan dan efek perbuatan menjadi tanggung jawab semua orang. Tidak bisa kita menunjuk satu orang untuk beranggung jawabsebagaimana pada ketidak adilan personal. Pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur masyarakat. Karena tergantungnya pad stuktir masyarakat maka tanggung jawab ketidak adilan sosial menjadi tanggung jawab semua pihak.Hal ini diperjelas dengan seringnya individu dalam masyarakat yang tidak bisa bersikap adil meski dia sudah insaf namun karena struktur sosiallah yang menbuat dia tidak bisa bersikap adil. Umpamanya seorang pengusaha tekstil tidak dapat menaikkan upah buruh-buruhnya karena perdagangan tekstil sedemikian rupa sehingga kalau dia menaikkan upah buruh-buruhnya perusahaan akan gulung tikar. Dengan kata lain institusi ekonomi yang ada menyebabkan upah buruh tetap rendah. Kalau pelaksanaan keadilan sosial tergantung pada struktur sosial yang ada, maka perjuangan demi keadilan sosial berarti perjuangan membangun struktur sosial yang semakin adil.

TUJUAN ANALISA SOSIAL
Analisa sosial adalah suatu usaha untuk mempelajari struktur sosial yang ada, mendalami institusi ekonomi, politik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan sosial. Dengan mempelajari institusi-institusi itu, kita akan mampu melihat satu masalah sosial yang ada dalam konteknya yang lebih luas. Dan kalau kita berhasil melihat suatau masalah sosial yang henadak kita pecahkan dalam kontek yang lebih luas, maka kita pun juga dapat menentukan aksi yang lebih tepat yang diharapkan dapat menyembhkan sebab terdalam masalah tersebut. Demikian menjadi jelas, analisis sosial adalah suatu usaha nyata yang merupakan bagian penting usaha menegakkan keadilan sosial.

MODEL = KERANGKA BERPIKIR
Dalam menganalisis masyarakat, sadar atau tidak sadar orang biasanya mempunyai kerangka berpikir atau memandang. Kerangka berpikir atau memandang inilah yang disebut model. Demikian suatu model adalah asumsi atau gambaran umum mengenai masyarakat. Model ini mempengaruhi begaimana seseorang memilih objek studi dan cara mendekati objek studi tersebut. Sedang teori yang turunkan dari model berifat lebih terbatas dan persis. Suatu model hanya bisa dinilai lengkap, produktif atau berguna, sedang teori bisa salah atau benar.
Ada dua model yang sering melatar belakangi orang dalam mendekati masalah-masalah sosial, yaitu model konsensus dan model konflik.

MODEL KONSENSUS
Menurut model konsensus, stuktur sosial yang ada merupakan hasil konsensus bersama aanggot masyarakat, perjanjian dan pengakuan bersama akan nilai-nilai. Menurut model ini, setiap masyarakat pada hakikatnya teratur dan stabil. Keteraturan dan kestabilan ini disebabkan karena adanya kultur bersama yang dianut dan dihayati oleh anggota-anggota masyarakat. Kultur bersama ini meliputi nilai-nilai, norma dan tujuan yang hendak dicapai. Meskipun pada individu-individu ada kemungkinan-kemungkinan perbedaan dalam persepsi dan pengjhayatan kultur bersama itu, toh pada umumnya nilai-nilai sosial yang berdasar serta norma-norma ayang ada. Justru karena adanya konsensus bersama inilah,maka tata sosial dalam suatu masyarakat.
Model ini menilai masalah sosial sebagai penyimpangan dari nilai-nialai dan norma-norma bersama, karenanya juga masalah sosial dianggap membahayakan stabilitas sosial. Penyelesaian masalah sosial selalu diusahakan dalam kerangka tata sosial yang sudah ada. Dengan kata lain tata sosial tidak pernah dipersoalkan , bahkan kelangsungan stuktur sosial yang sudah ada dijunjung tinggi. Model Konsensus melatar belakangi dua ideologi yaitu konservatif dan liberal.

a.Ideologi konservatif
Ideologi konservatif berakar pada kapitalisme dan liberalisme abad ke-19. Pasaran bebas dianggap oleh ideologi iini sebagai fundamen bagi kebebasan ekonomi dan politik. Pasar bebas dianggap akan menjamin adanya desentralisasi kekuatan politik. Kaum konservatif menjunjung tinggi sruktur sosial. Demi tegaknya struktur sosial tersebut menurut kaum konservatif otoritas dinilai sangat hakiki. Termasuk struktur sosial adalah stratifikasi sosial atau tingkat sosial. Adanya perbedaan tingkat sosial ini dikarenkan perbedaan tingkat individu dengan bakat-bakat yang berbeda. Setiap orang harus berkembang sesuai dengan bakat yang berbeda. Setuap orang harus berkembang sesuai dengan bakat dan pembawaannya. Karenanya sudah sewajarnya kalau ada perbedaan dalam tingkat prestasi yang menuntut masyrakat untuk memberi imbalan dan balas jasa yang berbeda-beda, merupakan dasar adanya hak milik pribadi. Dengankata lain hak milik pribadi dianggap sebagai balas jasa atas jerih payah usaha tiap-tiap anggota masyarakat.

Kemiskinan Menurut Ideologi Konservatif
Pada umumya kaum konservatif melihat masalah kemiskinan sebagai kesalahan pada orang miskin sendiri.Orang miskin dinilai umumnya bodoh,malas, tidak punya motivasi beerprestasi tinggi, tidak punya ketrampilan dan sebagainya yang merka bialang sebagai mental dan kultur penyebab kemiskinan. Menilai positif terhadap stuktur sosial yang ada. Dan menggap kemiskinan sebagai penyimpangan ketentuan yang ada dalam konsensus. Kaum konservatif tidak menggap kemiskinan bukan sebagai masalah serius dan kemiskinan akan bisa diselesaikan dengan sendirinya, maka tidak perlu adanya campur tangan pemerintah.

b.Ideologi Liberal
Liberasi memandang manusia pertama-tama sebagai yang digerakan oleh motivasi kepentingan ekonomi pribadi, dan libaeralisme mempertahankan hak manusia untuk semaksimal mungkin cita-cita pribadinay. Liberasi percaya akan efektifitas pasar bebas dan hak atas milik pribadi. Hak-hak, kebebasan individu sangat ditekankan dan diperjuangkan demi untuk melindungi individu-individu terhadap kesewenangan negara.

Kemiskinan Menurut Ideologi Liberal
Berbeda dengan kaum konservatif, kaum liberal memandang kemiskinan sebagai masalah yang serius, karenanya harus dipecahkan. Kemiskinan dapat diselesaikan bila tersedianya kesempatan yang seluas-luasnya tanpa diskriminasi. Kaum liberal percaya bahwa orang miskin dapat mengatasi kemiskinannya asal mereka mendapat kesempatan berusaha yang memadahi, maka diusulkan untuk diperbaikinya pelayanan-pelayanan bagi kaum miskin, membuka kesempatan kerja baru, membangun perumahan dan penyebarluasan pendidikan.

Kesimpulan
Baik konservatif maupun liberal mempertahankan struktur sosial yang telah ada, dan stuktur sosial ini ditandai dengan perbedaan tingkat sosial, sistem ekonomi kapitalis dan demokratis politik. Perbedaan dalam memandang kemiskinan, kalau kaum konservatif kemiskinan adalah kesalahan orang miskin itu sendiri dan kaum konservatif cenderung membiarkan sedang kaum liberal mengusahakan agar orang miskin mendapatkan kesempatan yang sama dan mampu menyesuaikan dalan struktur.

MODEL KONFLIK
Berbeda dengan model konsensus, model konflik ini memandang stuktur sosial yang ada sebagai hasil pemaksaan sekelompok kecil anggota masyarakat terhadap mayoritas warga masyarakat. Jadi struktur sosial bukan merupakan hasil konsensus seluruh warga apalagi persetujuan bersama mengenai nilai-nilai dan norma-norma. Stuktur sosial adalah dominasi sekelompok kecil dan kepatuhan serta ketundukan sebagaian besar warga masyarakat atas dominasi kelompok kecil tersebut. hukum dan undang-undang dalam masyarakat adalah ciptaan kelompok kecil, elit, dan kelompok yang memerintah untuk mempertahankan kepentingan mereka. Hukum dan undang-undang terutama ditujukan untuk melindungi milik-milik pribadi dan kepentingan.
Model ini memandang positif perubahan-perubahan yang memandang konflik sebagai sumber-sumber potensial bagi perubahan sosial yang progresif. Penganut model ini selalu mempertanyakan struktur sosial yang sudah ada. Mereka tidak mempersoalkan bagaimana orang miskin bisa hidup dan berprestasi dalam stuktur sosial yang sudah ada sebagaimana ditekankan kaum liberal, tetapi mereka mempersoalkan struktur sosial itu sendiri dan menganggapnya sebagai penyebab kemiskinan. Maka persoalan kultur dan mentalitas orang miskin tidak menarik perhatian penganut model konflik ini, sebab persoalan kultur orang miskin dianggapnya tidak mempersoalkan secara mendasar struktur dan kekuasaan politik yang sudah ada. Bahkan mereka menilai kultur dan mentalitas orang miskin yang digambarkan oleh kaum konservatuf itu disebabkan oleh struktur sosial itu sendiri yang tetap bertahan berpuluh atau ratusan tahun.
Kaum penganut model menggap struktur sebagai penyebab kemiskinan, untuk membuat analisis keadaan sosial pertanyaan yang mereka adalah:
-Kelompok mana yangmendapat untung dari sistem masyarakat yang ada dan kelompok mana yang dirugikan ?
-Siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam kompetisi dalam grup dan diantara grup yang ada ?
-Faktor-faktor mana yang menentukan siapa pemenang dan siapa yang kalah ?

Penganut model ini, melihat masyarakat yang ada sebagai masyarakat massal, yang terdiri dari kelompok elit yang berada di atas massa rakyat banyak yang ada di lapisan bawah yang sama sekali tidak tidak terorganisir sehingga tidak memiliki kekuasaan yang efektif. Rakyat sebagai konsumen media dengan komunikasi dari satu arah tanpa mampu menanggapi dan rekasi berarti. Merka tidak menguasai mass media sehingga protes-protes yang mereka sampaikan tidak pernah mampu menyuarakan pendapat mereka. Dalam kepentingan ekonomi orang miskin didesain untuk dilanggengkan kemiskinannya oleh penguasa dan elit, sebab dengan kemiskinan masih ada kerja-kerja kotor yang bisa dikerjakan oleh orang miskin dengan biaya murah—tenaga.
Orang miskin juga dijadikan komoditi politik –kestabilan politik--oleh elit, karena orang miskin kebanyakan tidak tertarik pada bidang politik dan peluang ini digunakan sebagai pendukung suara dalam pemilu.
Orang-orang miskin dibutuhkan sebagai identifikasi pelanggaran-pelanggaran norma dan nilai, kriminal-kriminal yang ditangkap kebanyakan memang dari orang miskin namun sementara kriminal kerah putih (white collar crime) jauh dari penyelidikan apalagi pengadilan.

Jalan Keluar
Hal yng mengarah pada perubahan sosial sebagaimana digariskan menganut model konflik tadi, disini kita temukan garis moderat sampai pada garis yang benar-benar radikal. Garis moderat menghendaki demokrasi partisipatif baik dalam group-group sosial yang ada maupun dalam organisasi-organisasi sebagai tujuan yang harus dicapai oleh setiap masyarakat. Mereka tidak menganggap pentingnya kepemimpinan, sebaliknya mereka yakin bahwa semua orang ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan-keputusan yang mempengharuhi hidup mereka. Mereka menentang segala bentuk birokrasi, pengaturan dari luar. Mereka menginginkan kontrol mahasiswa atas sekolahnya, rakyat atas polisi, buruh atas pabrik mereka. Sedang penganut garis radikal menganjurkan aksi-aksi menentang sistem sosial yang ada umpamanya ketidaktaatan rakyat akan segala aturan yang ada (civil diobedience), sebab mereka ini yakin bahwa tidak mungkin mengadakan perubahan-perubahan lewat saluran-saluran resmi/legal yang ada atau lewat pemilihan-pemilihan umum, saluran-saluran semacam ini mereka anggap tidak efektif.

EPILOG
Studi ini sebenarnya masih begitu terbatas, analisa sosial akan lebih dipahami ketika kita semua mau untuk mengamati segala sesuatu disekitar kita, kehidupan sosial hidup kita sehari-hari. Kemudian adakan sebuah analisis tentang ketidakadilan sosial yang ada didalamnya dan kita akan bisa menyusun action plan untuk menindaklanjuti sebagai aksi nyata untuk menyelamatkan eksploitasi, pembodohan dan penindasan rakyat kecil atau mungkin diri kita sendiri di lingkungan kita sendiri, mungkin juga di kampus dan organisasi ini ???

“MERDEKAKAN DIRI ANDA DARI KETIDAKTAHUAN, KETIDAKMAMPUAN, DAN KETIDAKPEDULIAN TERHADAP KONDISI SOSIAL YANG TIMPANG DI DEPANMATA ANDA, KARNA ANDA TAK LEBIH DARI SEORANG PENINDAS KETIKA ANDA DIAM YANG SAMA ARTINYA IKUT MENIKMATI KETIDAKBERDAYAAN MEREKA YANG PAPA”


Wallahul Muwaffieq Ilaa Aqwamith Thorieq

Jumat, 02 Juli 2010

PMII dan Tradisi Protes


PMII dan Tradisi “Protes”
Adalah Hariman Siregar (2001), salah seorang tokoh Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), menyatakan bahwa gerakan mahasiswa merupakan pilar ke-5 demokrasi setelah, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media massa (institusi pers sebagai pencipta opini publik). Salah satu alasan yang diajukannya adalah, realitas bahwa mahasiswa di dunia ketiga (khususnya Indonesia) yang selalu tampil menjadi benteng terakhir demokrasi. Ketika otoritarianisme negara memuncak, dan lembaga-lembaga demokrasi di atas tak lagi efektif memainkan perannya, maka mahasiswa mampu tampil sebagai kekuatan pendobrak yang menyedikan dirinya menjadi bumper perubahan. Apa yang terjadi pada angkatan ’66, ’74, dan ’98 kemarin adalah bukti tak terbantahkan.
Apa yang diungkapkan Hariman di atas, memang nyata adanya, dan sudah sering diungkapkan pula oleh para cendekia ataupun para tokoh gerakan mahasiswa itu sendiri. Namun, semuanya juga mengakui bahwa gerakan mahasiswa itu berhenti pada tataran pendobrakan saja, selebihnya selalu di take over oleh para politisi, parpol ataupun kekuatan politik-strategis lainnya, karena itu mahasiswa akan selalu ditinggalkan begitu saja. Puja-puji atas kiprah mahasiswa itu cukup dihadiahi dengan sanjungan bahwa mahasiswa adalah agent of change, suaranya mewakili jeritan hati terdalam dari masyarakat tertindas dan independen serta tidak memiliki tendensi politik (gerakan mahasiswa identik dengan gerakan moral). Ada juga yang kemudian memposisikan mahasiswa sebaiknya menjalankan fungsi kontrol saja atas sistem, karena itu posisi terbaik mahasiswa terhadap negara adalah “oposisi”, tak lebih dari itu. Jika kemudian mereka ingin terlibat lebih jauh dalam proses-proses pengambilan keputusan, maka cukuplah bagi mahasiswa ini menggabungkan diri dengan parpol-parpol yang ada, itupun kalau mahasiswa mau, kalau tidak ya kembali saja ke kampus, atau tetap aktif dalam pergerakan dengan melakukan advokasi serta terlibat kembali dalam proses pemberdayaan masyarakat, sudah sampai disitu saja diskursus tentang gerakan mahasiswa. Kalau masih saja penasaran, lalu apalagi kemudian yang menarik untuk diperbincangkan tentang mahasiswa, selain dari semua hal di atas ?.
Bagi mahasiswa, tentunya masih banyak hal-hal yang menarik diperbincangkan selain beberapa hal di atas, begitu pula dengan PMII. Ketika mahasiswa tak lagi “dibutuhkan perannya” untuk menangani persoalan besar berskala nasional, maka gerakan mahasiswa hanya akan disibukkan dengan isu yang case by case, bernuansa lokal dan tidak ada lagi isu sentral yang sanggup mengerakkkan seluruh elemen mahasiswa kembali turun jalan. Sehingga, aksi-aksi mahasiswa itu hanya bersifat melempar persoalan itu ke permukaan agar menjadi opini publik tanpa ada upaya serius untuk menindaklanjuti hal tersebut. Lihat saja, demo mahasiswa masalah dugaan KKN-nya Jaksa Agung M.A Rahman, Demo kasus BPPN, dan lain sebagainya.
Ada kegamangan dalam diri PMII, antara turun gelanggang dan berdiam diri, sembari menyibukkan diri dengan urusan rumah tangga (internal) organisasi, padahal masyarakat tidak ada hentinya menuntut pertanggungjawaban atas sebuah perjuangan yang belum usai. Ini terjadi, karena masyarakat hanya tahu bahwa mahasiswalah (PMII include didalamnya) yang telah mengawali semuanya (reformasi). Sementara itu, di sisi lain, PMII masih terdisorientasi dalam memposisikan diri di tengah-tengah gelanggang yang sekarang ini sudah sangat politis dengan kekhawatiran akan dipolitisir menjadi “helen of troy” berbagai kekuatan politik, baik nasional, regional maupun internasional.
Jika, PMII terus menerus dalam kondisi ‘demam’ yang tak berkesudahan di antara dua pilihan tersebut dengan reasoning bahwa PMII mesti belajar dari para pendahulunya, dari angkatan ’66, ’74, ‘77-78, ’98, bisa jadi PMII akan terjebak pada situasi lebih buruk, seperti yang menimpa semua angkatan tersebut. Oleh karena itu, ke depan, PMII harus selalu memerankan 2 karakter gerakan dalam konstelasi lokal ataupun nasional, yakni; sebagai agent of change, sebagai kekuatan pelopor perubahan, atupun peruntuhan otoriterianisme kekuasaan dan director of change, sebagai salah satu pengendali utama perubahan. Dus, demi menjamin konsistensi dan keberlangasungan untuk memerankan hal itu, maka PMII harus selalu berdiri di atas kepentingan rakyat, ditengah-tengah rakyat, dan menjadi pusat keluh kesah rakyat, sehingga hal ini akan memudahkan PMII menyuarakan hal tersebut kepada para elit politik dan tokoh bangsa yang memiliki peran membentuk wajah negeri. Oleh karena itu, “posisi antara”, merupakan pilihan paling strategis (balancing of power) yang akan terus bisa PMII mainkan, agar tetap dalam centrum percaturan dan perubahan nasional. Disamping itu, PMII harus tetap meneguhkan jati dirnya sebagai organisasi ‘protes’ dan ‘student movement’ sesuai dengan apa yang selama 43 tahun telah dilakoni PMII.
Akar dan tradisi ‘protes’ di PMII bisa kita telusuri dari sejak tahun 17 April 1960 hingga sekarang. PMII lahir dari sebuah keyakinan bahwa kekuatan mahasiswa itu pada kekuatan daya penalarannya (student power of the reason), namun bukan berarti mahasiswa hanya menjadi pekerja otak (knowledge worker) semata, atau terjerumus pada aksi-aksi temporer (berorientasi kekuasaan dan vested interest) tanpa konsepsi yang jelas menjangkau ke depan, melainkan harus memiliki keteguhan untuk tidak pernah bosan mengabdikan dirinya kepada masyarakat langsung, demi tegaknya keadilan, kebenaran, kejujuran, kemakmuran, penegakan hak asasi manusia, dan demokrasi. Karena itu, PMII dilahirkan untuk menerapkan prinsip; ilmu untuk diamalkan bukan ilmu untuk ilmu itu sendiri. Tak heran jika diawal kelahirannya, PMII memprotes keras keangkuhan gelar kesarjanaan sebagai ukuran superiortas mahasiswa atas kelas sosial lainnya
…penguasaan lmu apa saja yang berfaedah nyata bagi peradaban dan kemanusiaan, baik ilmu agama, filsafat, eksakta, sosial maupun ekonomi. Kesarjanaan belumlah dengan sendirinya merupakan nilai yang selesai, bilamana tidak disertai dengan tindakan-tindakan riil bagi kepentingan kemajuan rakyat banyak sebagai pengabdian yang tak henti-hentinya pada masyarakat…’ (Effendi Choiri; 1991).
Implementasi PMII sebagai organisasi ‘protes’ akan semakin terlihat dalam beberapa kebijakan organisasi di bawah ini. Pertama, Deklarasi Tawang Mangu, Desember 1961, tentang sosialisme religius, nasionalisme dan sosialisme Indonesia. Menurut PMII Islam tidak berseberangan dengan sosialisme dan revolusi Indonesia, sebab sosialisme bagi PMII merupakan :
“…tidak lain daripada sosialisme yang berdiri secara khidmat di atas Pancasila, berikap dan bertindak menurut garis tuntutan Allah SWT., dan cenderung pada pembagian kenikmatan hidup secara adil dan merata serta meninggalkan taraf hidup rakyat miskin, sebagai suatu kewajiban moral yang amat tinggi nilainya dan tidak mungkin ditangguhkan lagi… PMII insyaf dan yakin pula bahwasannya keadilan hanya bisa dicapai dengan berpegang teguh kepada moral agama Islam, mengganti segala rupa penipuan dengan kebenaran, kejujuran dan keadilan….PMII dengan sifat patriotisme nasional yang dituntunkan oleh ajaran agama Islam dan sifat taqwa kepada Allah SWT., dan keharusan cinta kepada tanah air, telah bertekad dan berdaya upaya membangun sosialisme Indonesia pengejawantahan UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta di atas runtuhan kemiskinan rakyat yang tak terhingga, di atas runtuhan daripada kebohongan-kebohongan dan penipuan, di atas runtuhan daripada ketakutan dan ketidak adaan jaminan hukum, di atas runtuhan daripada kebohongan dan dekadensi moral…”.
Sosialisme religius yang dikembangkan PMII dalam konteks struktur (Deklarasi Tawang Mangu, point ke-3 tentang Sosialisme Indonesia), tak lain dan tak bukan adalah
“….sosialisme Indonesia dalam artian struktur tidak bisa lain daripada adanya pemerintahan yang stabil dan berwibawa sebagai pemimpin segala kerja dan daya cipta seluruh rakyat Indonesia dengan berpedoman kepada pengabdian rakyat banyak, berpegang teguh pada penghormatan mutlak hak-hak asasi manusia, demokrasi dalam bentuk hikmah kebijaksanaan musyawarah, tidaklah bisa lain daripada penyusunan tata perekonomian berdasarkan asas kekeluargaan gotong-royong atau ta’awun, dimana cabang produksi yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, termasuk bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat itu sendiri, sedangkan cabang produksi dan ekonomi yang bersifat menengah ringan diserahkan kepada pihak masyarakat sendiriuntuk melaksanakannya sambil dibebani pertanggungjawab sosial yang maksimum…”.
Jauh sebelum kader PMII bersentuhan dengan pemikiran Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Arkoun, dan beberapa kelompok pemikir “kiri” dalam dunia Islam lainnya, sosialisme Indonesia yang berbasiskan religiusitas Islam telah diterima di PMII dan diperjuangkan dalam ranah struktur ataupun kultur. Sementara itu, organisasi kemahasiswaan sejenis masih berkutat dalam politisasi Islam dan kecenderungan menolak Pancasila sebagai dasar negara, serta kehendak menggantikannya dengan Piagam Jakarta. Ini sungguh sikap “protes” yang luar biasa PMII atas kehendak Islamisasi negara, “…Sebagai angkatan baru, PMII insaf dan yakin sepenuhnya akan pertanggungjawab terhaap agama Islam, Negara dan Bangsa serta kesetiaan kepada Undang-Undang Dasar 1945 yang dijiwai dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Piagam Jakarta…”. PMII bahkan mengklaim dirinya sebagai “nasionalisme sejati” dan “pembela kaum mustadl’afin”, jauh sebelum masalah nasionalisme dan keberpihakan pada rakyat tertindas di gugat habis oleh banyak kelompok Islam modernis ataupun kelompok lainnya di Indonesia, “…adalah sifat dan tanggung jawab terpuji bertindak menurut dan mengembangkan ajaran agama Islam, memiliki sifat nasionalisme sejati dan berpihak kepada nasib dan penderitaan bangsa Indonesia serta pembelaan terhadap mereka…”
Sikap non-kooperatif anti dengan kekuatan global (internasional) yang kerap sekarang ini disebut sebagai “imperialisme ekonomi”, justru telah PMII tetapkan sejak 1961, bukan saja imperialisme-kolonialisme fisik (militer) saja yang PMII tolak, bahkan imperialisme ekonomi, sosial dan budaya juga tidak PMII tolerir terjadi seluruh dunia. Jauh sebelum, para organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, kepemudaan, dan parpol-parpol Islam hari ini begitu “kencang” melakukan aksi sosial-jalanan menolak penghancuran Afghanistan dan penyerangan AS atas Irak ataupun dunia Islam lainnya, PMII justru telah menyuarakan hal itu sejak tahun ’60 an,
“…menjadi pertanggungjawab PMII untuk menjaga kesatuan nasional, mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman imperialisme-kolonialisme dalam segala bentuknya, membela hak asasi dan demokrasi yang luhur, menyokong pengembangan persahabatan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa lain demi untuk perdamaian dunia, berusaha keras tidak jatuhnya dunia ke kancah peperangan, melawan penindasan terhadap rakyat Indonesia dengan dalih apapun dan oleh siapapun, mendukung gerakan kemerdekaan tanah air oleh bangsa-bangsa yang masih terjajah di dunia…”.
Tak heran, jika para aktifis PMII di era ’80 dan ’90 an tidak begitu tertarik dengan wacana Islam modernis seperti, pemikir-pemikir Pan-Islamisme, Jamaluddin Al Afghani, Bduh, Rasyid Ridha, ataupun Sayyid Qutb. Justru PMII malah menceburkan dirinya dengan pergulatan Hassan Hanafie, Abed Al Jabiri, Mahmoud Toha dan pemikir Islam yang agak ke-kiri-kiri-an. Akar radikalitas pemikiran aktifis PMII sudah tertanam benar di tubuh PMII bahkan telah menjadi kultur intelektualnya. Oleh karena itu, PMII hampir tidak mengalami kesulitan cukup berarti mengadaptasikan dirinya dengan perubahan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan internasionalisasi.
Kedua, Sepuluh Kesimpulan Ponorogo, Pernyataan dan Penegasan Yogyakarta pada Kongres II dibulan Desember tahun 1963. PMII menginstruksikan kepada para kadernya harus berjiwa sosialis, demokratis, nasionalis, pejuang anti penindasan, dan revolusioner, serta meng’haram’kan kadernya apatis, isolasionis, kompromistik murahan, cepat puas, dan cepat putus asa. Implikasinya, kader PMII tidak boleh menyerahkan dirinya ‘mentah-mentah’ kepada kehendak penguasa, sekaligus tidak juga terseret pada sikap ekstrim yang mampu menggoyahkan sendi-sendi keutuhan NKRI. Keputusan ini diambil sebagai bentuk counter represifitas rezim Orla pada saat itu yang akan membabat para mahasiswa kontra (tak sepahaman dan menentang) revolusi serta menguatnya manufer-manufer politik PKI yang semakin tidak memberi ruang bagi kelompok agamis.
Dalam ranah eknomi, segala bentuk hegemoni negara atas pos-pos ekonomi (produksi) ditolak oleh PMII, padahal ketika itu presiden Soekarno semakin yakin dengan konsep NASAKOM-nya dan begitu membuka ruang yang sangat lebar buat PKI untuk menguasai posisi-posisi strategis di berbagai departemen penting negara. PMII menyerukan bahwa penumpukan bahan pokok kebutuhan rakyat sangat bertentangan dengan Islam, monopoli perekonomian, pemerasan dan mengingatkan negara bahwa cabang dan sektor produksi yang dikuasainya harus digunakan untuk kemakmuran (sepenuhnya) rakyat, bukan sebaliknya. (lihat hasil Kongres Ke-II PMII di Yogyakarta pada tahun 1963). Rupanya hal ini juga merupakan sebuah kritik atas beberapa elit partai NU yang memiliki previlige-previlige tertentu di kekuasaan untuk menumpuk kekayaan pribadi.
Dalam konteks internasional, PMII telah mengajukan kepada pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan Konperensi Islam Internasional Asia-Afrika (KIAA). Artinya, PMII tidak sepenuhnya ‘sekuler’ dalam memandang agama dalam korelasinya dengan negara dan dunia. Hal ini semakin menunjukkan, bahwa PMII tidak hanya memprotes ketidakadilan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga memiliki perhatian tinggi atas ‘internasionalisme’, khususnya keterbelakangan umat Islam di dunia, dimana kebanyakan mereka adalah warga masyarakat dunia ketiga.
Ketiga, Gelora Mega Mendung bulan April 1965, yang meliputi ‘gelora’ pemikiran dan gerakan PMII mengenai 5 (lima) butir masalah, yakni : ukhuwwah Islamiyyah, watak umum organisasi, berpengetahuan dan berkesadaran politik, partisipasi organisasi dalam tahap-tahap revolusioner dan tentang pondok pesantren. Disini kita bisa menilai radikalitas pemikiran organisasi kemahasiswaan yang katanya kelas intelektual masyarakat tradisional itu, bahwa watak umum organisasi mahasiswa itu adalah “…kecuali harus berpihak kepada ke-Tuhan-an, kepada sosialisme, membela buruh dan tani, mengganyang habis kemiskinan, kebodohan dan kezaliman, memihak kepada perjuangan melawan Nekolim dan penghisapan manusia atas manusia dalam segala bentuk manifestasinya…”.
Begitupula dengan masalah pondok pesantren, PMII memandang bahwa pondok pesantren merupakan basis gerakan anti kolonialisme, dan tempat penggemblengan serta pendidikan untuk mensukseskan usaha nation and character building. Sosialisme Indonesia yang dimaksud PMII di era Orde Lama, tidaklah sama, berbeda dengansosialisme yang orang nasionalis, komunis ataupun aliran politik lain definisikan. Sosialisme Indonesia bagi PMII adalah “… tidak ada lain daripada masyarakat adil dan makmur, materiil dan spirituil dan diridlai Allah SWT., selian dia merupakan tujuan agama Islam.. pengejawantahan daripada UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta…”. Apa yang diputuskan NU di tahun 1982 untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang final, harus diakui ada andilnya (terinspirasi) oleh pemikiran PMII di atas.
Keempat, PMII menjadi motor gerakan mahasiswa, pencetus perjuangan Ampera, dan Tritura di sepnajang tahun 1966 dan 1967. Dimulai dengan terpilihnya Zamroni (salah satu ketua PB PMII) sebagai ketua presidium KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), PMII terlibat aktif dan menjadi motor gerakan mahasiswa membubarkan PKI, meminta penurunan harga, bubarkan kabinet, bersihkan serta parlemen dari unsur/gerakan PKI. Dari pusat hingga daerah, aktifis PMII menduduki posisi pertama di KAMI. Salah satu kredo terkenal KAMI yang banyak disitir oleh gerakan mahasiswa setelah itu adalah “Hitam kata rakyat, hitam kata PMII. Putih kata rakyat, putih kata KAMI”. Sebuah prestasi spektakuler bagi organisasi yang masih belia (lahir 1960), PMII mampu menjadi motor penumbangan Orde Lama untuk digantikan Orde Baru.
Organisasi kemahasiswaan ekstra instituter, kepemudaan, Ormas ataupun partai politik, bahkan Soekarno sendiri tentunya sangat mengenal siapakah Zamroni (Salah satu ketua PB PMII) yang dengan kekuatan orasinya mampu menggerakkan mahasiswa, pelajar dan masyarakat kecil untuk segera memaksa pemerintah membubarkan PKI, menuntut perubahan besar-besaran pada tatanan sistem pemerintahan dan politik Indonesia agar sesuai dengan UUD 1945. Tak salah pak Subhan (politisi ulung NU) memilih Zamroni menjadi ketua KAMI, yang saat itu di’amini’ oleh Mahbub Djunaidi (Ketua Umum PB PMII), Ridwan Saidi (Ketua Umum PB HMI) dan kawan-kawan.
Kelima, pengakuan akan kesetaraan gender, yang selama ini sangat digandrungi dan diperjuangkan oleh hampir seluruh organisasi perempuan di Indonesia, sudah terlebih dahulu PMII suarakan pada tahun 1966 melalui “Panca Norma PMII Putri”, hanya saja PMII menamakan gerakan kesetaraan itu dengan emansipasi bukan perjuangan gender,
“…emansipasi wanita berarti memberikan hak-hak dan kesempatan kepada kaum wanita sederajat, setingkat dan seirama dengan kaum pria….tuntutan akan hak-hak wanita, meliputi segala segi kehidupan, baik politik, sosial-ekonomi, maupun kebudayaan. Hak-hak ini diberikan adalah merupakan tuntutan nurani yang mendorong manusia berkeinginan, berkehendak, dan berbuat sebagai realisasi dan manifestasi daripada ajaran Islam…PMII sebagai wanita realistik, mampu menyelesaikan tugas-tugas kemasyarakatan, dan tugas-tugas ini akan diselesaikan kalau tugas-tugas dan bentuk-bentuk kegiatan-kegiatan masyarakat itu semata-mata mengarah kepada kepentingan agama, nusa, bangsa dan revolusi..”.
PMII putri juga menyerukan kepada seluruh civitas akademika diseluruh Indonesia, agar jurang pemisah antara perkuliahan dan masyarakat mutlak ditolak, dan menempatkan organisasi kemahasiswaan sebagai jembatan emas penghubung antara keduanya. Bahkan secara kongkrit PMII putri akan mendharmabaktikan dirinya dalam seluruh bentuk kehidupan, baik dalam bidang politik, sosial ekonomi, pendidikan maupun dalam perkembangan kebudayaan.
Keenam, Deklarasi Murnajati ditahun 1972, sebagai tonggak Independensi PMII terhadap partai dan organisasi apapun. Ini mungkin bentuk ‘protes’ paling besar PMII terhadap NU, ataupun dunia perpolitikan nasional di era Orde Baru. Sejak itu, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independent, tidak terikat, baik sikap maupun tindakan kepada siapapun, dan hanya commited dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila. Polemik cukup tajam terjadi antara aktifis PMII yang membela ‘mati-matian’ independensi (karena tidak semua aktifis PMII setuju independensi) dan alumni PMII atau elit NU yang menyayangkan PMII ‘keluar’ dari NU. Pendewasaan dan dinamika organisasi merupakan alasan utama, diambilnya kebijakan teresbut, tetapi saya melihat bahwa independesi PMII dalam konteks dimana NU masih menjadi partai, sebenarnya tidak lebih dari rekayasa Ali Moertopo (Opsus), yang bertujuan melemahkan kekuatan NU, sebab dengan memisahkan PMII dari partai NU, maka partai NU kehilangan resources dan salah satu kaki politik yang cukup bisa diandalkan untuk mengemban amanat, nilai-nilai, dan membesarkan partai NU. Namun, terlepas pro-kontra yang melingkupinya, independensi PMII itu telah terasa benar manfaatnya bagi PMII dewasa ini, berbagai capaian strategis dan kemajuan organisasi justru terjadi secara massif dan progresif dengan PMII independen dari organisasi manapun.
Ketujuh, Pernyataan Ciloto tahun 1973. Ada beberapa hal yang cukup berani disuarakan PMII sebagai kritik atas Orde Baru. Dalam ranah ekonomi, PMII meminta agar kebijakan pemerintah mengundang modal asing untuk masuk ke dalam negeri harus berorientasi pada penciptaan (memperluas) lapangan kerja bagi pribumi dan bukan sebaliknya, perlindungan bagi pengusaha pengecer pribumi di pelosok-pelosok daerah, serta perlunya membatasi modal asing agar tidak bersifat subtansial, melainkan bersifat komplementer saja. Sedangkan dalam ranah politik, PMII memprotes perombakan struktur politik yang dijalankan pemerintah masih jauh (menyimpang) dan belum mencerminkan sepenuhnya asas-asas yang terkanung dalam UUD 1945. PMII juga mendesak pemerintah menjamin kebebasan mimbar di perguruan tinggi se-konsekwen mungkin, menghilangkan kecurigaan berlebihan terhadap aktifitas (mahasiswa) perguran tinggi dan menghindari penggunaan security approach terhadap setiap masalah (sosial-politik) yang muncul.
Meletusnya kerusuhan Malari 1974, bukanlah sesuatu yang tidak diprediksikan oleh PMII. Apa yang dimaksud dengan “Statement Ciloto”, akhir Desember 1973, adalah bentuk antisipasi PMII atas kebijakan negara yang semakin melupakan nasib pribumi, serta kecenderungan menguatnya konsolidasi para aktifis mahasiswa untuk melakukan gerakan besar menentang kebijakan itu dalam bentuk aksi-aksi jalanan seperti di tahun 1966 yang lalu. Apa yang dikhawatirkan PMII di Ciloto menjadi kenyataan, dengan meletusnya peristiwa Malari yang melahirkan Hariman Siregar sebagai salah satu tokoh utamanya.
Kedelapan, Protes PMII atas tradisi berpikir (sebagian) orang NU yang masih kolot, menolak diberlakukannya SK Menteri P dan K No. 028, yang berisi keharusan agar dalam melaksanakan kegiatannya, mahasiswa harus meminta izin rektor terlebih dahulu, memfasilitasi berbagai pertemuan almuni PMII untuk mengawali Kebangkitan NU dengan melakukan pribumisasi Islam, penyebar pluralisme dan toleransi, mengembalikan NU pada khittah-nya, ‘motor’ menerima Pancasila sebagai asas tunggal, serta memprotes hutang luar negeri pemerintah yang semakin menggunung,. Di era ‘80 an memang tidak banyak gerakan mahasiswa yang mampu bersinar terang dalam panggung-panggung ‘mitologi’ politik nasional. Sebab, sepanjang dasa warsa ini, Orde Baru telah mampu mencengkeramkan kuku kekuasaannya dengan kuat, hampir di seluruh entias politik dan sosial (masyarakat).
Namun, PMII masih melakukan hal-hal strategis yang sangat penting bagi proses radikalisasi-liberasi pemikiran dan gerakan di sepanjang dasa warsa ’90 an. Beberapa hal di atas merupakan cerminan agar PMII mulai lagi membangun kritisisme, dan mulai menjadi corong perluasan ide-ide besar Gus Dur, baik ke dalam masyarakat Islam tradisional sendiri, ataupun bangsa Indonesia secara keseluruhan. Pada paruh terakhir dasa warsa ‘80 an, radikalisasi pemikiran aktifis PMII sudah semakin berkembang jauh, tidak hanya terbatas pada domain pemikiran keagamaan saja, tetapi semakin luas ke dalam pemikiran filsafat, dan social humaniora. Hal ini salah satunya didorong oleh semakin banyaknya kader PMII yang berasal dari perguruan tinggi umum (tak lagi terpusat di IAIN atau perguruan tinggi Islam lainnya). Begitu pula, kehadiran LkiS di akhir era ’80 an, turut mendorong liberalisasi pemikiran aktifis PMII.
Kesembilan, di sepanjang dasa warsa ’90 an, PMII meneguhkan dirinya sebagai “organisasi protes”. Sejak kepemimpinan sahabat Iqbal, jumlah pemikir muda di PMII semakin bertambah banyak. Gerakan aksi jalanan sebagai bentuk kritik atas jalannya kekuasaan mulai sering dilakukan. Aksi jalanan ini dimulai dengan gerakan sahabat Effendy Choiri (waktu itu masih menjabat Ketua Umum PMII DKI Jakarta), di bulan Juli, tahun 1990, bersama 30 aktifis PMII lainnya, melakukan demo menuntut pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas terjadinya “Tragedi Mina”, di Kedutaan Besar Arab Saudi. Aksi ini sebagai tindak lanjut dari “pernyataan dan sikap terbuka PB PMII” yang menuntut Menteri Agama RI, Munawir Sadzali mengundurkan diri dari jabatannya, karena Menag dianggap terlalu pasif, tidak responsif, tidak tegas dan terlalu lamban dalam mengambil keputuan mengenai ‘kecelakaan’ yang menimpa ribuan umat Islam Indonesia itu. Keberanian berdemonstrasi PMII ini ditunjukkan kembali saat PMII bersama Kelompok Cipayung mendatangi Kedutaan Besar Amerika, untuk menentang ‘kebrutalan’ AS dalam Perang Teluk (1991). Bahkan, Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah pada saat itu) mengomentari gerakan jalanan PMII itu dengan sebutan “Halilintar PMII”.
Di paruh awal dasa warsa ’90 an ini PMII mulai menceburkan dirinya secara aktif dalam gerakan pemberdayaan ‘wong cilik’ dan perlawanan atas rezimentasi Orde Baru, misalnya, mendemonstrasi kesewenang-wenangan birokrat kampus, penggusuran tempat tinggal rakyat, pembebasan tanah, upah buruh yang minim, tuntutan hak asasi manusia, pembubaran SDSB, tuntutan demokratisasi, keadilan, dan sebagainya. Gerakan jalanan PMII ini semakin bersinar, apa yang menimpa sahabat kita di UMI Ujung Pandang, kerusuhan Tasik, kasus Situbondo, kerusuhan etnik di Kalimantan Barat, semuanya itu tidak luput dari perhatian PMII dan disuarakan secara terus-menerus lewat aksi-aksi jalanan. Puncaknya, ketika terjadi pelengseran Soeharto dari kekuasaannya di pertengahan tahun 1998, dan lahirnya “reformasi”, PMII menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan mahasiswa tersebut.
Dalam konteks gerakan pemikiran, booming intelektual PMII mulai terjadi sejak tahun 1980 akhir sampai sekitar akhir 1990- an, dan patut dicatat bahwa, kebangkitan pemikir muda PMII itu tidak lagi dimonopoli oleh lulusan IAIN semata. Inilah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai era kebangkitan kelas santri terpelajar, bahkan Cak Nur (dedengkotnya HMI) meyakini bahwa Indonesia 2025 adalah milik NU (baca; PMII), ia memprediksikan bahwa saat itu, anak muda NU telah mampu menduduki pos-pos strategis bangsa, baik politik, ekonomi, maupun dalam institusi-institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Pada fase inilah, PMII mampu merumuskan sebuah paradigma gerakan (sekitar akhir 1997), yang akhirnya dibakukan di Kongres Medan (2000) menjadi Paradigma Kritis-Transformatif. Dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran Islam, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme, kritik wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan melalui jalur sosio-kultural, open society, masyarakat komunikasi, post-tradisionalisme Islam Indonesia, Islam sebagai etika sosial, Islam liberal, Islam emansipatoris, merupakan beberapa produk pemikiran yang tumbuh subur (terlahir) dari para pemikir muda (ataupun alumni) PMII.
Awal 1997, PMII menilai bahwa Kelompok Cipayung sudah tidak relevan lagi dipertahankan eksistensinya, sebab HMI sebagai salah satu anggotanya telah menjadi bagian terpenting dari kekuasaan rezim Orde Baru. Oleh karena itu, PMII bersama dengan GMNI, PMKRI, GMKI, GAMKI, Pemuda Demokrat, IPNU dan IPPNU membentuk Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI). FKPI menilai bahwa Kelompok Cipayung telah ditinggalkan sejarah, dan tak lagi mampu mengkritisi (melakukan counter gerakan) atas etatisme negara dan politisasi agama. FKPI lahir sebagai jawaban atas kehendak bersama dalam upaya menciptakan (mendorong terbentuknya iklim kondusif) revitalisasi wacana dan wawasan kebangsaan Indonesia yang selama ini telah dimonopoli oleh rezim Orde Baru. Tafsir tunggal penguasa Orde Baru atas rasa, semangat dan wawasan kebangsaan Indonesia inilah yang dinilai oleh FKPI sebagai ‘biang kerok’ terjadinya konflik SARA di beberapa daerah (Situbondo, Tasik dan Sambas) Indonesia, ‘mandulnya’ gerakan demokrasi politik dan ekonomi, hilangnya kepastian hukum, dan sebagainya.
Begitu pula dalam ranah pluralitas kehidupan keagamaan Indonesia, PMII dinilai berperan penting bagi pembumian ‘teologi toleransi’ yang memayungi keharmonisan hubungan antar agama dalam kaitannya mengikis hegemoni negara atas agama. Hampir di seluruh forum komunikasi antar agama di Indonesia, selalu terdapat didalamnya aktifis PMII yang terlibat intens di berbagai pertemuan, aktifitas kemanusiaan, dan dalam setiap upaya pencarian model keberagamaan yang paling ideal (sesuai) dalam konteks keindonesiaan. Tak terbilang jumlahnya kader PMII yang begitu karib dengan para romo, pendeta, bunsu, biksu serta para tokoh agama lain untuk bersama-sama menyuarakan keadilan, toleransi, keterbukaan, demokrasi, pemberdayaan civil society, dan sebagainya diberbagai kesempatan dan aktifitas bersama.
Akhirnya, paparan di atas sebenarnya sudah cukup modal bagi PMII untuk mendeklarasikan dirinysa sebagai “organisasi protes”. Tidak hanya protes sosial, melainkan juga seluruh bangunan pemikiran, kebudayaan, ekonomi, keagamaan, sisem kenegaraan, maupun kapitalisme global yang tidak humanis, menindas, membungkam kebebasan (kemerdekaan) individu, mengingkari nilai-nilai kebenaran dan keadilan universal, anti perubahan (jumud), dan terlalu mendewakan materi (capital). Oleh karena itu, semuanya diserahkan kepada publik luas, apakah kritisisme (pemikiran maupun gerakan), dan tradisi ‘protes’ itu masih terus ‘menyala’ di PMII ataukah justru telah mengalami titik balik menuju degradasi besar-besaran ?. wallahu a’lam.

Rio

Rio

Penilaian anda tentang saya